Kamis, 27 Mei 2010

10.28 - 5 comments

Ulang Tahun Itu Biasa Saja

Aku sudah tidak pernah merasakan bahagianya berulang tahun.

Sejak saat itu, saat berumur tujuh belas tahun.

Aku sibuk bertanya, apalah arti dari ulang tahun ke tujuh belas, pada orang yang aku anggap bisa memaksimalkan pengetahuanku yang masih minim di kala itu.

Aku mendapatkan jawabannya.

Aku lupa apa.

Tapi kini aku mengerti dengan sendirinya, tak perlu emosi, tak perlu adu argumentasi.

Aku tak perlu kado jika aku berulang tahun.

Aku tak perlu doa jika aku berulang tahun.

Aku tak perlu pesta jika aku berulang tahun.

Karena ulang tahun itu biasa saja.

Oleh: Aku yang kini berumur 21 tahun, D. Nariswari

28 Mei 2010

Gambar gw ambil dari sini

(Inspirasi judul berasal dari judul lagu “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” dari Efek Rumah Kaca. Terima kasih, ERK.)


Belum Merasakan

Seakan mudah mengatakan “Aku ikhlas.”

Padahal alam bawah sadarku menolaknya

Seakan tak sulit berkata “Aku sudah siap.”

Padahal Tuhan berkata “Kau belum siap.”

Ketika hari itu datang

Aku gemetar tak bergeming

Dadaku sesak, nafasku panas

Lalu aku berkata, “Aku tidak kuat, aku belum siap.”

Oleh: D. Nariswari

27 Mei 2010

Selasa, 25 Mei 2010

Malang Tempo Doeloe (MTD) Tahun Ini Hadir Kembali!

Semua warga gegap gempita menyambut festival tahunan kota Malang yang digelar di sepanjang Jalan Ijen ini. Terbukti dari banyaknya jumlah pengunjung yang menyesaki jalan ini selama empat hari lamanya festival ini berlangsung (tanggal 20 hingga 23 Mei 2010). Tidak hanya di kawasan Jalan Ijen saja, namun hampir seluruh ruas jalan di Malang mengalami kemacetan. Dari jauh-jauh hari, adik kos gw, Shinta, sudah mengajak gw dan teman-teman untuk pergi bersama-sama ke acara ini. Pilihan pun jatuh pada hari Minggu. Sebetulnya sih gw pengen hari Kamis, karena menurut gw di hari pertama pembukaan pasti belum terlalu ramai sehingga kita bisa lebih leluasa jka ingin berfoto-foto ria. Namun akibat kesepakatan, dipilihlah hari Minggu sore.

Gw yang kebetulan pergi ke suatu tempat di hari ke-dua dan ke-tiga festival tersebut di gelar, merasakan kepenatan yang luar biasa akibat dahsyatnya kemacetan yang belum pernah gw alami selama tinggal di Malang. Jalanan sekitar Jalan Ijen hingga jalan di depan jalan kosan gw aja macetnya parah. Apalagi sewaktu malam Minggu, jalan di depan kampus gw naudzubillah macet total! Gw pun mendapat laporan dari teman-teman kos gw yang kebetulan sudah pergi ke festival tersebut, kata mereka di dalam sana sangat berdesak-desakan. Terlebih karena mereka pergi di malam hari. Memang, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, puncak keramaian berada di hari Jumat dan Sabtu malam.

Akhirnya, hari Minggu pun tiba. Gw dan teman-teman kos janji berangkat jam 2. Namun, seperti selayaknya anak muda, janji pun tak ditepati. Angka jarm jam hampir mendekati pukul 2 saja belum ada tanda-tanda yang mulai bergerak untuk bersiap-siap. Gw jujur aja saat itu juga nggak ikutan siap-siap, lagian ngapain juga gw udah rapi sedangkan yang lain masih ngegembel. Ogah juga lah ya.

Jam 2 lewat, gw mulai membangkitkan diri untuk bersiap-siap. Karena gw khawatir akan turun hujan sebab langit di luar sana tampak sudah tidak bersahabat. Gw memaksa teman-teman gw untuk bergegas siap-siap. Tak lama, terdengar Vika (adik kos gw) mengajak pergi setelah sholat Ashar. Padahal adzan Ashar berkumandang pukul 3 sore. Tingkat kekhawatiran gw semakin meningkat karena gw takut turun hujan jika kita pergi di atas jam 3. Tapi gw berusaha sabar dan setuju dengan ide tersebut, sebab saat itu gw lagi berhalangan dan gw berpikir jika gw sedang tidak berhalangan pasti gw lebih nyaman jika pergi dalam keadaan sudah sholat Ashar.

Setelah menunggu adzan Ashar, kita pun berangkat. Namun gw kecewa karena partisipan dari kosan gw sedikit sekali jumahnya, yakni 5 orang saja (termasuk gw). Padahal Shinta sudah gembar-gembor dari beberapa hari sebelum hari H. Alasannya macam-macam, ada yang mengerjakan tugas, ada yang capek karena sudah datang ke MTD bersama teman-temannya, ada yang bla bla bla (banyak alasan). Gak asik! Oke, perjalanan pun harus terus berlanjut. Jadinya gw pergi bersama Shinta, Nopek, Vika, dan Very.

Sesampainya di sana, gw melihat tidak terlalu ramai. Kita masih bisa berjalan tanpa berdesak-desakan. Shinta melihat ada seorang kakek yang berdiri dengan sepeda di sampingnya. Shinta langsung mengajak kita untuk berfoto bersama kakek tersebut. Kakek tersebut pun menyambut dengan antusias. Setelah beberapa kali jepret dan merasa sudah cukup, kami pun berpamitan. Tiba-tiba si kakek berkata sambil menunjuk kantong tas di sepedanya, “Ya, ini silahkan diisi.” Glek. Vika langsung mengeluarkan uang.

Gw dan Shinta langsung ngomongin kakek-kakek itu (sambil bisik-bisik). Soalnya, tahun lalu kita juga pernah foto sama kakek itu, tapi gak dimintain uang. Awalnya gw gak yakin kalau itu kakek yang tahun kemarin, tapi Shinta meyakinkan gw bahwa itulah kakek yang kemarin. Setelah gw ingat-ingat, betul juga, tapi sekarang si kakek lebih gemukan.

Kalau mau lihat foto si kakek di tahun kemarin, baca postingan gw yang ini. Klik.

Sejak saat itu kita berhati-hati kalau minta foto sama orang-orang yang berdandan tempo doeloe. Pasti kita bisik-bisik, “Bayar gak?” Takut hal yang sama terulang kembali (maklum, anak kosan).

Ternyata saat itu sedang ada acara karnaval topeng-topengan. Reog juga ada. Jadi, kami berhenti sebentar untuk melihat karnaval yang rata-rata pesertanya berasal dari anak sekolah tersebut.





Perjalanan dilanjutkan dengan membeli gulali. Gulalinya bukan gulali yang keras, melainkan gulali yang lembek. Harganya Cuma Rp 1000. Kata Shinta, sewaktu ia pergi di hari ke-dua, harganya masih Rp 2000. Mungkin karena hari itu hari penutupan, maka harga-harga makanan pun menurun.

Gulali ini terbuat dari gula. Tahun-tahun sebelumnya, gw biasa beli gulali namun yang terbuat dari gula Jawa, dan ditaburi dengan gandum. Kalau yang tahun ini, kebetulan gw dapat yang terbuat dari gula putih namun tidak ditaburi gandum. Kalau menurut gw sih, yang enak yang dari gula Jawa.



Kemudian kita berfoto di daerah hutan buatan. Di sana merupakan arena kuda poni. Gw juga baru sadar ketika beberapa kali foto ternyata melintas dua ekor kuda poni yang ditunggangi anak kecil. Gw agak takut begitu tahu ada kuda poninya. Sayang, kuda poninya gak kefoto.

Lanjut perjalanan, kita menemukan topeng yang besaaar sekali. Ini foto yang gw masukin adalah temen gw, namanya Nopek.

Gw juga sempat beli arum manis rambut nenek sihir. Harganya Rp 1000. Sedikit banget dapetnya.


(Foto gw ambil setelah di kosan)

Lalu mengabadikan sebentar di arena candi-candian.

Setelah berjalan beberapa saat, bertemu dengan arena yang memamerkan kendaraan-kendaraan antik. Arena itu berada di depan patung pahlawan trip. Jadilah gw dan Shinta foto di depan patung (kapan lagi bisa foto di depan patung pahlawan trip kalau Jalan Ijen tidak ditutup?).


Dan saat itulah, kita sepakat untuk balik ke gerbang keluar, sebab hari sudah semakin mendekati Maghrib. Jadi kita putar balik ke arah yang sebaliknya. Karena Jalan Ijen terdiri dari dua ruas jalan, maka jalan untuk keluar berada di ruas yang berbeda dengan ruas jalan untuk masuk.

Di sana gw menemukan penjual jenang cenil. Gw langsung semangat beli, harganya cuma Rp 3000.

(Ini gw ambil fotonya pas udah di kosan, maaf penampakannya berantakan, udah sempat gw makan soalnya. Hehe.)

Selagi gw menunggu penjual jenang cenilnya, Shinta membeli es gandul (es serut yang dituangi dengan sirup). Harganya Rp 2000.

Perjalanan berlanjut dan saat itu hujan turun rintik-rintik tapi hanya sebentar. Kemudian kita bertemu dengan dua orang berpakaian tentara.

Mas, nyengir dong. Kita jadi ikutan tegang nih.


Lalu gw beli kerupuk upil yang disertai dengan saus petis super pedas. Gw sharing sama Shinta, masing-masing patungan Rp 1000 untuk satu bungkus kerupuk upil.


Kaki kita pun melangkah semakin mendekati pintu keluar. Kita pun menyempatkan diri untuk membeli jajanan terakhir, yakni roti maryam. Yeay! Gw suka banget tuh. Harganya Rp 5000. Gw memilih rasa keju. Yummo!

(Foto ini juga gw ambil setelah di kosan)

Akhirnya.. Perjalanan kami pun berakhir. Sampai jumpa Malang Tempo Doeloe 2010. Semoga tahun depan ada lagi! Meski jika gw sudah bisa lulus sebelum tahun depan (amin), gw berharap gw bisa berpartisipasi lagi dalam festival ini.

Aku cinta kamu, Malang Tempo Doeloe.