Minggu, 26 September 2010

06.41 - 2 comments

Menangisi Sang Fajar


Cahayanya meredup. Menjauh dari aku.

Biasa mendengar bising dari jemari lidah apinya yang senantiasa menari-nari, tak enggan merogoh untaian hangat untuk menyengat kalbuku.

Aku tatap ia kini, silau. Ingin aku raih, aku tahu aku tak sanggup. Jarak memisahkan kami. Tidak seperti mawar yang setia pada duri.

Ia terus berada di sana. Berdiri dengan gagahnya, tertawa bersama sahabat dan terus berganti rupa. Malam menjadi bulan.

Dengan besar rasa, aku kira ia menatapku dari atas sana. Namun tetap menaruh perhatian. Kadang hinaan. Dengan menyengat kuat kulit tubuhku yang cahayanya semakin temaram. Meski begitu, aku biarkan saja.

Ia tak menyapaku, lalu apa aku juga begitu? Pernah sesekali aku tantang dirinya. Berdiri di luar, aku maki-maki dirinya. Kemudian ia keluar sebentar, membalas, dan semakin menguatkan teriknya. Aku puas. Aku masuk lagi ke kamar.

Tapi malam ini berbeda. Ketika ia mulai merapat ke senja. Dan tenggelam di sana.

Aku nanti kurang lebih sepuluh jam lamanya. Di ufuk itu, tak kunjung muncul. Bolak-balik ku keluarkan kepala untuk mengecek kehadirannya. Namun tetap sama. Gulita.

Aku mulai resah dan menggigiti bagian bawah bibirku. Menggoyang-goyangkan kaki seraya menunggu yang dinanti. Ia tak jua lekas datang.

Aku teropong langit gelap itu. Ada seberkas siluet cahaya namun tertutup. Dan aku merasa kepanasan, lebih berkeringat dari biasa dia ada.

Suara letupan-letupan api pun terdengar. Aku tajamkan pendengaran. Makin lama makin sayup dan ini yang sebenarnya aku redupkan sendiri.

Aku bingung. Aku tutup jendela kamarku. Tapi tidak untuk tirai yang sengaja aku buka sedikit, jikalau suatu saat aku ingin mengintip.

Begitu terus menerus. Hingga aku tak mengerti lagi apakah ini siang atau malam. Karena ia tak kunjung datang. Bahkan sesungguhnya menghilang.

Tak akan ada lagi fajar.


Oleh: D. Nariswari

25-26 September 2010