Sabtu, 28 Juli 2012

Liburan Seru: Surabaya - Jogjakarta

Hai blogger, gimana puasanya? Masih semangat kan? Semangat mengikuti cerita liburan gue, maksudnya :p

(Sekali lagi, maaf untuk Anda-Anda yang tidak kuat menahan lapar dan haus selama puasa, gue sarankan untuk tidak melanjutkan membaca artikel kali ini. Karena akan ada beberapa foto makanan dan minuman di sini.)

Dari Malang, gue sampai di Surabaya pukul 17.30. Agak lambat karena travel harus mengantarkan penumpang lainnya ke Bandara Juanda terlebih dahulu. Tiba di Surabaya, sudah seperti orang habis turun gunung. Udaranya jauh berbeda dengan Malang. Kipas angin di rumah tante menjadi andalan kembali..

Keesokan harinya, gue, nyokap, dan bokap jalan-jalan sore. Rumah tante gue berada di salah satu kompleks perumahan Wiyung. Dari rumah tante, kami berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan utama Wiyung. Kalau boleh dibandingkan sih, gue membayangkan jalan di Wiyung ini seperti jalanan Kalimalang Bekasi - Jakarta Timur, karena panjang dan lalu lintasnya padat.

Tujuan utama kami dari jalan-jalan kali itu adalah mencari jajanan. Nyokap ingin Rujak Cingur. Gue tidak menginginkan sesuatu yang spesifik, karena apapun makanan khas Surabaya pasti gue doyan!

Di tengah perjalanan, kami menemukan Royal Square. Karena belum pernah masuk ke sana,  kami mampir sejenak ke supermarketnya.
Royal Square

Setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan dan menemukan warung penjual rujak cingur namun sedang tutup. Tidak kecewa, kami kembali berjalan namun sepertinya memang tidak ada lagi warung penjual rujak cingur yang lain. Sudah jalan sejauh itu rasanya sia-sia kalau tidak jajan apapun. Akhirnya pilihan jatuh kepada Lontong Balap dan Es Degan. Makanan ini adalah makanan kesukaan kakak gue, sayang dia tidak ikut dalam liburan kali ini karena sedang menjadi suami siaga. Hai Emas, gue makan Lontong Balap dooong!

Lontong Balap ini terdiri atas lontong, tahu, tauge, lento (gue kurang tahu persis komposisinya apa, yang jelas merupakan gorengan), dengan kuah dan petis tentunya. Rasanya enak namun menurut gue kuah yang disajikan di warung tersebut kurang hangat. Apalagi kalau liburan seperti ini gue agak khawatir sakit perut, jadinya tidak semua petis gue campurkan. Padahal sesungguhnya petis adalah “nyawa” setiap kuliner khas Surabaya.
Lontong Balap (Rp 5.000 saja!)

Mari beralih kepada Es Degan. Kalau di antara Anda ada yang bertanya, apaan sih Es Degan? Es Degan adalah sebutan untuk Es Kelapa Muda. Orang tua gue sih beranggapan kalau Es Degan di Surabaya berbeda dengan Es Kelapa Muda di tempat-tempat lain, karena kelapanya memang benar-benar muda dan rasanya gurih kemanisan. Ditambah lagi dengan es yang bikin “nendang” di antara panasnya udara Surabaya.
Es Degan (Rp 3.000)

Perut kenyang dengan Lontong Balap dan Es Degan, kami kembali ke rumah tante gue. Di rumah tante gue, gue pun kembali menyikat makanan-makanan yang ada. Habis gimana dong, udah disikat, tapi tetap aja itu makanan nggak ada habisnya *alasan

Besok paginya, gue beserta bokap nyokap melanjutkan liburan ke Jogjakarta. Kami diantarkan oom gue ke Terminal Bungurasih untuk menaiki bus ke Jogja. Saatnya melambaikan tangan ke kota bokap gue dan bersiap menuju kota nyokap gue..

Berangkat dari Bungurasih pukul 08.00, sampai Jogja jam 17.30. Di Jogja, kami menginap di rumah bude gue. Di rumah itu kebetulan sedang ada keponakan gue, Nadif, 9 tahun, yang sedang liburan sekolah. Nadif adalah cucu dari bude gue, dia “terbang” sendirian dari Batam, lho, tanpa ditemani orangtuanya, hebat ya! Selain itu ada juga Shafa, cucu bude gue yang satu lagi, dia saat ini sedang bersekolah di SMA Taruna Nusantara. Kedua ponakan gue inilah yang memanggil gue dengan sebutan Bibi.  

Ternyata, nyokap gue saat itu dilanda kurang enak badan. Jadinya malam itu, gue sekeluarga hanya beristirahat saja. Esok harinya nyokap gue masih sakit, sebenarnya ini menjadi semacam peringatan juga untuk gue, bahwa gue harus menjaga kesehatan sebaik mungkin, karena liburan dibumbui penyakit itu sangat-sangatlahlah merugi. Namun alhamdulillah, nyokap masih bisa memaksakan keadaannya untuk mengunjungi rumah pakde gue di Kaliurang. Maka kami sekeluarga bersilaturahmi ke sana. Kemudian tante gue mengajak kami ke Cangkringan, salah satu kawasan Gunung Merapi yang saat ini dijadikan objek wisata dalam melihat Gunung Merapi secara lebih dekat. Tanpa persiapan baju hangat apapun, kami meluncur ke sana.

Sesampainya di sana, satu orang dikenakan tarif sebesar Rp 3.000 dan mobil dikenakan tarif Rp 5.000. Gue merasa beruntung bisa ke tempat itu, menyaksikan sendiri rumah-rumah yang rusak dan pepohonan yang kering akibat letusan Merapi beberapa tahun lalu. Kata tante gue, keadaan saat ini sudah lebih baik dan maju dibandingkan setelah bencana tersebut, karena beberapa rumah-rumah penduduk sudah kembali normal dan pohon-pohon mulai menghijau. Di sana, gue bisa mengabadikan Gunung Merapi dengan mata kepala gue sendiri. Subhanallah.
Puncak Gunung Merapi

Udara di Cangkringan terasa dingin, ditambah hembusan angin sore yang semakin bikin merinding. Ternyata, di tempat itu juga disediakan fasilitas ojek dan mobil besar untuk menuju ke beberapa titik wisata lain (tentunya terdapat biaya untuk masing-masing kendaraan). Bahkan, ada paket yang menyediakan fasilitas untuk menuju rumah Alm. Mbah Maridjan. Namun gue tidak sempat mencoba ke tempat-tempat tersebut karena langit sudah mulai gelap, percuma jika nantinya tidak kelihatan apa-apa.
Terlihat di tengah ada sesuatu berwarna biru, di sanalah lokasi rumah Alm. Mbah Maridjan


Kali tempat aliran lahar Gunung Merapi

Puas berfoto ria, kami kembali pulang ke rumah bude. Setelah itu bude gue mengajak kami makan malam di restoran Malaysia.

Menu makanan di Restoran Bukit Bintang (kok gue jadi hobi memotret menu makanan ya?)
Di restoran itu, terbagi dua jenis masakan, yaitu Chinese Malay dan Indian Malay. Gue memesan Laksa Penang yang ternyata masuk dalam kategori Chinese Malay. Gue baru tahu kalau laksa itu terpengaruh kuliner Cina. Rasanya? Maaf-maaf nih, bukannya nggak cinta negara sendiri, tapi menurut gue lebih enak dari Laksa Indonesia. Kalau di Indonesia Laksa terdiri atas lontong, bihun, dan tauge dengan kuah santan kuning, Laksa Penang terdiri atas mie kuning, tauge, bakso ikan, dan udang dengan kuah merah yang rasanya mirip Tom Yam. Yumm!
Laksa Penang (Rp 12.500)

Untuk minuman, gue pesan Teh Rempah yang rasanya sangat enak dan menghangatkan tubuh. Kalau boleh sok-sokan ngasih skor, gue kasih skor 4 dari 5 deh untuk tehnya. Kalau Laksa Penang yang tadi gue beri skor 5 (karena enak parah!).
Teh Rempah (Rp 7.500), yang warna putih itu susu kental manis, sebelum diminum diaduk terlebih dahulu
Teh Rempah setelah diaduk

Pakde gue memesan Kwetiau Kuah, sedangkan bokap gue memesan Kwetiau Goreng. Gue sempat menyicipi Kwetiau Gorengnya, bolehlah gue beri skor 4 dari 5.
Kwetiau Kuah (Rp 12.500)
Kwetiau Goreng (Rp 12.500)

Selain itu, bude gue memesan beberapa Roti Chanai Kari. Roti Chanai ini jika dimakan tanpa Kuah Kari rasanya agak asin, namun jika dipadu dengan Kuah Kari rasanya menjadi sangat nikmat.
Roti Chanai Kari (Rp 7.000)

Nadif memesan Bakmi Goreng. Untuk Bakmi Goreng, gue beri skor 3 dari 5. Saat gue sedang sibuk memotret makanan, Nadif berkata, “Bibi, makanan aku kok belum difoto ya?” Iya iya, sini aku foto sama kamunya sekalian…
Nadif (tidak dijual) dan Bakmi Goreng (Rp 12.500)

Secara keseluruhan, makanan di Restoran Bukit Bintang ini rasanya pas sekali di lidah gue. Bumbunya sangat terasa namun tidak membuat enek. Harganya pun terhitung murah untuk makanan sekelas ini. Patut dicoba kalau Anda sedang main ke Jogja.

Oh ya, pas di restoran ini kebetulan di meja lain sedang berkumpul bule-bule lucu. Gue nggak bisa flirting deh, soalnya saat itu gue bersama keluarga. Kalau sama teman-teman, mungkin lain lagi ceritanya. Hahaha :)

(Bersambung ke artikel berikutnya...)

Minggu, 22 Juli 2012

Liburan Seru: Malang


Sebelumnya, gue mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa kepada rekan blogger semua!

Baiklah, sekarang saatnya untuk melanjutkan cerita liburan gue, ya. Maaf kalau banyak terdapat foto makanan dan minuman di sini :) 

Gue dan nyokap sampai di Malang kira-kira pukul 11.00 siang. Tujuan pertama adalah bersilaturahmi ke salah satu kerabat di Jalan Bandung. Kemudian kami jalan kaki sampai Matos. Masuk sebentar ke Matos untuk melihat-lihat, kemudian kami membeli cilok dan cilok bakar di depan Matos. Gue kangeeen berat sama kedua jajanan ini. Apalagi waktu zaman dulu kuliah di Malang, gue sering ke Matos sendirian dan kalau pulang pasti mampir beli panganan ini. Kemarin gue beli cilok kayak orang kesetanan, sampai Rp 3.000. Pasti pada heran deh, Rp 3.000 aja kok dibilang maruk. Ya jelas saja, karena beli Rp 3.000 itu dapetnya buanyak buanget, nggak kayak jajanan di Jabodetabek yang cuma dapet seuprit. Untuk cilok bakarnya, cukup  Rp 4.000 untuk empat tusuk. Slurp!
Kiri: Cilok; Kanan: Cilok bakar

Perjalanan kami lanjutkan ke tukang bakso samping Inbis UB. Tukang bakso di situ sudah menjadi favorit gue dan keluarga kalau berkunjung ke Malang. Padahal tukang bakso tersebut hanya gerobakan biasa, namun selalu diserbu pembeli. Harganya Rp 1.000/ satuan untuk semua jenis bakso, tahu, dan gorengan. Kubisnya gratis.

Ini dia bakso yang selalu bikin ngiler

Ngeblur parah, karena gue salah pasang mode

Pak bakso, gerobak, dan baksonya. Satu gerobak rasanya pengen gue bawa pulang ke rumah! 

Setelah puas melepas kerinduan akan kuliner khas Malang, kami melanjutkan perjalanan ke daerah kosan gue. Tentu kali ini nggak jalan kaki, karena lumayan ngos-ngosan apalagi waktu sudah memasuki tengah hari. Eh tapi, jangan khawatir jika Anda ingin berjalan kaki di Malang, karena tidak akan ada setetes keringat pun yang akan mengucur dari tubuh Anda! Haha. Jelas berlebihan. Yang jelas, pertengahan tahun seperti saat ini, Malang sedang mengalami "musim dingin". Matahari tetap terasa panas namun udaranya dingin sekali sehingga berjalan kaki pun tidak akan membuat Anda mandi keringat.

Sampai di daerah kosan gue, gue makin terbengong-bengong melihat sekeliling. Ditinggal setahun ternyata sudah banyak perubahan. Rumah ibu kos gue pun ikut berubah. Jadi lebih besar dengan desain arsitekturnya yang modern. Ibu kos gue terkejut melihat kehadiran gue dan nyokap karena sebelumnya kami belum bilang padanya kalau akan ke Malang. Tapi tetap sih, ibu kos memperbolehkan kami menginap di sana. Gue kalau di Malang tidak akan takut memikirkan harus menginap di mana, karena ibu kos gue selalu menerima dengan tangan terbuka. Baik kan, ibu kos gue? Makanya, kalau mau ngekos di Malang, di kosan gue aja *eh kok malah promosi

Masuk ke dalam kosan.. Voila! Sekarang ada kulkas. Hahaha. Diletakkan persis berhadapan dengan kamar gue dulu. Gue langsung memanggil penghuni-penghuni kosan yang masih tersisa (karena saat itu sudah masuk musim liburan). Gue bertemu dengan Shinta, Vivi, dan Dara. Mereka adalah adik kos tepat di bawah gue setahun. Makin cantik-cantik deh mereka, ihik, jadi iri. Dan tahukah apa pendapat mereka tentang gue setelah satu tahun nggak berjumpa? "Eeeeh Mbak Citta sama aja ya, nggak berubah. Eh tapi kakinya mengecil. Haha. Iya. Mengecil." Ya Allah. Komentar apapula itu -___-

Sekitar pukul 13.30, gue mengantarkan nyokap ke rumah saudara di Jalan Watugong. Sebenarnya rumah saudara gue ini tidak terlalu jauh dari kosan gue, tapi gue tetap memilih untuk menginap di kosan saja supaya bisa ngerumpi sama teman-teman kosan, hihi. Berhubung pukul 15.00 gue memiliki janji dengan teman-teman kuliah S-1, berangkatlah gue ke Illy Cafe, sedangkan nyokap gue tetap berada di rumah saudara.

Gue sampai di Illy Cafe (alhamdulillah) tanpa nyasar dan masih mengingat jalur angkot di Malang. Jelas aja lah Cit, lo kan 3 tahun di Malang ke mana-mana ngangkot mulu. Gue langsung menghubungi teman-teman untuk menginformasikan bahwa gue sudah sampai. Ternyata Didin masih menunggu jemputan Shandi. Kemudian Didin menganjurkan agar gue masuk saja dulu ke Illy. Beruntung, gue mendapatkan tempat duduk. Karena dengar-dengar sih, di Illy Cafe ini susah cari tempat duduk sebab pengunjungnya banyak. Memang, kali ini rezekinya turis (baca: gue).

Gue cukup lama menunggu kedatangan Didin, Dita, dan Shandi. Sampai-sampai menunya Illy Cafe iseng gue fotoin. Di salah satu sudut menu gue menemukan ini:

Perkenalkan, saya Pak Illy

Kemudian, pintu Illy Cafe terbuka, gue melihat sosok Shandi berdiri di situ. Ternyata kedatangannya sendiri, tanpa Didin. Usut punya usut, Shandi tidak jadi menjemput Didin, maka sementara itu kita berdua saja hingga yang lainnya datang. Gue sibuk mewawancarai Shandi, karena dia sekarang sudah bekerja di PT. BISI. Hebat ya, teman gue yang satu ini :p
Shandi, calon bos PT. BISI. Diaminin ya, Shan :D 

Tak lama, Didin datang menyusul. Aah kangen! Kita cipika-cipiki seperti biasa, kalau sama Shandi kan nggak mungkin yaaï¾… Kemudian kami mengobrol sana-sini dan nggak lupa ngegosipin si A B C  sampai Z. Sambil ngobrol, kami menyantap makanan Illy yang lezat. Gue dan Didin sama-sama memesan Nasi Panggang Beef Lada Hitam. Untuk dimakan bersama, kami memesan Jamur Crispy. Untuk minumannya, gue pesan Iced Vietnam Coffee dan Didin pesan teh dengan cincau (lupa namanya apa), sedangkan Shandi pesan es krim (lupa nanyain dia pesan rasa apa).
Nasi Panggang Beef Lada Hitam (Rp 15.500)
Jamur Crispy (Rp 9.500)

Iced Vietnam Coffee (Rp 13.500)
Es Krimnya Shandi dan Teh dengan Cincau yang gue lupa namanya (doh!) 

Sebelum menyantap makanan yang ada, seperti biasa gue mendokumentasikannya terlebih dahulu, tentu, untuk keperluan blog ini hehe. Didin yang membawa kamera polaroidnya juga mendokumentasikan santapan kami. Setelah sesi memotret selesai, kami melahap makanan hingga habis. Percaya nggak percaya, hingga makanan kami licin tandas, Dita belum juga datang. Ternyata Dita memberi informasi bahwa dia baru saja pulang dari Batu, menanyakan apakah kami mau menunggunya. Tentu saja bakalan gue tunggu, kapan lagi ada kesempatan bertemu teman kuliah.. Sementara menunggu Dita, akhirnya Didin ngomongin boyband Korea. Padahal gue sama Shandi nggak suka Korea-Koreaan, untung Dita belum datang, kalau nggak, gue dan Shandi bakalan jadi kambing congek. Tapi sepertinya di lubuk hatinya yang paling dalam, Shandi juga tertarik dengan Korea. Iya kan Shan, ngaku aja deh :p

Sudah hampir maghrib, Dita datang dengan tergopoh-gopoh. Akhirnya artis Malang ini datang juga (Hai, Dit! Sering jadi silent reader blogku, kan? :p). Teman-teman gue sempat bertanya kepada gue, mau diantarkan ke mana. Padahal tadinya gue penasaran ingin menyicipi Mie Setan atau Mie Tomcat yang sedang menjadi buah bibir di Malang. Akan tetapi perut sudah kenyang. Pilihan pun jatuh kepada.. Mall Olympic Garden untuk berkaraoke. Haha, jauh-jauh ke Malang cuma buat karaoke. Tapi nggak apa-apa, yang penting kebersamaannya.
Tebak, yang mana Didin, yang mana Dita? Yang tengah sih udah jelas Olla Ramlan ya.. 

Berkaraoke selama dua jam dengan tema lagu-lagu boyband '90an, membuat kami berapi-api, namun di setengah jam terakhir sudah tidak ada daya lagi untuk bernyanyi. Apalagi ketika lagu Shape of My Heart-nya Backstreet Boys, gue yakin satu mall bisa mendengar suara kami berempat :D
Ini pas kita nyanyi lagu apa ya, Din, Dit, Shan?

Akhirnya kebersamaan gue dan teman-teman kuliah harus segera berakhir. Sebelum berpisah, gue minta diabadikan dengan kamera polaroidnya Didin. Hihi, norak kan gue. Sebenarnya yang bikin gue sedih saat terakhir ini saat Shandi ngomong ke Dita dan Didin, "Kalau kita sih masih bisa ketemu, tapi kalau ini nih..." sambil menunjuk gue. Hiks. Iya teman-teman, kalau ada kesempatan, kita ketemu lagi ya.. Terima kasih Didin, Dita, dan Shandi untuk pertemuan singkatnya :)
Ini dia hasilnya.. Foto yang kanan belum "kering" sepenuhnya 

Gue diantar Dita sampai rumah saudara untuk menjemput nyokap gue. Setelah itu gue dan nyokap berjalan ke kosan. Gue mencari warung penjual lalapan, mengingat lalapan adalah makanan wajib gue selama tinggal di Malang dulu, namun karena saat itu sedang musim liburan dan sudah malam, tak ada satupun warung yang buka.. Lalu terlihat penjual nasi goreng di depan minimarket Rahma, salah satu langganan gue juga, maka gue membeli nasi goreng tersebut dan kaget karenanya harganya masih Rp 6.000 saja. Oh Malang, surganya makanan murah.

Sampai di kosan, nyokap gue beristirahat dan gue langsung bergegas ke kamar teman-teman gue. Di sanalah adik-adik kos gue bercerita seputar kosan termasuk penghuninya yang ternyata keadaannya makin membara. Hahaha. Gosip, digosok emang makin sip deh! :p

Malam semakin larut, waktunya untuk tidur. Shinta, Vivi, dan Vika memaksa gue untuk meminjam selimut Vika karena kamar milik Fitri yang gue inapi saat itu tidak ada selimutnya. Gue sok-sokan tidak perlu memakai selimut, karena gue lupa bahwa suhu di Malang sedang gila-gilaan dinginnya. Tapi mereka bertiga terus memaksa gue untuk memakai selimut. Eh ternyata benar, sudah pakai selimut, gue tetap susah tidur karena hawanya yang menusuk tulang. Sumpah. Malang saat itu dingin gila! Gue sudah terbiasa satu tahun kembali ke Bekasi tidur tanpa selimut, begitu balik ke Malang, kena suhu yang begitu langsung deh menciut. Terima kasih Vika, atas pinjaman selimut Eeyore-nya. 

Esok paginya, gue dan nyokap berpamitan kepada ibu dan teman-teman kosan, karena hari itu juga, gue akan kembali ke Surabaya. Meski travel menjemput gue jam 14.00, gue dan nyokap ada berencana pergi ke Pasar Besar bersama saudara-saudara gue. Maka, dari kosan, kami jalan ke rumah saudara dan dilanjutkan ke Pasar Besar. Kawasan Alun-Alun dan Pasar Besar menjadi salah satu tempat favorit gue di Malang, dulu sewaktu tinggal di Malang, gue cukup sering berkelana ke sana sendirian. Jadi, saat liburan kemarin gue kembali ke tempat itu menjadi sebuah nostalgia tersendiri. Seingat gue, gue tidak membeli kudapan apapun di sana, hanya sibuk keluar-masuk toko saja hehe.

Sekitar pukul 12.30, kami memutuskan untuk kembali ke rumah saudara. Karena jalan menuju rumah saudara gue melewati salah satu warung penjual lalapan martabak kesukaan gue, gue segera mencolek nyokap gue, minta berhenti dan membelinya. Akhirnya tidak sia-sia gue ke Malang, bisa merasakan lalapan lagi, meski martabaknya kalau siang belum siap untuk dibeli, lalu gue memesan Tahu dan Jamur Crispy. Nyam!

Sekitar pukul 14.00, travel menjemput gue dan nyokap. Sedih harus meninggalkan Malang, tapi juga senang mengingat masih ada kota-kota lain yang harus gue kunjungi di liburan kali ini.

(Bersambung ke artikel berikutnya...)


Selasa, 17 Juli 2012

Liburan Seru: Surabaya

Tanggal 28 Juni sampai 8 Juli kemarin, keluarga gue beribur ke beberapa kota di Indonesia. Nggak jauh-jauh sih, masih di pulau Jawa saja. Yang didatangi pun sebenarnya kota yang sudah sangat sering gue kunjungi, yaitu Surabaya, Malang, dan Jogjakarta. Mengapa menjadi begitu sangat istimewa? Karena gue benar-benar merasakan yang namanya liburan setelah sekian lama tidak berlibur.

Sebenarnya, liburan kali ini berawal dari acara pernikahan salah satu sepupu gue yang tinggal di Surabaya. Tanggal 28 Juni malam, gue beserta keluarga besar bokap gue yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya, berangkat dari Stasiun Gambir naik kereta Argo Anggrek menuju Surabaya. Rombongan kami berjumlah 21 orang. Ada satu kejadian unik ketika kami menaiki kereta tersebut. Karena 22 kursi di salah satu gerbong kereta tersebut sudah menjadi blok kami tersendiri, ada pemandangan yang ganjil ketika terdapat seorang lelaki menduduki kursi tepat di depan kursi gue (formasi tempat duduk sudah oom gue atur sedemikian rupa sehingga siapa berpasangan duduk dengan siapa). Gue langsung ngeh dan berbisik kepada nyokap, “Lho, ini siapa, kok duduk di sini?” Dari gerak-geriknya, lelaki itu seperti gelisah karena terus memandangi tiket yang ada di tangannya.

Suami kakak sepupu gue yang seharusnya duduk di kursi yang ditempati lelaki tersebut pun menegur lelaki itu, “Maaf mas, 9D ini kursi saya.” Mendengar itu, si lelaki terlihat bingung. Gue yang berada di belakangnya langsung berinisiatif untuk melihat tiket yang dipegang si lelaki, “Oh, ini Gerbong 1, mas. Kalau mas Gerbong 4,” ujar gue sambil menunjuk tulisan di tiketnya. Sang lelaki terlihat panik dan segera memohon maaf, lantas bergegas menuju gerbong yang lain.

Setelah itu, keluarga gue ribet mengatur tas dan kopernya masing-masing. Tak lama kemudian, si lelaki-yang-salah-tempat-duduk terlihat berjalan kembali mendekati kursi 9D di gerbong kami. Dengan yakin dia berkata kepada suami kakak sepupu gue, “Pak, tadi saya sudah tanya petugasnya. Ini benar gerbong saya. Yang ditulis di sini, kereta 4 ya gerbong ini. Jadi ini tempat duduk saya.”

Gue dan suami kakak sepupu gue terheran. Tidak mungkin ada orang lain yang nyelip di antara kursi kami. Gue kembali (sok) mengurus ketidakberesan tersebut, “Mas, coba lihat tiketnya deh,” ujar gue terhadap suami kakak sepupu. Sejurus kemudian, kami membandingkan tiket kami dengan tiket si lelaki. Mata gue menangkap suatu keanehan di tiket si lelaki, “Ini, tanggal 30 Juni?” Suami kakak sepupu gue berujar, “Oh ini tanggal tibanya.” Si lelaki turut mengiyakan. Sementara suami kakak sepupu gue dan si lelaki belum sadar, mata gue menangkap tulisan tanggal keberangkatan di tiket kami sambil membandingkannya denga tiket si lelaki.

“Oh pantas. Mas ini harusnya berangkat tanggal 29,” ujar gue penuh kemenangan (halah, begini aja pakai menang-kalah :p). Suami kakak sepupu gue malah bertanya, “Emang sekarang tanggal berapa?” dan gue menjawab, “Tanggal 28.” Seketika itu suami kakak sepupu gue dan si lelaki mengecek kedua tiket. Beberapa detik kemudian mereka baru tersadar, “Oh iya.. Harusnya mas berangkat besok,” kata sepupu gue. Si lelaki wajahnya langsung merah padam dan mengumpati dirinya sendiri. Lalu ia meminta maaf kepada kami sambil menuju keluar. Kami sekeluarga tertawa. Bukan tertawa kemenangan, tapi heran, kok bisa-bisanya ada orang naik kereta tapi nggak ngecek tanggalnya. Kemudian kami berpikir, untung saja lelaki itu barang bawaannya hanya satu buah ransel. Nah kalau kami, bisa  repot kan, 21 orang dengan bawaan berkoper-koper kemudian salah naik kereta..

Sayangnya, tidak ada foto kami sekeluarga di dalam kereta yang bisa gue pamerkan saat ini, karena foto tersebut ada di kamera milik sepupu gue dan gue belum sempat minta dikirimkan. Silakan dibayangkan saja ya, “rombongan bonek pulang kampung”nya seperti apa :D

Esok harinya, pukul 07.30 kereta sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya. Keluarga Surabaya sudah siap menanti kami di pintu keluar. Total lima mobil dikerahkan untuk mengangkut kami beserta barang bawaan ke rumah tante gue yang memiliki hajatan. Sepanjang jalan ke rumah tante, kami sibuk celingak-celinguk melihat perubahan apa saja yang terjadi di Surabaya. Seingat gue, terakhir kali gue ke Surabaya sekitar dua tahun yang lalu. Sudah cukup banyak perubahan yang terjadi di kota favorit gue itu, terutama bangunan-bangunan (baca: mall) yang dulunya masih dibangun sekarang sudah berdiri megah.

Sesampainya di rumah tante, kami mempersiapkan acara siraman untuk sepupu gue. Karena acara siraman dilaksanakan sore hari, maka ketika siang hari kami masih sempat memanggil tukang bakso sepedaan dan pecel semanggi. Kalau bakso sih udah biasa ya (bakso Surabaya itu enak banget!), tapi yang bikin penasaran adalah pecel semanggi yang gue belum pernah coba. Dari dulu gue selalu diiming-imingi sepupu gue karena kata dia pecel semanggi rasanya sangat lezat. Kebetulan pas di Surabaya kemarin, ibu penjual pecel semanggi lewat di depan rumah tante, jadinya kami sekeluarga memborong sampai habis. Jadi, ibu penjual pecel ini berjualan dengan berjalan kaki sambil membawa tempat anyaman bambu (seperti tukang jamu) untuk menyimpan bahan-bahan pecel semanggi. Pecel ini disajikan dengan pincuk (daun pisang berbentuk corong berukuran kecil) dan isinya adalah daun semanggi dan tauge yang dilumuri saus khas pecel semanggi (berwarna coklat muda dan agak kental dengan rasa manis pedas), serta kerupuk puli. Rasanya? Yummy, ternyata benar-benar enak! Tapi maaf, saking semangatnya menyicipi kuliner ini, gue sampai lupa untuk memotretnya. 
Gambar Pecel Semanggi yang gue ambil dari mynalendra.multiply.com 

Sore harinya, sepupu gue menjalani upacara siraman dan malam harinya dilanjutkan dengan upacara midodareni. 
Iwan sedang disirami nyokap gue

Keesokan harinya, ketika ayam jago belum berkokok bahkan azan Subuh belum berkumandang, kami menuju ke Masjid Al-Akbar Surabaya sekitar pukul 04.00 subuh untuk acara akad nikah sepupu gue yang dimulai pukul 07.00 pagi. Gue antusias sekali karena gue sudah lama ingin masuk ke dalam Masjid Agung Surabaya ini. Sesampainya di sana, memang tidak salah perkiraan gue atas masjid tersebut, benar-benar indah.
Nyokap gue berdiri di salah satu pintu Masjid Al-Akbar Surabaya (Jadi nyokap gue mulu nih yang eksis) 

Pukul 07.00, sepupu gue menjalani upacara akad nikah.
Mempelai wanita mencium tangan mempelai pria sesaat setelah ijab kabul 

Pukul 10.00 dilanjutkan dengan resepsi. Gue dan sepupu langsung berburu makanan. Makanan yang paling bikin keinget sampai sekarang adalah lontong kikil dan tahu campurnya. Memang juara deh makanan Surabaya!
Selamat menempuh hidup baru, Iwan dan Rena 

Gue dan bokap akhirnya kebagian tampil

Eh foto di atas nggak ada korelasinya ya, sama teks sebelumnya. Biar ah XD

Di resepsi ini gue juga berjumpa dengan Dhepoy, teman kuliah S-1 gue yang saat itu sedang bekerja di Surabaya dan sengaja gue undang. Terima kasih ya Dhepoy, sudah mau datang..
Dhepoy pakai baju baru lho ini :p

Acara resepsi selesai, kami kembali pulang ke rumah tante. Di rumah tante penuh dengan makanan-makanan pesta. Sampai malam gue pun tidak berhenti mengunyah, karena gue sudah bertekad, liburan kali ini gue tidak akan menyia-nyiakan makanan apapun yang ada di hadapan gue. Gue tidak peduli terhadap penambahan lemak di sana-sini. Yang penting, hajar bleh! :D

Besok paginya, gue dan nyokap siap berangkat ke Malang. Bokap mengantarkan kami sampai ke terminal Bungurasih. Sesudah itu kami menaiki bus ke Malang. Yeay, tunggu kedatangan kami, Malang!!!

(Bersambung ke artikel berikutnya)...


Rabu, 11 Juli 2012

Panggilan Tante


Satu minggu ke depan, kehamilan kakak ipar gue akan memasuki minggu ke-36. Berarti tidak lama lagi gue akan berjumpa dengan keponakan kandung gue. Yippie!

Sejak berbulan-bulan yang lalu, gue sudah sibuk memikirkan panggilan apa yang tepat untuk keponakan gue dalam memanggil gue. Ribet ya bahasanya muter-muter? Tapi intinya ngerti kan? :D

Selama ini, keponakan-keponakan gue (anak dari sepupu-sepupu gue), memanggil gue dengan sebutan Tante. Ada dua orang keponakan gue yang memanggil gue Bibi karena kakek mereka berdarah Sumatra.

Gue pun bosan dengan panggilan Tante. Seperti biasa, gue memang suka sesuatu yang lain daripada yang lain. Gue nggak mau keponakan kandung gue memanggil gue Tante atau Bibi. Gue butuh pembaharuan. Butuh sesuatu yang berbeda dan menarik. Kayak udah mau kampanye aja ya gue?

Baiklah kita lanjutkan. Belum ada keponakan gue yang memanggil gue dengan sebutan Aunty, tetapi sepertinya panggilan ini di Indonesia sudah lazim digunakan di mana-mana..  Itu artinya, masih masuk ke dalam panggilan standar. Gue sempat melontarkan keinginan untuk dipanggil Encang. Panggilan ini merupakan panggilan tante dalam bahasa Betawi. Kenapa gue pengin dipanggil Encang? Karena gue berpikir, gue selama 20 tahun lamanya lahir dan tumbuh di Bekasi (3 tahun sisanya di Malang), meski tanpa darah Betawi sedikit pun mengalir dalam tubuh gue, gue mengakui bahwa gue adalah orang Bekasi (orang Jawa yang tinggal di Bekasi, maksudnya :p). Namun setelah gue timbang-timbang lagi, ah sepertinya kirang pantas kalau gue dipanggil dengan sebutan tersebut.

Terus, panggilan tante dari bahasa apa ya, yang jarang digunakan dan cocok untuk gue?

Aha! Tanpa cari di google pun akhirnya gue menemukan sebuah ide cemerlang.

Gue memutuskan untuk dipanggil Bulik. Untuk yang belum tahu, Bulik ini adalah panggilan tante dari bahasa Jawa. Di kalangan keluarga gue, panggilan Bulik hanya ada sampai generasi bokap gue saja. Bokap gue memanggil tante dan oomnya dengan panggilan Bulik dan Paklik. Di keluarga nyokap gue tidak mengenal panggilan Bulik. Maka, untuk melestarikan panggilan ini dalam keluarga gue, gue ingin sekali dipanggil Bulik. Yeah!!! *merasa keren

Beberapa hari setelah perenungan panjang itu, tanpa disengaja, kakak gue menyarankan agar gue dipanggil Bulik saja. Nah, bisa sama gitu kan pemikirannya, padahal gue tidak berdiskusi sebelumnya sama dia. Cocok lah kalau begitu hehehe.

Gue juga sudah lapor kepada nyokap tentang keputusan gue untuk dipanggil Bulik oleh keponakan gue nantinya. Nyokap setuju. Gue juga memberi persyaratan, bahwa hanya gue seorang diri yang boleh dipanggil Bulik oleh keponakan gue itu. Untuk sepupu-sepupu gue yang lain, terserah boleh dipanggil apa saja, asalkan jangan Bulik. Egois, kan? Bukan. Menjaga eksklusivitas saja :D

Masalah nama panggilan untuk gue selesai. Muncul persoalan baru. Gue menantang nyokap gue, “Bu, emang Ibu nanti dipanggil apa sama cucunya? Eyang Putri? Iiih biasaaa!” Karena gue tahu, nyokap gue sebangsa gue juga, yaitu suka yang anti-mainstream. Berkerutlah keningnya. Hahaha. Selamat mencari nama panggilan untukmu ya, Bu :p