Senin, 06 April 2015

Kisah Citta Pascalulus (Kelima): Pengambilan Ijazah dan Transkrip


Buat yang berpikir, “Ini apaan sih Kisah Citta Pascalulus nggak abis-abis? Apa urusan gue? atau “Penting banget nggak sih, lo cerita panjang lebar gitu, Cit? Gue nggak peduli!Hakhak. Hampura. Mending doakan gue supaya dapat melangkah ke tataran hidup selanjutnya aja, gimana? Berdoa, mulai.

Aamiin. Selesai.

Sekarang gue mau cerita tentang proses pengambilan ijazah di eF-I-Be UI. Jadi, sekitar dua hari sebelum gladi resik, di sore hari yang cerah, gue di-SMS oleh Mbak sekretariat yang mengurus departemen gue, “Mbak Disyacitta, segera serahkan formulir pemesanan ijazah, segera.” Gue yang kala itu sedang guling-gulingan di atas kasur langsung loncat. APAAAH?!

Gue kaget karena: pertama, gue baru sekali itu mendengar Formulir Pemesanan Ijazah dan kedua, di dalam SMS-nya ada dua kata segera yang gue artikan sendiri sebagai ‘penting banget, man! lo harus lakukan ini sekarang juga’.

Mari kita bedah satu-satu poin kekagetan gue:
1. Kenapa mahasiswa yang sudah lulus harus MEMESAN ijazah? Bukankah setiap mahasiswa yang sudah lulus BERHAK mendapatkan ijazah dan sudah BERKEWAJIBAN untuk memberikan ijazah? Lantas, kenapa mahasiswa harus PESAN terlebih dahulu? Kalau gue nggak pesan, apakah gue nggak dapat ijazah? Pemikiran ini tentu tidak berdasar atas alasan kemalasan-mengurus-ijazah-melalui-birokrasi semata, tetapi karena gue sudah pernah menjadi mahasiswa yang lulus dari universitas negeri lain dan gue tidak perlu melakukan pemesanan untuk mendapatkan ijazah. Memang, kebijakan setiap kampus pasti berbeda-beda, tapi hal ini menurut gue kurang masuk akal dan merepotkan.
2. Kalau hal ini penting dan sifatnya segera, kenapa Mbak sekretariat  mengirim SMS dua hari sebelum gue gladi resik wisuda? Harusnya kan setelah gue dinyatakan lulus, gue diberi tahu akan hal itu. Jadinya gue bertanya-tanya sendiri, beneran nih, perlu segera dikumpulkan? (Ternyata saat wisuda gue bertemu dengan wisudawan lain dan ia berkata tidak mendapat SMS dari Mbak sekretariat mengenai formulir pemesanan ijazah. Jadi untuk sementara benar kan dugaan gue bahwa formulir ini sifatnya tidak penting-penting amat.)

Akhirnya, sebelum gladi resik gue mampir ke Gedung II FIB terlebih dahulu untuk mengambil formulir pemesanan ijazah. Karena saat itu sudah memasuki jam istirahat, maka gue hanya mengambil formulir saja tanpa bertanya kepada mas atau mbak pegawai di sana. Pas gue lihat ternyata ada syarat-syarat yang harus disertakan, yaitu pas foto 6x6, bukti penyerahan tesis, bukti pengunggahan tesis, dan bukti bebas pinjam buku perpustakaan. Sudah jelas saat itu gue tidak membawa foto dan belum menyerahkan maupun mengunggah tesis, sehingga gue memutuskan untuk mengembalikan formulir beserta syarat-syaratnya di lain hari saja.

Keesokan hari setelah wisuda, gue mengunggah tesis lewat http://lib.ui.ac.id/unggah/. Sebenarnya hal ini sudah pernah gue lakukan sebelum wisuda tetapi yang gue lakukan tidak membuahkan hasil alias gagal. Ternyata mengunggah tesis di http://lib.ui.ac.id/unggah/ tidak semudah yang gue kira. Ada beberapa kolom yang harus gue isi dan gue mengalami beberapa kesulitan saat mengisinya, terutama pada nama dosen pembimbing dan penguji. Jadi, saat kita mengisi nama dosen, akan muncul otomatis seperti kita mengetik di google gitu, lho. Duh istilahnya apa gue ga ngerti, haha. Nah, nama yang muncul secara otomatis itu ternyata nggak akan muncul kalau internet yang kita pakai koneksinya lambat. Gue coba beberapa kali dan hasilnya tetap sama. Jadi saran gue, kalau mau ngunggah di situs itu, lo harus pakai internet yang kencang dan atau harus sabar. Di suatu malam, gue coba kembali mengunggahnya dengan harapan internet yang gue pakai koneksinya sudah lebih cepat. Akhirnya gue berhasil memunculkan secara otomatis nama-nama dosen gue tetapi gue tetap tidak bisa submit karena di layar tampil peringatan yang mengatakan bahwa ada jumlah karakter yang kebanyakan. Selidik punya selidik, nama dosen gue yang muncul secara otomatis itu kepanjangan karakternya! Nah lho, bukan salah gue kan -__- Akhirnya gue memutuskan untuk menghapus nomor yang menurut gue tidak penting (karena selain nama, ada pula NIP dan entah nomor kode apa yang muncul di sistem otomatis itu). Keputusan menghapus nomor itu membawa keberhasilan pada pengunggahan tesis gue. Fiuh! Dan ternyata bukan gue saja yang mengalami kesulitan, karena teman gue pun mengalami hal yang serupa. Jadi jelas kesalahan atau kebodohan bukan di gue, dong, melainkan sistemnya yang kurang bersahabat.

Beberapa hari setelah berhasil mengunggah tesis, gue ke perpustakaan untuk menyerahkan tesis dan mengurus bukti bebas pinjam buku perpustakaan. Mengenai tempat penyerahan tesis, letaknya di Lantai 1 perpustakaan. Begitu masuk pintu perpustakaan, meja yang berada di depan adalah untuk pengembalian buku, sedangkan untuk menyerahkan tesis, gue harus menghampiri ke meja di bagian sebelah kiri. Ada seorang bapak pegawai yang berjaga di situ. Gue harus mengisi sebuah tanda bukti penyerahan kemudian memberikan tesis yang sudah terjilid ke bagian itu. Setelah itu, gue mengurus bukti bebas pinjam buku perpustakaan yang letaknya di meja yang sama dengan meja pengembalian buku. Agak deg-degan juga sih, takutnya ada buku yang gue pinjam tapi lupa gue kembalikan dan harus bayar denda. Alhamdulillahnya ketakutan gue tidak terjadi. Sebab, banyak lho, mahasiswa yang nggak sadar punya buku pinjaman dari perpustakaan yang lupa dikembalikan dan ketika mengurus bukti bebas pinjam, mereka harus membayar denda yang besar jumlahnya :o

Setelah semua urusan di perpustakaan selesai, gue kembali ke mobil karena sudah memasuki jam istirahat (yang sudah pasti loket di Gedung II sudah tutup). Di saat-saat menanti loket buka, gue mengecek kembali formulir pemesanan ijazah dan membacanya. Sesaat kemudian gue tersadar. Foto 6x6. Oke. Gue ngecek tempat pensil, membuka plastik tempat menyimpan segala ukuran pas foto yang gue punya. Gue kaget bukan kepalang ketika menemukan bahwa foto yang gue kira berukuran 6x6 adalah 3x3! Gue panik nggak tahu harus ngeprint di mana. Gue mengirim pesan ke teman-teman gue. Sembari menunggu, gue cari di google tempat ngeprint foto berukuran 6x6. Menurut gue ukuran itu kurang lazim, biasanya kan 2x3, 3x4, atau 4x6. Nah iin 6x6. Tempat foto mana yang bisa ngeprint pas foto segede gaban gitu? Setelah pikiran yang kalang kabut, gue teringat MariPro Depok (sebelah Es Pocong). Gue langsung lari ke sana dan alhamdulillah bisa langsung jadi (ditunggu beberapa menit), tapi minimal nyetaknya harus enam lembar sedangkan gue hanya butuh  satu lembar. Lima lembar sisanya buat apa, coba? Mungkin di antara pembaca blog ini ada yang mau? :p

Drama mencetak foto usai, terbitlah drama yang lain. Gue bergegas menuju Gedung II dan bertemu dengan seorang Mbak pegawai di loket pengambilan ijazah. Gue menyerahkan formulir dan segala macam persyaratannya. Di situ Si Mbak agak terkaget, “Oh, belum ngumpulin (formulir), ya?” Gue mengangguk. Namun, gue tetap bisa mengambil ijazah. Nah, kan, bisa juga tuh gue dapat ijazah tanpa pesan-pesan segala. Proses pengambilan ijazah masih memerlukan waktu yang tidak singkat karena gue harus menunggu lem foto kering, menunggu stempel kering, dan menunggu ijazah dipindai terlebih dahulu. Setelah semua-muanya kering dan beres, gue harus tanda tangan bukti pengambilan ijazah. Tiba-tiba Mbaknya bilang kalau transkrip belum keluar. Ngueeeng. “Jadinya kapan, Mbak?” “Belum tentu, sih. Yang jelas saat ini masih dalam proses.” Yo wis lah tak sabar-sabarke wae. Setelah itu Mbaknya nyuruh gue fotokopi ijazah. Fotokopi sendiri. Di luar. Pakai duit sendiri. Yaelaaa. You know what I mean, lah. Capek gue komentarnya, haha.

Selang waktu beberapa minggu, gue pergi ke kampus untuk mengambil transkrip. Gue berpikir dengan waktu yang selama itu pastilah transkrip gue sudah selesai. Gue bertanya pada Bapak yang terlihat di sekitar loket pengambilan ijazah dan transkrip. Kemudian beliau mengambil setumpuk ijazah dan transkrip kemudian mencari nama gue. Krik krik. Cukup lama. Lalu beliau membuka suaranya, “Kemarin ngumpulin formulirnya telat, nggak?” Gue jawab, “Iya, Pak.” “Pantes!” Yeah, Bapaknya agak ngomel karena tahu gue telat ngumpulin formulir pemesanan ijazah yang gue singgung-singgung di awal cerita ini. Gue kemudian melakukan pembelaan, “Tapi teman saya kemarin ngumpulin formulirnya lebih telat daripada saya, transkripnya sudah jadi, Pak.” Setengah kesal beliau menjawab, “Iya bentar, ini lagi dicari. Ada di file susulan.” O-EM-JI, ternyata formulir pemesanan ijazah dampaknya sedemikian besarnya. Setelah Si Bapak mengobrak-abrik file susulan (nggak seekstrim itu juga, sih), akhirnya beliau menemukan transkrip gue. Olala, transkripnya kenapa gedeee sekali. Katanya sih emang buat dilipat gitu, padahal gue nggak suka melipat-lipat dokumen penting. Tapi kalau nggak dilipat gimana dong, wong gede banget, sampai sekarang pun gue masih nggak tahu harus nyimpan transkrip itu di mana karena gue nggak bisa meletakkannya di tas dokumen gue. Setelah mendapatkannya, gue pun mengucapkan terima kasih kepada Si Bapak yang sudah sempat ngomel ke gue, hihi.

Baiklah, gitu aja sih cerita dan derita seputar pengambilah ijazah dan transkrip. Untuk kisah mengurus legalisasi bisa dibaca di kisah berikutnya, ya :)