01.30 -
celoteh
16 comments
Butuh Sponsor untuk Mengasah Bakat
Beberapa minggu belakangan ini gue lagi “menikmati”
tugas-tugas di kampus. Sampai-sampai setiap mau merencanakan suatu kegiatan
bagi diri gue sendiri, langsung kandas begitu saja karena harus pandai-pandai
menggunakan waktu agar bisa segara menyelesaikan tugas dengan baik. Ya,
beginilah nasib mahasiswa.
Hingga suatu hari teman gue menyapa lewat YM. Begini
kira-kira:
Teman: “Cit, lo online?”
Gue: “Iya : (“
Teman: “Kok nggak seneng gitu? Lagi ngapain?
Ngerjain tugas ya?”
Gue: “Tuh tau.”
Teman: “Kecenderungan lo sih.”
Gue: “...”
*garuk-garuk tembok
Teman gue aja sampai hapal di luar kepala kalau
waktu yang gue miliki akhir-akhir ini hampir seluruhnya didedikasikan untuk
tugas.
Sempat berpikiran juga, sepertinya gue butuh
beberapa tantangan baru. Pengin melakukan hal lain di samping kuliah saja.
Meskipun ini sulit, karena sebelumnya gue juga punya beberapa rencana yang
ingin gue kerjakan di samping kuliah tetapi hingga kini gue belum bisa
merealisasikannya.
Dan kini gue mulai berpikiran untuk melakukan
kegiatan baru lagi. Gue memang banyak maunya banget deh. Mungkin gue termasuk
ke dalam ciri-ciri manusia yang tidak pernah puas.
Untuk merealisasikan kegiatan baru yang gue inginkan
ini, gue membutuhkan sponsor (baca: suntikan dana segar) untuk melakukannya.
Jika ada yang berminat, hubungi gue.
Gila lo Cit, kayak pengemis aja deh minta-minta.
Heh! Bukan pengemis sih, gue setara dengan panitia
yang minta-minta dana keluar masuk perusahaan.
Hahaha nggak kok, yang tadi cuma bercanda. Tapi
kalau tiba-tiba ada yang mau transfer uang ke gue tanpa syarat, boleh kok *eh
*tetep usaha : p
Emang mau melakukan apa sih?
Gue pengen belajar tentang sesuatu yang mungkin saja
gue memiliki kemampuan di dalamnya. Sebab gue selalu penasaran untuk
mempelajari sesuatu yang belum pernah gue ketahui sebelumnya. Urusan bisa-nggak
bisa, bakat-nggak bakat, jodoh-nggak jodoh (eh kok jadi ngomongin jodoh),
itu urusan belakangan. Yang penting dicoba saja dulu dan nikmati prosesnya. Itu
prinsip gue.
Kalau ternyata bisa dan memang berbakat dalam hal
tersebut, itu merupakan sebuah bonus yang harus dilirik sebagai peluang.
Kemudian, apakah potensinya mau terus digali atau hanya cukup sebagai
pengetahuan saja, itu terserah Anda. Lantas jika ternyata nggak bisa atau
nggak berbakat bagaimana? Jika Anda memang menyukainya atau Anda tetap
penasaran dengan ilmu tersebut, kunci utamanya adalah ketekunan dan
keyakinan. Karena setiap orang memiliki motivasi sendiri-sendiri dalam
mempelajari suatu hal maka semua keputusan ada di tangan Anda. Silakan mencoba
: )
Berbicara mengenai bakat, gue jadi ingat sedikit
cerita tentang bakat terpendam yang dimiliki seorang teman.
Kejadian ini gue nggak usah cerita ya di jenjang
apa, pokoknya dia teman sekolah gue, nggak enak kalau tiba-tiba ada teman yang
satu sekolah sama gue saat itu baca tulisan ini. Bisa jadi bahan kepo.
Hehe.
Suatu hari teman gue bawa buku tulis yang isinya
puisi-puisi ciptaannya dia. Puisinya pun masih dua biji kalau nggak salah. Gue
sebagai penggemar puisi dengan sumringah baca puisi ciptaannya itu. Gue bilang
bagus. Terus dia langsung tersenyum lebar sambil berkata, “Sebenernya gue punya
bakat terpendam nulis-nulis gini.”
Dalam hati gue langsung cekikikan. Hell-ooo BAKAT
TERPENDAM kata lo? Gue juga suka nulis tapi nggak sombong-sombong banget kayak
lo.
Lagi pula menurut gue kalau memang dia punya bakat
yang terpendam di dasar lautan kayak gitu, nggak seharusnya dia yang mengakui
dirinya sendiri. Kalau orang tuanya atau teman gue yang lain bilang, “Hai X, lo
punya bakat terpendam ya nulis beginian.” Gue masih bisa terima. Lah ini, dia
sendiri yang ngomong. Berarti bukan bakat yang terpendam dong, tapi bakat yang
tertukar (halah).
Dari situlah gue berpikir, karya atau kemampuan Anda
akan lebih bernilai jika sudah diakui oleh orang lain, bukan diakui secara
subjektif oleh diri sendiri. Contohnya kayak teman gue itu tadi yang ngaku-ngaku
punya bakat terpendam. Bukannya simpati malah jadi “iiiih!”.
Gambar diambil dari sini.