Tampilkan postingan dengan label KR 35. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KR 35. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 November 2010

Idul Adha Versi Anak Kos


Tahun ini merupakan tahun ke-tiga gue merayakan Idul Adha di Malang. Di tahun pertama kuliah, gue masih bisa berlebaran di rumah karena saat itu kalau tidak salah sudah memasuki waktu libur akhir tahun. Sedangkan di tahun ke-duanya, gue di Malang namun sedang berhalangan jadi tidak bisa sholat. Di tahun ke-tiga, nah ini dia.

Ada apa Cit?

Entah ini aib atau bukan, tapi gue hanya sekedar mau berbagi cerita saja. Satu tahun yang lalu, yang masih bertahan di kosan saat Idul Adha hanya lima orang saja yaitu gue, Novi, Usna, Mbak Lia, dan Mbak Sovy. Namun Mbak Sovy sedang berhalangan sehingga yang pergi sholat hanya empat orang termasuk gue.

Kita udah bangun pagi-pagi, semangat menyambut hari raya tersebut. Kita berniat akan sholat di Masjid Besar yang terletak di Jalan Kertopamuji. Jam setengah enam pagi kita semua sebenarnya sudah siap untuk berangkat, namun entah kenapa kita malah santai-santai. FYI, karena kita semua adalah anak Bekasi (kecuali Usna yang rumahnya di Jakarta), biasa sholat Ied jam setengah tujuh atau jam tujuh pagi jika berada di rumah. Maka, gue pun menganggap paling-paling sholat Ied di Malang juga dilaksanakan sekitar jam setengah tujuh-an.

Mendekati jam enam, gue pun memanggil teman-teman untuk segera berangkat ke Masjid. Dan dengan kepedean, gue nanya sama teman gue, “Bawa koran nggak ya?” Secara gue berpikir kita akan menjadi orang-orang pertama yang datang ke Masjid dan mendapat tempat di dalam Masjid. Namun teman gue tetap menyuruh gue membawa koran.

Kita berempat pun berangkat. Ternyata di awal-awal perjalanan, kita mendengar suara imam sudah memulai sholat. Langkah pun langsung kami percepat.

Sesampainya di sana, kita melihat shaf jamaah sudah tumpah sampai ke jalan. Kita pun mendapat shaf paling belakang dan dengan buru-buru memasang koran dan sajadah. Namun apa daya, saat itu sudah memasuki rakaat ke-dua dan kita pun tidak bisa mengejarnya lagi sebab sudah sampai gerakan sujud. OH TIDAAAK!

Jadi, kami hanya sempat mendengarkan ceramah dan tidak lama bangkit berdiri untuk kembali pulang ke kosan. Benar-benar kejadian yang buruk.

Dan tahun ini pun, tidak kalah serunya. Karena tanggal merahnya berada di tengah minggu, jadi banyak anak kos yang nggak pulang ke rumahnya masing-masing. Alhasil ada sekitar sepuluh orang yang merayakan Idul Adha di kosan. Gue sudah wanti-wanti jauh-jauh hari, jangan sampai telat lagi sholatnya.

Jam lima kurang sepuluh pun gue bergegas mandi. Terdengar teman-teman lain pun juga sudah bersiap-siap. Jam setengah enam kurang sepuluh, anak-anak di lantai atas sudah turun lalu nungguin gue dan Vika (kita berdua kamarnya di lantai satu). Tak lama kemudian, kita berangkat ke kampus. Lho, kok ke kampus? Iya, soalnya kita mau sholat Ied di Lapangan Rektorat. Kata Tita, cowok-cowok yang sholat di situ ganteng-ganteng (oke, niatnya melenceng sekali ya gue).

Sampai sana, untung saja kita masih beruntung dapat tempat di sekitar shaf ke-empat wanita. Sebab siang sedikit, shaf sudah tumpah sampai ke jalan.



Sesudah sholat, kita pun berfoto-foto. Gue sengaja bawa digital camera untuk mengabadikan kejadian ini (tuh kan, gue juga heran sebenarnya niat gue apaan sih?).


Lalu, kami pun mencari tempat makanan yang buka. Ternyata warung bubur penuh sesak, isinya pembeli yang sudah kelaparan semua. Tak jauh dari situ, warung tahu telur juga buka. Total hanya dua warung yang buka pada pagi ini (yang kita temui).

Sampai di kos, kita rapat kecil, memikirkan akan makan apa. Nggak lucu kalau makan mie instan. Masa’ lebaran nggak lebaran makannya mie instan. Akhirnya kita memutuskan untuk delivery KFC saja. Paket yang Rp 18.000-an (lupa nama paketnya apa).

Titi menelepon 14022. Sang operator menjawab, “Karena Idul Adha, pengiriman dilakukan mulai jam 1 siang.” DANG! Nggak jadilah, mau lihat kita mati kelaparan kali itu si mbak operatornya.

Akhirnya gue minta tolong sama salah satu adik kos gue yang punya pacar. Minta tolong untuk beliin makanan. Apa korelasinya adik kos yang punya pacar dengan beliin makanan? Kalau punya pacar kan bisa diantar ke mana-mana tuh, nah maka dari itu gue minta tolong adik kos gue buat nyari warung makan yang buka.

Si adik kos pun mencoba menghubungi pacarnya. Akan tetapi telepon genggam pacarnya tidak aktif. Akhirnya si adik kos cerita ke gue kalau pacarnya lagi marahan sama dia. Oh. mai. got.

Pupus harapan, gue pun membuat makanan instan dengan heater. Ya terpaksalah, kalau pagi ini gue nggak makan sama sekali, maag gue bisa makin parah (karena beberapa hari sebelum ini maag gue kambuh).

Sehabis itu gue internetan di kamar. Tiba-tiba adik kos yang tadi, nawarin mau nitip beli makan apa. Ternyata pacarnya sudah bisa dihubungi dan bersedia keluar sama adik kos gue. Yippy. Alhasil sekarang gue sudah bisa bertemu dengan nasi kembali. Lauknya lalapan ayam (teteuuup ya!) :D

Selamat Idul Adha untuk semua!



Selasa, 25 Mei 2010

Malang Tempo Doeloe (MTD) Tahun Ini Hadir Kembali!

Semua warga gegap gempita menyambut festival tahunan kota Malang yang digelar di sepanjang Jalan Ijen ini. Terbukti dari banyaknya jumlah pengunjung yang menyesaki jalan ini selama empat hari lamanya festival ini berlangsung (tanggal 20 hingga 23 Mei 2010). Tidak hanya di kawasan Jalan Ijen saja, namun hampir seluruh ruas jalan di Malang mengalami kemacetan. Dari jauh-jauh hari, adik kos gw, Shinta, sudah mengajak gw dan teman-teman untuk pergi bersama-sama ke acara ini. Pilihan pun jatuh pada hari Minggu. Sebetulnya sih gw pengen hari Kamis, karena menurut gw di hari pertama pembukaan pasti belum terlalu ramai sehingga kita bisa lebih leluasa jka ingin berfoto-foto ria. Namun akibat kesepakatan, dipilihlah hari Minggu sore.

Gw yang kebetulan pergi ke suatu tempat di hari ke-dua dan ke-tiga festival tersebut di gelar, merasakan kepenatan yang luar biasa akibat dahsyatnya kemacetan yang belum pernah gw alami selama tinggal di Malang. Jalanan sekitar Jalan Ijen hingga jalan di depan jalan kosan gw aja macetnya parah. Apalagi sewaktu malam Minggu, jalan di depan kampus gw naudzubillah macet total! Gw pun mendapat laporan dari teman-teman kos gw yang kebetulan sudah pergi ke festival tersebut, kata mereka di dalam sana sangat berdesak-desakan. Terlebih karena mereka pergi di malam hari. Memang, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, puncak keramaian berada di hari Jumat dan Sabtu malam.

Akhirnya, hari Minggu pun tiba. Gw dan teman-teman kos janji berangkat jam 2. Namun, seperti selayaknya anak muda, janji pun tak ditepati. Angka jarm jam hampir mendekati pukul 2 saja belum ada tanda-tanda yang mulai bergerak untuk bersiap-siap. Gw jujur aja saat itu juga nggak ikutan siap-siap, lagian ngapain juga gw udah rapi sedangkan yang lain masih ngegembel. Ogah juga lah ya.

Jam 2 lewat, gw mulai membangkitkan diri untuk bersiap-siap. Karena gw khawatir akan turun hujan sebab langit di luar sana tampak sudah tidak bersahabat. Gw memaksa teman-teman gw untuk bergegas siap-siap. Tak lama, terdengar Vika (adik kos gw) mengajak pergi setelah sholat Ashar. Padahal adzan Ashar berkumandang pukul 3 sore. Tingkat kekhawatiran gw semakin meningkat karena gw takut turun hujan jika kita pergi di atas jam 3. Tapi gw berusaha sabar dan setuju dengan ide tersebut, sebab saat itu gw lagi berhalangan dan gw berpikir jika gw sedang tidak berhalangan pasti gw lebih nyaman jika pergi dalam keadaan sudah sholat Ashar.

Setelah menunggu adzan Ashar, kita pun berangkat. Namun gw kecewa karena partisipan dari kosan gw sedikit sekali jumahnya, yakni 5 orang saja (termasuk gw). Padahal Shinta sudah gembar-gembor dari beberapa hari sebelum hari H. Alasannya macam-macam, ada yang mengerjakan tugas, ada yang capek karena sudah datang ke MTD bersama teman-temannya, ada yang bla bla bla (banyak alasan). Gak asik! Oke, perjalanan pun harus terus berlanjut. Jadinya gw pergi bersama Shinta, Nopek, Vika, dan Very.

Sesampainya di sana, gw melihat tidak terlalu ramai. Kita masih bisa berjalan tanpa berdesak-desakan. Shinta melihat ada seorang kakek yang berdiri dengan sepeda di sampingnya. Shinta langsung mengajak kita untuk berfoto bersama kakek tersebut. Kakek tersebut pun menyambut dengan antusias. Setelah beberapa kali jepret dan merasa sudah cukup, kami pun berpamitan. Tiba-tiba si kakek berkata sambil menunjuk kantong tas di sepedanya, “Ya, ini silahkan diisi.” Glek. Vika langsung mengeluarkan uang.

Gw dan Shinta langsung ngomongin kakek-kakek itu (sambil bisik-bisik). Soalnya, tahun lalu kita juga pernah foto sama kakek itu, tapi gak dimintain uang. Awalnya gw gak yakin kalau itu kakek yang tahun kemarin, tapi Shinta meyakinkan gw bahwa itulah kakek yang kemarin. Setelah gw ingat-ingat, betul juga, tapi sekarang si kakek lebih gemukan.

Kalau mau lihat foto si kakek di tahun kemarin, baca postingan gw yang ini. Klik.

Sejak saat itu kita berhati-hati kalau minta foto sama orang-orang yang berdandan tempo doeloe. Pasti kita bisik-bisik, “Bayar gak?” Takut hal yang sama terulang kembali (maklum, anak kosan).

Ternyata saat itu sedang ada acara karnaval topeng-topengan. Reog juga ada. Jadi, kami berhenti sebentar untuk melihat karnaval yang rata-rata pesertanya berasal dari anak sekolah tersebut.





Perjalanan dilanjutkan dengan membeli gulali. Gulalinya bukan gulali yang keras, melainkan gulali yang lembek. Harganya Cuma Rp 1000. Kata Shinta, sewaktu ia pergi di hari ke-dua, harganya masih Rp 2000. Mungkin karena hari itu hari penutupan, maka harga-harga makanan pun menurun.

Gulali ini terbuat dari gula. Tahun-tahun sebelumnya, gw biasa beli gulali namun yang terbuat dari gula Jawa, dan ditaburi dengan gandum. Kalau yang tahun ini, kebetulan gw dapat yang terbuat dari gula putih namun tidak ditaburi gandum. Kalau menurut gw sih, yang enak yang dari gula Jawa.



Kemudian kita berfoto di daerah hutan buatan. Di sana merupakan arena kuda poni. Gw juga baru sadar ketika beberapa kali foto ternyata melintas dua ekor kuda poni yang ditunggangi anak kecil. Gw agak takut begitu tahu ada kuda poninya. Sayang, kuda poninya gak kefoto.

Lanjut perjalanan, kita menemukan topeng yang besaaar sekali. Ini foto yang gw masukin adalah temen gw, namanya Nopek.

Gw juga sempat beli arum manis rambut nenek sihir. Harganya Rp 1000. Sedikit banget dapetnya.


(Foto gw ambil setelah di kosan)

Lalu mengabadikan sebentar di arena candi-candian.

Setelah berjalan beberapa saat, bertemu dengan arena yang memamerkan kendaraan-kendaraan antik. Arena itu berada di depan patung pahlawan trip. Jadilah gw dan Shinta foto di depan patung (kapan lagi bisa foto di depan patung pahlawan trip kalau Jalan Ijen tidak ditutup?).


Dan saat itulah, kita sepakat untuk balik ke gerbang keluar, sebab hari sudah semakin mendekati Maghrib. Jadi kita putar balik ke arah yang sebaliknya. Karena Jalan Ijen terdiri dari dua ruas jalan, maka jalan untuk keluar berada di ruas yang berbeda dengan ruas jalan untuk masuk.

Di sana gw menemukan penjual jenang cenil. Gw langsung semangat beli, harganya cuma Rp 3000.

(Ini gw ambil fotonya pas udah di kosan, maaf penampakannya berantakan, udah sempat gw makan soalnya. Hehe.)

Selagi gw menunggu penjual jenang cenilnya, Shinta membeli es gandul (es serut yang dituangi dengan sirup). Harganya Rp 2000.

Perjalanan berlanjut dan saat itu hujan turun rintik-rintik tapi hanya sebentar. Kemudian kita bertemu dengan dua orang berpakaian tentara.

Mas, nyengir dong. Kita jadi ikutan tegang nih.


Lalu gw beli kerupuk upil yang disertai dengan saus petis super pedas. Gw sharing sama Shinta, masing-masing patungan Rp 1000 untuk satu bungkus kerupuk upil.


Kaki kita pun melangkah semakin mendekati pintu keluar. Kita pun menyempatkan diri untuk membeli jajanan terakhir, yakni roti maryam. Yeay! Gw suka banget tuh. Harganya Rp 5000. Gw memilih rasa keju. Yummo!

(Foto ini juga gw ambil setelah di kosan)

Akhirnya.. Perjalanan kami pun berakhir. Sampai jumpa Malang Tempo Doeloe 2010. Semoga tahun depan ada lagi! Meski jika gw sudah bisa lulus sebelum tahun depan (amin), gw berharap gw bisa berpartisipasi lagi dalam festival ini.

Aku cinta kamu, Malang Tempo Doeloe.