02.25 -
celoteh,kampus,keluarga
4 comments
Kisah Citta Pascalulus (Ketiga): Tragedi Toga
Ketika daftar wisuda secara daring, calon wisudawan harus
memilih ukuran toga sesuai ukuran badannya masing-masing. Ukuran toga tersedia
dari S sampai XXL dengan tabel keterangan yang seingat gue mencakup panjang
badan, lebar bahu, panjang lengan, dan lingkar pinggang. Dari awal membaca
tabel itu, gue langsung berpikir untuk mengambil ukuran M. Setelah pikir lebih
jauh, gue takut ukuran M nggak sesuai ukuran badan gue, sehingga gue segera mengambil
meteran. Karena nggak pede mengukur sendiri, gue lari ke nyokap gue, “Bu, buat
ukuran toga, mending S atau M? Kalau ukuran S blablabla, kalau ukuran M blablabla.”
Lalu nyokap gue mengukur lebar bahu dan panjang lengan gue, “Ambil S aja, pas
ini.” Oke, gue percaya sama nyokap untuk memilih ukuran S. Dalam hati gue
sempat sebal sama tabel ukuran yang tersedia di laman wisuda daring karena
tidak ada ukuran lingkar kepala, tapi ya sudah bismillah saja, semoga baik jubah maupun topi berukuran S itu bisa
pas di badan dan kepala gue.
Untuk urusan ukuran semacam ini, gue nggak pernah puas dengan
keputusan yang gue ambil. Jas almamater kampus gue pas S-1 agak kebesaran
sedikit, kemudian gue kecilkan sesuai dengan ukuran badan gue saat itu (iye, saat
itu gue masih setipis kertas). Yang itu tidak terlalu bermasalah. Masalahnya,
ketika wisuda S-1, toga gue agak ajaib. Bukan di jubah toganya, tetapi di topi
toganya. Padahal, saat itu setiap calon wisudawan wajib mengepas ukuran toga
sesuai dengan contoh jubah dan topi toga yang disediakan oleh pihak fakultas. Kami
dipersilakan mengepas toga di salah satu ruang akademik dan kami diperbolehkan
mencoba semua toga yang ada dengan ukuran yang tentu berbeda-beda. Logikanya,
setiap calon wisudawan tidak akan ada yang salah ukuran karena kami telah
mencobanya. Apalagi saat itu gue mencoba toga bersama teman-teman, sehingga gue
bisa menilai yang dikenakan oleh teman gue sudah pantas atau tidak, dan
teman-teman gue juga bisa menilai yang gue kenakan. Setelah toga asli milik gue
berada di tangan, gue cobalah toga itu beserta topinya. Ukuran jubah toga oke,
tapi tidak dengan topinya. Kekecilan, cyiiin!
Saat pengukuran jaket almamater S-2 pun sama menyebalkannya. Ketika pendaftaran
ulang, gue mendapat kesempatan untuk mencoba semua ukuran jaket almamater. Saat
itu kan pendaftaran ulang sendiri-sendiri, jadi gue nggak kenal siapapun. Namun
saat mencoba gue bergumam, “Duh, ini kegedean gak, ya.” dan ada mbak-mbak
sebelah gue yang juga sedang mencoba menimpali gumaman gue, “Kalau kegedean
juga nanti bisa dikecilin,” lalu gue menjawab, “Ah, iya, ya, bisa dikecilin.”.
Akhirnya, jaket almamater yang gue pilih berukuran L dengan harapan lebih baik
kebesaran daripada kekecilan. Kalau kebesaran bisa dikecilkan, kalau dikecilkan
tidak bisa dibesarkan. Lalu, bapak petugas yang memverifikasi meyakinkan ulang
di depan gue, “Ukurannya L, ya,” dan dengan yakinnya gue jawab, “Ya.” Begitu di
rumah, gue buka bungkusan jaket almamater gue. Yak, kebodohan terulang kembali.
Ukuran L-nya besaaar sekali, pemirsa... Berbeda dengan yang gue coba di kampus.
Mana jaket almamater gue di kampus yang ini kata nyokap gue nggak bisa dikecilkan
karena akan memotong bagian-yang-manalah-yang-gue-ga-paham-karena-gue-ngga-pernah-menyentuhnya-lagi.
Seriusan, gue ngga pernah menyentuh bahkan melihatnya lagi saat jaket almamater
yang disebut-sebut “jakun” itu sampai di rumah. Terakhir di simpan di kamar
nyokap gue dan gue ga mau ketemu lagi dengan jakun itu karena sakitnya tuh di
sana, di salah ukuran T.T
Setelah solat Jumat, gue pergi ke tempat pengambilan wisuda
yang terletak di sayap baru Balairung yang menghadap ke danau. Sampai sana
suasananya sepi dan hanya ada dua orang calon wisudawan pascasarjana selain gue
yang mengantri. Antrian calon wisudawan sarjana bahkan tidak ada. Gue melirik
kertas yang dibawa ibu-ibu calon wisudawan yang mengantri di sebelah gue
(antriannya duduk). Akhirnya gue berani membuka mulut dalam edisi sok kenal sok dekat, “Bu, maaf. Yang
dibawa buat ambil toga apa saja, ya?” Kemudian ibu itu memperlihatkan kertasnya
ke gue, “Ini, slip pembayaran dari bank sama bukti cetak pembayaran.” Nah, kan,
bener. Kenapa dia bisa cetak bukti pembayaran, sedangkan gue tidak? Gue bilang
ke ibu itu kalau gue tidak bisa cetak bukti pembayaran. “Mungkin password-nya kali, mbak? Banyak yang ga
bisa masuk karena password-nya udah
gak berlaku.” Gue yakin banget sebelum ujian pratesis gue sudah mengurus
perpanjangan password, “Sudah saya
perbarui, kok, Bu.” Ibu itu akhirnya memberi saran lain, “Coba urus di komputer
sini, biasanya ada.” Gue sama ibu itu celingukan
cari komputer yang tersedia di ruang pengambilan toga. Sampai akhirnya mata
kami sama-sama menemukan sebuah meja ber-laptop
di sebelah paling kanan ruangan dengan seorang petugas yang duduk di
belakangnya, “Nah, itu dia!” Akhirnya gue berterima kasih pada ibu itu dan
pamitan menuju ke sana. Gue mendekati mbak petugas dan langsung menyapa padahal
mbaknya lagi makan nasi kotak, “Misi, Mbak. Maaf ganggu,” ujar gue sambil
ngelirik makanan di kotaknya. Kepo, pengen tau makanannya apa. Gue lihat ada
ayam gitu, sih, haha. “Oh ya, nggak pa-pa,” kata Si Mbak sambil sedikit kaget
menyambut kedatangan gue yang mengganggu makan siangnya. Gue lihat wajah
mbaknya, kok kayak kenal tapi gue lupa itu siapa, daripada nambah ke-SKSD-an,
mending gabung SNSD *apa sih* Ya udah, daripada kelamaan mengingat siapa mbak
itu, gue langsung pada pokok permasalahan, “Mbak, saya nggak bisa nge-print cetak bukti bayar.” Lalu mbak
petugas menjawab, “Oh, di sini bisa.” Kemudian mbaknya nge-klik sana-sini, dan menanyakan NPM gue. Nggak lama setelah gue
jawab, cetak bukti bayar gue sudah di-print-kan.
Horay! Lumayan, menghemat tinta printer di rumah. Dih. Setelah itu, gue
kembali mengantri sebentar dan mendapatkan undangan beserta sebungkus toga. Asyik! Jadi wisuda beneran! Nah, pas
keluar ruangan, ketika hendak turun tangga, gue baru ingat siapa mbak yang
membantu menyetak bukti bayar wisuda gue. Ternyata dia karyawan di tempat gue
magang! Pantas saja kayak kenal, tapi yang membedakan adalah sekarang dia
berjilbab. Gue magang kan tahun 2013, beda divisi juga sih sama dia, apalagi
sekarang dia berjilbab, ya wajar kalau gue lupa. Gue pengen masuk lagi dan
nyamperin mbak itu, tapi gue ada ketakutan salah orang. Haha. Kalau ternyata
benar itu dia, ya sudah gue minta maaf lewat sini saja. Maafkan ya, Vero :D
Sampai mobil, gue mengecek kelengkapan toga yang terbungkus
plastik. Pertama, gue mengecek jubahnya.
Two stripes, baby! |
Pas gue lihat topinya... Ya ampun kenapa kecil sekali? T.T
Gue heran, kenapa gue nggak pernah bisa secara presisi
mengukur toga dan jas/jaket almamater yang sesuai dengan anggota tubuh gue?
Dari segi panjang, jubah toga gue kependekan, meski ukuran di badan sudah pas.
Selain itu, topi toganya diameternya kekecilan di kepala gue. Memang sih, ada
karet di belakangnya, tapi dari pengalaman wisuda yang lalu, gue dikatain nyokap gue kalau topi toga gue
kayak kue ulang tahun X)) Nyokap pun punya mengalami hal yang sama saat wisuda
sarjananya dulu. Jadi, nyokap gue nggak mau tragedi-topi-toga-mirip-kue-ulang-tahun
terulang kembali. Akan tetapi, maaf, Bu, kali ini tragedi itu harus kita ulang
kembali :D
Sampai rumah, gue ngomel-ngomel sendiri di depan nyokap gue.
Beliau juga menyesal, kenapa toga gue kependekan dan topi toga gue kecil
sekali, “Kenapa pas kamu ambil, nggak langsung dicoba?” Gue diam saja penuh
kekecewaan pada diri sendiri. Untungnya, di bagian belakang topi masih ada
karet sehingga topi toganya bisa didorong ke bawah sehingga nggak terlihat
seperti kue ulang tahun banget. Nyokap pun akhirnya membuka salah satu bagian
jahitan karet kemudian menjahitnya lagi dengan posisi karet yang lebih lebar
sehingga karet bisa lebih ditarik dan kepala gue tidak pusing dengan kencangnya
karet dengan posisi yang sebelumnya. Gue pun berpikiran untuk menyiasati sanggul
gue saat wisuda nanti, yaitu cukup poni miring tanpa sasak dan posisi sanggul
berada di bawah sehingga tidak bentrok dengan topi toga. Kembali dari
pengalaman, sanggul gue pada wisuda S-1 lalu agak-agak maksa karena gue ingin
seperti model sanggul yang gue temukan di majalah, yaitu dengan poni belah
tengah. Hasilnya, topi toga gue semakin muncul ke atas. Yeah.
Pokoknya, besok-besok gue butuh saksi hidup untuk menemani gue mengukur hal-hal semacam itu. Mau nggak mau harus kuliah lagi supaya bisa merasakan jas/jaket almamater dan toga yang sesuai ukuran badan. Err... Gue nggak maksa, sih. Ya mungkin tiba-tiba dendam gue akan ketidakpasan-jas-almamater-dan-toga tersulut api, jadi gue harus menuntaskannya dengan kuliah lagi! HAHA *mau maksa siapa juga, Cit* -___-
4 comments:
Kak kok kelihatan yang muda pas S2 yaaa?
Tjiiee awet muda niih
Haha..Toga yang dibawa tidak bisa ditukar lagi,bikin panik ya..hari penting mau tampil cantik malah masih disisipin tragedi segala..
Tapi udah lewat kan ya? dan tetep cantik koq^^
Gia: Aaaah Gia bisa ajaaa *malu-malu kcing* *meong-meong-meong*
Mbak Irly: Makasih pujiannya Mbak :p Hihi.. Kalau ngga ada tragedi ngga ada cerita :D
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Posting Komentar