“Sebelah
kanan ada Idris Sardi, lho!” seru teman gue.
Mana? Kita kan memang duduk di
sebelah kanan. - batin gue dalam hati.
Begitu
gue tengok ke kanan bawah, ah benar. Maestro itu sedang duduk ditemani salah
seorang anggota keluarganya.
***
Kemarin,
gue berangkat ke kampus untuk mengikuti salah satu mata kuliah reguler. Sampai
di lobi fakultas, banyak orang yang memakai atribut pakaian daerah Sumatra. Gue
pikir, oh mungkin sedang ada acara.
Gue tidak terlalu banyak memusingkan hal itu dan bergegas menuju kelas. Setelah
menunggu kira-kira lima belas menit, dosen tak kunjung datang. Gue dan
teman-teman lalu berjalan menuju Gedung IX untuk mengetahui sedang ada acara
apa yang berlangsung.
Di
depan Auditorium Gedung IX ternyata sudah banyak sekumpulan orang yang
mengantri untuk mengisi absen acara itu. Gue dan teman-teman memutuskan untuk
mengisi absen dan masuk ke dalam Auditorium. Kami
memilih barisan tempat duduk di sayap kanan. Ketika hendak duduk, di situlah
terjadi percakapan yang menjadi ilustrasi pembuka dalam artikel ini.
Ya,
acara tersebut ternyata merupakan acara Dies Natalis FIB UI yang ke-9 Windu.
Dies Natalis kali ini bertajuk tentang Bumi Sriwijaya. Salah satu tamu yang
turut diundang adalah Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.
Acara
diawali dengan tarian daerah Palembang. Setelah itu, pembawa acara mulai
membuka acara. Kemudian Idris Sardi dipanggil ke atas panggung untuk memainkan
lagu Indonesia Raya, seluruh orang yang datang ke acara tersebut dipersilakan
berdiri.
Untuk
pertama kalinya gue mendengar langsung lagu Indonesia Raya dimainkan oleh
Maestro biola Indonesia. Yang terjadi adalah bulu kuduk gue berdiri sepanjang
lagu karena mengagumi gesekan biola beliau. Bahkan, dua teman yang berdiri di
samping kanan dan kiri gue, mbak Heidy dan mbak Mamay, menitikkan air matanya.
Gue jadi menyesal, mengapa saat itu gue tidak merekamnya. Namun alunan biola
lagu Indonesia Raya tersebut masih berdendang di telinga gue hingga kini.
Setelah
Indonesia Raya, beliau memainkan lagu Bagimu Negeri. Tidak mau mengulang
penyesalan yang kedua kali, gue mengambil kamera dan segera merekamnya. Alhamdulillah, bisa merasakan dan
mengabadikan keindahan kedua lagu itu.
Lagu
selesai, Idris Sardi turun, kembali ke tempat ia duduk sedia kala. Tempat duduk
beliau mungkin hanya berjarak tiga-empat meter dari tempat gue duduk, sangat
dekat. Gue bisa melihat apa yang dia lakukan. Membuka-buka map, tapi gue tidak
dapat melihat dengan jelas, map itu berisi apa.
Setelah
sambutan-sambutan dari ketua panitia, dekan, dan Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin, saat itulah gue baru mengerti apa isi map yang sedari tadi
dibuka-buka oleh Idris Sardi. Ternyata map itu adalah kumpulan partitur lagu
yang akan ia mainkan.
Idris
Sardi dipanggil kembali ke atas panggung. Selagi tempat duduk diatur, ia
berbicara di depan mikrofon. Beliau mengucapkan terima kasih karena sudah
diundang ke acara itu.
“Saya
bukan maestro, saya hanya pengamen,” ujarnya lirih.
Subhanallah, sosok yang berdiri di
panggung itu ternyata merupakan maestro yang berbalut rasa rendah hati.
Kemudian
beliau melanjutkan, “Saya berdosa, saya belum melakukan apa-apa untuk negeri
ini.”
Seketika
hati gue tertohok. Pemain biola sekelas Idris Sardi yang sudah mencetak banyak
prestasi dan kontribusi untuk negara saja belum merasa memberikan apa-apa untuk
Indonesia. Kalau begitu, apalah arti
keberadaan gue yang hanya sebutir pasir di pantai?
Lalu
ia mengaku bahwa dirinya sedang sakit, sambil menunjukkan tangan kirinya, “Saya
bermain biola sudah dari kecil. Maafkan saya kalau nanti saya bermain buruk.
Selain karena kesehatan, apabila permainan saya buruk karena saya juga belum
sempat sound check, saya belum
terbiasa dengan ruangan di sini.”
Setelah
itu beliau menjelaskan akan bermain selama dua puluh enam menit, dengan urutan
lagu yang tak bisa dipotong. Gue langsung terbelalak, DUA PULUH ENAM MENIT? Ini
jelas akan menjadi sebuah pertunjukan mahal yang gue tonton secara cuma-cuma.
Permainan
biola pun dimulai. Gue tidak mau kehilangan kesempatan untuk merekamnya melalui
kamera digital dan juga kamera pemberian Allah, yaitu mata kepala gue sendiri.
Maestro
berlilitkan sarung kehijauan tersebut sesekali duduk dan berdiri sambil
menggesekkan biolanya. Tak lupa ditambah dengan ekspresi dan aksi ketika
memasuki beberapa lagu tertentu. Sangat mengagumkan.
Pada
kenyataannya, lagu yang dibawakan beliau berlangsung selama dua puluh delapan
menit lamanya. Sayang sekali pada dua menit terakhir gue tidak bisa merekamnya
karena kamera digital gue kehabisan memori. Tapi gue tetap puas sudah bisa merekam,
mendengar, dan menyaksikannya langsung. Sekali lagi, alhamdulillah.
Setelah
permainan selesai, ia kembal berdiri di depan mikrofon. Ia kembali meminta maaf
atas permainan yang menurutnya buruk. Ia bercerita, sejak kecil ia sudah diawasi
oleh orang tuanya dalam bermain biola. Setiap selepas subuh ia berlatih
intonasi selama satu jam. Jika melakukan kesalahan telinga beliau disentil oleh
orang tuanya, “Hingga waktu kecil, telinga saya itu congek,” ujarnya. Ternyata, hukuman dan usahanya dalam berlatih itulah
yang menghasilkan sosok Idris Sardi seperti sekarang ini. Lalu ia kembali
menuturkan bahwa beliau merasa berdosa karena belum memberikan apa-apa untuk
negara, karena menurutnya, seniman seperti beliau tidak memiliki uang yang
banyak, yang bisa ia lakukan hanyalah dengan bermain biola hingga akhir menutup
mata. Siapa yang tidak tergetar mendengar
pernyataan seperti itu?
Kemudian,
dekan naik ke atas panggung. Dekan gue mengaku bahwa itulah kali pertama ia
menitikkan air mata dalam mendengarkan sebuah lagu. Ia memanggil Idris Sardi
dengan sebutan mas, “Sebulan yang
lalu saya bertemu dengan beliau, ia minta dipanggil Mas Idris, bukan Bapak.”
Lalu dekan gue mendata prestasi Sang Maestro, ternyata beliau sudah mendapatkan
penghargaan FFI sebanyak sebelas kali ditambah sekitar empat penghargaan lain
(maaf jika informasi ini salah, gue agak kesulitan untuk mengingatnya). Dekan
pun memberikan sebuah lukisan diri Idris Sardi, “Untuk menemani Mas Idris
berlatih di rumah.”
Hari
itu gue sangat bersyukur karena bisa mendapatkan lebih daripada sebuah
pertunjukan spetakuler. Gue akan selalu mengingat dan berusaha menebus “dosa”
yang belum terbayarkan karena gue belum menyumbangkan apapun untuk Indonesia.
Terima
kasih sudah menginspirasi, Idris Sardi.