09.29 -
cerpen
3 comments
Surat Merah Muda dari Kapten Bhirawa
Apakah
ada yang sering menunggu pak pos datang? Jika ada, aku salah satunya. Jumat
pagi adalah waktu yang paling tepat untuk menunggu sepucuk surat melayang di
rerumputan halaman. Surat itu selalu jatuh tepat di ujung kakiku. Jika sudah
begitu, surat tersebut aku buka dengan hati riang bukan kepalang. Aku terkadang
menyiapkan beberapa lembar tisu, sekadar menjaga jikalau ada air yang lewat di kedua
sudut mataku. Air itu mengalir karena sesuatu: pesan rindu yang orang tuaku
goreskan di akhir setiap surat-surat itu.
Sejak
kecil, orang tuaku tinggal terpisah denganku. Mereka di Surabaya. Aku di
Jakarta. Aku tak bersama mereka karena keadaan saat itu masih sulit sehingga
aku tinggal bersama oma di perkampungan Betawi ini. Hingga umurku yang ke-18,
aku masih bersama oma. Hal itu semata karena aku merasa bertanggung jawab akan oma.
Jika tak ada aku, aku yakin oma tak akan ada hingga kini. Oma tinggal sendiri,
hanya aku yang oma punya di rumah ini. Meski aku dan orang tuaku hidup
berjauhan sejak lama, orang tuaku tak pernah lupa kepadaku. Satu-satunya cara
untuk mengirimkan kabar dan melepas rindu adalah dengan surat yang mereka
kirimkan setiap seminggu sekali.
Tapi
kali ini lain, yang aku tunggu bukanlah surat dari orang tuaku, melainkan surat
dari Kapten Bhirawa. Lamat-lamat musik gambang keromong menjadi latar
penantianku hari ini. Jantungku berdegup tak menentu, tak dapat mengimbangi
pukulan gendang dari musik gambang keromong yang oma putar pagi ini. Aku pernah
mengalami perasaan gugup semacam ini saat pertama kali aku mendapatkan surat
cinta dari pacar pertama. Bahkan kali ini seratus kali lebih gugup dibanding waktu
itu. Di tengah lamunan yang diiringi
gempitanya bunyi jantungku, tiba-tiba “Kring kring!” suara bel sepeda pertanda
surat sebentar lagi akan jatuh di ujung jari kakiku. Aku menangkapnya dengan
sigap, sebelum surat itu mencium rumput basah akibat hujan semalam. Aku
tersenyum mendapatinya. Sebuah surat berwarna merah muda. Di bagian belakang jelas
tertulis, “Dari Kapten Bhirawa”. Ini yang aku tunggu. Hatiku berbunga.
Sesaat
kemudian aku berhamburan mencari sosok oma. Tak lama, aku menemukan oma berada di
kebun belakang sambil menyeruput kentalnya teh melati dengan mata setengah
terpejam menikmati alunan gambang keromong. Aku langsung menyodorkan surat itu
kepadanya. Aku menahan kegembiraan sambil setengah berbisik, “Dari Kapten
Bhirawa.” Lantas aku buka amplop itu dengan suka cita. Oma melirikku, mengisyaratkan
aku untuk membacanya karena mata oma sudah tak terlalu sanggup membaca. Sepintas
aku menemukan kalimat yang aku harap di surat itu. Sontak aku memeluk oma
dengan erat sambil berkata, “Oma, akhir bulan depan, Kapten Bhirawa akan
mempersunting oma.” Senyum oma langsung tersungging di sela paras ayunya. Ya,
Kapten Bhirawa adalah seorang veteran yang akan menjadi opaku sebentar lagi.