01.07 -
celoteh,Pertama,prosa
3 comments
Selamanya
Selamanya
aku kira pada awalnya merupakan sebuah kata yang selalu bermakna positif.
Misalnya dalam kalimat berikut
ini.
Aku mencintaimu selamanya.
Namun aku salah. Aku telah melupakan kalimat:
Aku akan meninggalkanmu untuk selamanya.
Seperti pada malam itu, ia
mengatakan kalimat yang hampir mirip dengan nada yakin di teras rumahku, “... selamanya.” yang kemudian aku lemparkan
selembar tissue ke badannya.
Tuhan sedang baik kala itu.
Motorikku lemah, hampir setiap hal yang aku lempar maupun tangkap tidak pernah
kena sasaran, tapi tidak pada malam itu.
Wajahku panas. Dihiasi amarah
yang membuncah.
.
.
.
“Kok nggak nulis blog lagi, Kak?
Kan lagi sedih,” ujar seorang teman baik di kantor.
Ya, gue memang cenderung berkarya
tatkala perasaan gue sedang tidak bahagia. Coba tilik prosa dan puisi gue, lebih
dari tiga perempatnya adalah karya-karya yang tertuang dari rasa pahit dan juga
getir.
Namun, yang ini berbeda.
Jari-jemari seakan berat untuk membahas tentangnya. Mungkin karena semua yang
berhubungan dengannya menimbulkan sakit dan membangkitkan trauma. Begitu kuat
efeknya.
Hari ini, tepat dua puluh hari
sejak kejadian itu terjadi, gue berani untuk mengangkat kepala dan menulis
lagi. Meski yang akan gue beritahukan adalah hal sedangkal:
aku tidak pernah disakiti hingga patah hati
sehebat ini.
8 Juli 2016