Rabu, 24 Desember 2014

Afgan Lagi Afgan Lagi


“Citta… Hari gini lo masih suka Afgan?” tulis teman gue di perbincangan melalui sebuah media.

Iya, kalau gue masih suka Afgan terus kenapa? Sedosa apa sih kalau gue suka sama penyanyi dengan suara enak, lagu bagus, dan tampang ganteng?

Atau karena umur gue sudah 25 jadi nggak boleh fangirling lagi? 

Auk ah. Sirik aje lo.

Ini sebenarnya kejadian yang sudah terjadi beberapa bulan lalu, tepatnya satu minggu sebelum lebaran. Iya, gue tahu kejadian ini sudah lama banget, tapi sayang kalau nggak di-posting T.T. Gue sudah menulis ini berbulan-bulan lalu, tapi apa lah daya, waktu belum berjodoh dengan gue (sama waktu aja lama berjodohnya, apalagi sama manusia). Eh, what

Beklah.

 Saat itu, gue pergi ke Mal Kelapa Gading bersama keluarga kakak gue. Niatnya mau beli takoyaki dan beberapa keperluan lain. Tujuan pertama akhirnya diputuskan ke Farmers Market terlebih dahulu untuk membeli beberapa bahan pangan. Dasar belanja sama ibu-ibu (baca: kakak ipar), jadi yang dibeli sayur mayur gitu, seperti kangkung, tomat, kentang, dll.

Selepas dari Farmers Market, kami menuju Ippeke Komachi untuk beli takoyaki. Sepanjang perjalanan ke Ippeke Komachi, banyak stan diskonan dalam rangka lebaran. Dasar cewek (baca: gue dan kakak ipar), nggak tahan kalau nggak lihat diskonan (padahal belum tentu beli), jadi dengan lincah kami mampir dari satu stan ke stan yang lain. Eh ternyata kakak ipar gue tertarik dengan barang-barang di salah satu stan dan berhenti cukup lama di situ untuk memilih-milih. Dasar bapak-bapak (baca: kakak gue) yang nggak tahan nungguin belanja sambil gendong anak yang aktif luar biasa, maka kami disuruh kakak gue untuk ke Ippeke Komachi terlebih dahulu untuk memesan takoyaki agar tidak kelamaan. “Oke, nanti kita balik lagi ke sini, “ kata kakak ipar. Gue sih iya-iya aja deh, kebetulan gue tertarik dengan salah satu stan yang belum sempat gue kunjungi.

Langkah demi langkah mendekati Ippeke Komachi, sayup-sayup terdengar iringan live music.

Langkah semakin dekat... Semakin terdengar suara dan lagunya…

Sampai di samping Ippeke Komachi… Gue dan kakak ipar bertatapan…

“AFGAN!!!”

Kami lari berhamburan mendekati panggung di depan Ippeke Komachi.

Kakak ipar gue udah nggak peduli meninggalkan suami dan anaknya yang jauh di belakang kami. Kalau gue sih ngapain juga peduli. HAHA.

Akhirnya gue bisa mendapat tempat di bagian tengah. Di depan gue berdiri dua orang pria yang badannya lebih tinggi dari gue. Sempat bingung mau pindah ke sayap kanan atau kiri tapi gue lebih senang menonton di bagian tengah. Baiklah, untuk saat itu gue sabar berdiri di belakang kedua pria yang saling kenal ini. Jujur, gue khawatir lama-kelamaan dua pria ini akan berpegangan tangan, bertatapan mesra, dan kau-tahu-selanjutnya. Ah paling juga nanti dua cowok ini pada pergi

Oke, skip.

Afgan saat itu memakai kemeja berwarna biru muda.

Sebenarnya, ini semacam doa yang dikabulkan oleh Allah SWT. Beberapa hari sebelumnya, gue sempat membatin ketika menonton Afgan di televisi, udah lama nggak nonton Afgan, kayaknya harus nonton langsung lagi nih

Iya, gue penasaran akan penampilan langsungnya dia setelah sekitar 4 tahun yang lalu gue menonton langsung penampilannya. Ternyata, interaksi Afgan terhadap penonton sudah semakin bagus dan luwes. Bagian menariknya, ada beberapa kali Afgan mengajak ngobrol penonton. Kali itu, ada seorang penonton perempuan kira-kira berumur sekitar 15-16 tahun yang diajak mengobrol oleh Afgan. 

Afgan                          : Kamu mau nggak nikah sama aku?
Penonton Perempuan   : Hmmm..
Gue (dalam hati)          : Kyaaa~~~Yes yes. Aku mau mau mau, Afgan~~~
Penonton Perempuan   : (dengan suara yang dimanja-manjain) Bukan gitu, Kak. Kak Afgan kan masih muda, jadi jangan pikir nikah dulu.
Gue (dalam hati)          : YA ELAH GAN, MASIH BOCAH GITU LO AJAK NIKAH. MAKANYA GUE AJA YANG LO AJAK NIKAH, UDAH PASTI MAU! *KZL*

Masih dengan pergolakan batin akibat Afgan ditolak ajakan nikahnya, gue menengok ke belakang. Eh kakak ipar ternyata sudah menghilang. Dia pasti sudah bersama kakak gue ke Ippeke Komachi. Oke, biarlah gue khusyuk menonton si ganteng satu ini. Saat itu Afgan membawakan single religinya yang terbaru dan lebih banyak menyanyikan beberapa lagu dari album terbaru.

Gue kalau nonton pertunjukan musik kan ekspresif ya, teriak-teriak bisa, jejingkrakan bisa, nyanyi tanpa mengikuti nada yang benar juga bisa. Bisa heri (heboh sendiri) gitu lah (makanya sebenarnya gue lebih nyaman nonton pertunjukan musik sendirian karena gue tipe Inpresif. Introvert yang ekspresif. Oke, adik-adik di rumah, jangan dipakai istilah ini ya, karena istilah ini 100 persen karangan gue sendiri). Lah, emang ada lagu Afgan yang bisa bikin joget? Ada dong, nggak gawl banget sih situ. 

Woo salah ketik tuh Cit!

Apaan? Gawl?

Iye

EMANG GAWL kali ah nulis GAWL yang GAWL!!!

….

BERANTEM AJA YUK!

***

Oke, masih ingat dong dengan belanjaan sayur mayur yang dibeli kakak ipar gue? Ndilalah (bahasa Jawa: kebetulan) itu belanjaan yang isinya kangkung dkk gue yang bawa! Bayangkan dong gue nyanyi-nyanyi dan jejingkrakan sambil bawa plastik berisi kangkung? Emang sih jingkraknya nonton Afgan tuh nggak sejingkrak kalau gue nonton Nidji. Tapi lo harus tau rasanya nonton pertunjukan musik dengan orang-orang di sekeliling lo yang nggak bawa apa-apa dan elo dengan kerennya bawa plastik belanjaan dengan akar kangkung yang keluar-keluar. How cool you are!

Belum lagi kalau gue nonton tuh makin lama makin pengen maju ke depan. Pasti kan harus nyelip-nyelip, tuh. Gue dengan sok santainya, nyelip-nyelip di antara orang-orang sambil kresek-kresek (bunyi plastik belanjaan). Sontak, orang yang gue selipin (BOK, PILIHAN KATANYA NGGAK ADA YANG LEBIH BAGUS YA, BOK?!) langsung menoleh dan tatapannya menuju ke sumber suara yang ada di antara kaki mereka.

 Iya, suara gesekan plastik dengan akar kangkung yang menjulur-julur ke luar. END LAH POKOKNYA. END. ENDAAANG WILL ALWAYS LOVE YOU~~ HOOO~~ WA~~ A~~ WILL ALWAYS LOVE YOU~~~

*mari kita lupakan yang barusan*

Saat di lagu ke-7, gue dicolek orang dari belakang.

Gue deg-degan.
 
Duh, siapa nih yang nyolek gue?
Colek lagi dong, udah lama nih nggak dicolek orang #eh

Pas gue nengok…

Eh si kakak ipar, “Ayo Cit udah sore.”

Buyar sudah keriaan siang itu. Gue nggak jadi ikut pulang ke rumah Afgan suami gue. Gue cek telepon genggam, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Kami menargetkan pulang sebelum buka puasa, sehingga kami tidak menuntaskan melihat-lihat barang diskonan. 

Dadah Afgan, dadah barang diskonan.


Rabu, 22 Januari 2014

Jodoh


“Cit, Si Ani nikah!” – Ani, bukan nama sebenarnya, pun yang dimaksud bukan Ani Sang Ibu Negara
“Iya, gue tahu.”
“Lo tahu gak nikahnya sama siapa?”
“Sama siapa?”
“Adi Suwito!” – lagi-lagi bukan nama sebenarnya, bukan pula nama artis idola (emang ada artis namanya Adi Suwito? :D)
“AH SERIUS LO?”
Bagaimana nggak kaget, Ani adalah teman sekelas gue sewaktu kelas XI SMA dan Adi Suwito adalah teman sekelas gue di kelas 5 SD. Mereka berdua dipertemukan di jurusan dan universitas yang sama.
 ---
Gue langsung pusing, oke, jangan-jangan jodoh gue nanti adalah teman TK gue.
---
Kabar pernikahan yang gue ceritakan barusan adalah sebuah berita yang diceritakan oleh seorang teman dalam perjalanan menuju sebuah acara di hari Minggu kemarin. Ya, hari Minggu tanggal 19 Januari kemarin adalah salah satu hari Minggu terbahagia dalam hidup gue karena dua sahabat baik gue menikah. Si mempelai wanita adalah seseorang yang sudah gue kenal baik sejak kelas 5 SD dan kami dipertemukan lagi di SMA yang sama, sedangkan si mempelai pria adalah seseorang yang sudah menjadi sahabat gue sejak kelas XI SMA hingga sekarang. Kami bertiga pernah satu kelas saat kelas XI tapi di kelas XII gue terpisah dengan mereka yang kembali sekelas. Gue tahu betul bagaimana si sahabat pria jatuh cinta kepada si sahabat wanita hingga akhirnya si sahabat pria bisa “lepas sendiri” untuk mendapatkan hati si sahabat wanita meski saat itu jarak mereka terpisah antara Jogja-Semarang untuk berkuliah. Gue bangga karena akhirnya mereka dapat dipersatukan dalam ikutan pernikahan. Tak ada luapan kebahagiaan yang bisa gue gambarkan ketika melihat mereka berdua kirab (iring-iringan pengantin menuju pelaminan) hingga bersanding di pelaminan. Selamat Fajri dan Fadil, semoga menjadi keluarga yang penuh berkah dan selalu dirahmati Allah SWT.
---
Memang benar kata Afgan, “Jodoh pasti bertemu.”
Namun… bertemu di mana dan bertemu dengan siapa adalah rahasia Tuhan.
---
Sesaat setelah sibuk mencicipi (hampir semua) makanan di resepsi pernikahan Fadil dan Fajri (btw, makanannya enak-enak banget deh), gue dan kawan-kawan memutuskan untuk berfoto ria. Saat hendak mencapai tujuan foto yang kami inginkan, Intan, teman gue, dipanggil oleh seseorang. Sontak kami menengok ke sumber suara. Intan langsung menghampiri si pemanggil. Gue melihat sosok orang itu dari kejauhan dan awalnya gue mengira itu adalah kakak kelas gue, sehingga gue mengikuti jejak Intan. Setelah melihat dari dekat, ya ampun, dia adalah teman di bimbel NF semasa gue SMP! Gue langsung menembak, “Okta, kenal nggak sama aku?” Okta mengernyitkan dahi dan dengan sapaannya yang ramah, “Inget dong, temen Kimia kan?” Gue langsung sebel, “Ih bukan, ini Citta! Temen NF!” Okta langsung melebarkan senyum, “Ooh iya! Citta!”.
Jadi, gue dan Okta adalah teman NF semasa SMP sedangkan Intan dan Okta adalah teman NF saat SMA. Waktu SMA gue juga belajar di NF tapi tidak sekelas dengan Okta, maka kami sudah lama sekali tidak bertemu.  Hal yang lebih mengejutkan adalah ternyata Okta baru saja menikah dua bulan lalu dengan teman sekelas gue dan Intan di kelas XI yaitu Ahmad. Padahal Okta anak SMA 1 sedangkan gue, Intan, dan Ahmad adalah anak SMA 2.
Daripada bingung, nih gue buatin premisnya:
Gue teman sekelas Okta di NF waktu SMP.
Intan teman sekelas Okta di NF waktu SMA.
Gue, Intan, dan Ahmad adalah teman SMA.
Okta dan Ahmad adalah suami istri.
Kesimpulan:
Dunia sempit banget, man!
---
Jodoh itu benar-benar misteri. Gue belum tahu siapa yang akan menjadi jodoh gue nanti. Siapa tahu temannya teman tetangganya sepupu gue adalah jodoh gue. Atau jangan-jangan benar kata Shandi, teman kuliah S-1 gue, di sebuah perbincangan melalui telepon genggam:
Shandi (S) :“Kamu udah bisa nyetir motor?”
Citta (C)    : “Belum.”
S             : “Citta.. Citta.. Jangan-jangan jodohmu nanti sopir angkot!” – mengingat ke mana-mana gue selalu pakai angkot
C             : “ASTAGHFIRULLAH! JAHAT BANGET KAMU SHAN!!!”
S              : “Lho, kok jahat sih, kan kayak di FTV-FTV gitu..”

FTV? YA KELEEEUS!

Gambar diambil dari weheartit


Senin, 30 Desember 2013

2000 + 13



Kepada dua ribu tiga belas yang hampir bablas,
sampaikan salamku untuk orang-orang yang tadinya mendekat kemudian di tahun ini menjauh dan sampaikan terima kasihku untuk orang-orang yang tadinya jauh kemudian mendekat,
sampaikan maafku untuk diri sendiri dan orang-orang berkepentingan, karena tidak berhasil mencapai target yang diinginkan, dan
sampaikan syukurku kepada Tuhan atas kejutan yang Ia berikan, baik sedu sedan maupun kebahagiaan.

Dari aku, di deras hujan Desember dua ribu tiga belas.



Oleh:    
                30 Desember 2013


Senin, 09 September 2013

Terselip Kamu di Antara Aku dan Band-band Indie Favoritku



Hai, aku sedang mendengarkan album baru Frau yang berjudul Happy Coda
Aku suka
Sama seperti aku suka kepada kamu yang sama-sama menggilai Frau ketika pertama kali dengar

Kebetulan tadi siang aku membaca judul lagu Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan di salah satu media sosial
Itu lagu kesukaan kamu dari Payung Teduh, salah satu band indie favoritku
Kamu tidak pernah tahu band ini sebelumnya, hingga kamu mencari tahu dan mencari lagu kesukaanmu sendiri
Dan aku suka

Nanti ada saatnya kita berbicara banyak tentang ini lagi
Sambil mendengarkan Efek Rumah Kaca, Gugun Blues Shelter, Frau, Payung Teduh, dan tentu saja aku tidak akan egois, kita juga akan mendengarkan Mocca, band indie favoritmu
Tunggu saat itu, hingga waktu yang tepat dan kita tak akan mengumpat

Salam dari aku yang sedang mendengarkan Frau

Gambar dari album Happy Coda

Minggu, 11 Agustus 2013

Sapu-sapu Orang-orang Menyebalkan


Mengapa semakin banyak orang menyebalkan?

Ketika maaf-memaafkan dijadikan persoalan.

Mungkin seorang introvert memang tidak pantas untuk turut serta di media sosial.

Atau memang tidak bisa bersosialisasi?

Selamat hari raya Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin.

(Maaf lagi? Salah lagi? Ah sudahlah!)




Gambar dari weheartit

Rabu, 12 Juni 2013

Surat Merah Muda dari Kapten Bhirawa



Apakah ada yang sering menunggu pak pos datang? Jika ada, aku salah satunya. Jumat pagi adalah waktu yang paling tepat untuk menunggu sepucuk surat melayang di rerumputan halaman. Surat itu selalu jatuh tepat di ujung kakiku. Jika sudah begitu, surat tersebut aku buka dengan hati riang bukan kepalang. Aku terkadang menyiapkan beberapa lembar tisu, sekadar menjaga jikalau ada air yang lewat di kedua sudut mataku. Air itu mengalir karena sesuatu: pesan rindu yang orang tuaku goreskan di akhir setiap surat-surat itu. 

Sejak kecil, orang tuaku tinggal terpisah denganku. Mereka di Surabaya. Aku di Jakarta. Aku tak bersama mereka karena keadaan saat itu masih sulit sehingga aku tinggal bersama oma di perkampungan Betawi ini. Hingga umurku yang ke-18, aku masih bersama oma. Hal itu semata karena aku merasa bertanggung jawab akan oma. Jika tak ada aku, aku yakin oma tak akan ada hingga kini. Oma tinggal sendiri, hanya aku yang oma punya di rumah ini. Meski aku dan orang tuaku hidup berjauhan sejak lama, orang tuaku tak pernah lupa kepadaku. Satu-satunya cara untuk mengirimkan kabar dan melepas rindu adalah dengan surat yang mereka kirimkan setiap seminggu sekali.

Tapi kali ini lain, yang aku tunggu bukanlah surat dari orang tuaku, melainkan surat dari Kapten Bhirawa. Lamat-lamat musik gambang keromong menjadi latar penantianku hari ini. Jantungku berdegup tak menentu, tak dapat mengimbangi pukulan gendang dari musik gambang keromong yang oma putar pagi ini. Aku pernah mengalami perasaan gugup semacam ini saat pertama kali aku mendapatkan surat cinta dari pacar pertama. Bahkan kali ini seratus kali lebih gugup dibanding waktu itu.  Di tengah lamunan yang diiringi gempitanya bunyi jantungku, tiba-tiba “Kring kring!” suara bel sepeda pertanda surat sebentar lagi akan jatuh di ujung jari kakiku. Aku menangkapnya dengan sigap, sebelum surat itu mencium rumput basah akibat hujan semalam. Aku tersenyum mendapatinya. Sebuah surat berwarna merah muda. Di bagian belakang jelas tertulis, “Dari Kapten Bhirawa”. Ini yang aku tunggu. Hatiku berbunga.

Sesaat kemudian aku berhamburan mencari sosok oma. Tak lama, aku menemukan oma berada di kebun belakang sambil menyeruput kentalnya teh melati dengan mata setengah terpejam menikmati alunan gambang keromong. Aku langsung menyodorkan surat itu kepadanya. Aku menahan kegembiraan sambil setengah berbisik, “Dari Kapten Bhirawa.” Lantas aku buka amplop itu dengan suka cita. Oma melirikku, mengisyaratkan aku untuk membacanya karena mata oma sudah tak terlalu sanggup membaca. Sepintas aku menemukan kalimat yang aku harap di surat itu. Sontak aku memeluk oma dengan erat sambil berkata, “Oma, akhir bulan depan, Kapten Bhirawa akan mempersunting oma.” Senyum oma langsung tersungging di sela paras ayunya. Ya, Kapten Bhirawa adalah seorang veteran yang akan menjadi opaku sebentar lagi.