Minggu, 18 April 2010

Sepucuk Surat Kepada Hujan

Sabtu, 17 April 2010

Kepada
Hujan
di-
Langit.

Selamat sore, Hujan.
Hujan, kau telah menyakiti aku. Entah sejak kapan kau telah melukai hatiku namun yang paling terasa adalah kehadiranmu dua hari ini. Karena kehadiranmu sangat tidak aku inginkan. Sehingga perasaanku tergores tak karuan.
Hujan, mengapa kau tak permisi dulu padaku? Aku bisa memilihkan hari lain jikalau kau mau. Tapi tidak untuk hari ini dan kemarin. Tidak sederas ini pula kau bermain. Tidak selama ini pun kau mengalir. Serta merta kau ajak teman-temanmu seperti petir turut menghiasi langit di hari ini dan kemarin. Aku benar-benar kecewa denganmu.
Hatiku langsung berkecamuk ketika kau datang. Antara iya aku ingin lanjutkan perjalanan ini atau tidak untuk tetap berada di sini. Semakin lama aliran airmu semakin menusuk hatiku yang sedang beradu pendapat di dalamnya. Ketika aku memutuskan untuk pergi, seakan kau menghambatku, kau menurunkan pasukanmu seribu kali lipat banyaknya sehingga kata “tidak” terus meraung di telingaku. Aku marah. Aku gelisah. Sesaat kemudian kau memberikanku harapan. Kau tarik kembali serdadumu satu persatu ke atas langit. Aku kembali tersenyum seraya berdoa agar kau tidak memberikanku harapan palsu. Secepat kilat aku menyambar semua keperluanku. Namun tidak ku sangka secepat itu kau mempermainkanku. Kau meledekku dengan butiran-butiran air yang semakin lama semakin berciuman dengan tanah yang sudah terlanjur basah.
Sudah, aku lelah. Aku turuti saja kemauanmu untuk terus mengaliri kekosongan ini. Kosong untuk dirimu, tidak untuk diriku. Aku kira sudah cukup aku menyatakan bahwa aku membencimu, meski aku malu-malu. Dan kini, aku kira amarah ini pantas aku curahkan kepadamu. Aku tidak mau kalah denganmu.
Salam.

Aku yang membencimu,
D. Nariswari

0 comments: