Hari
Minggu kemarin gue pergi ke resepsi pernikahan sahabat. Kedua mempelai adalah
sahabat gue, yakni Harris dan Mpeb. Kami tidak pernah sekelas, namun semasa SMA
kami tergabung dalam beberapa organisasi ekstrakurikuler di sekolah sehingga
hubungan kami sudah selayaknya teman dekat. Di luar kegiatan sekolah, dulu kami
sering bepergian ke luar kota menggunakan motor bersama sahabat-sahabat lainnya.
Saat itu jumlah perempuannya hanya tiga sampai empat orang, sedangkan jumlah
laki-lakinya bisa mencapai enam sampai delapan orang. Ya, jumlah perempuannya
hanya setengah dari jumlah laki-laki. Persahabatan kami saat itu sangat erat
dan diwarnai oleh canda tawa, kerja sama, konflik, dan cinta. Tak jarang di
antara kami yang terlibat dalam rasa suka, termasuk Harris dan Mpeb. Gue pun
menjadi saksi bagaimana awal mereka saling jatuh cinta hingga berakhir di
pelaminan kemarin itu.
Selamat
berbahagia untuk Harris dan Mpeb, semoga menjadi keluarga yang penuh rahmat.
Pernikahan
sahabat adalah salah satu agenda yang tidak ingin gue lewatkan. Sebisa mungkin
gue akan menghadirinya. Alhamdulillah
kemarin gue berkesempatan untuk menghadiri pernikahan mereka. Gue pergi bersama
Tia, teman SD sekaligus teman SMA yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah
gue. Bisa dibilang perjalanan kami ke lokasi resepsi pernikahan adalah sebuah
perjuangan karena letaknya yang cukup jauh dari rumah kami. Atas antisipasi
waktu, beruntung kami datang cukup tepat waktu ke acara. Saat hendak menuliskan
nama di buku tamu, gue melihat segerombolan siluet-siluet (karena gue tidak
memakai kacamata) yang gue kenal. Benar saja, ketika salah seorang dari mereka
membalikkan badan, Tia menyapa mereka, “Desti!” dari jarak kira-kira lima
meter, Desti pun berseru, “Tisya (Tia dipanggil Tisya ketika semasa SMA),
Citta!” Gue pun tersenyum ke arah Desti dan bergumam dalam hati, Alhamdulillah Desti masih ingat gue.
Ya,
gue terkadang suka agak sangsi ketika akan bertemu dengan kawan-kawan lama.
Apakah mereka masih ingat gue dan apabila mereka lupa sama gue, apa yang harus
gue lakukan. Seperti itulah prasangka yang muncul di dalam benak gue. Tapi
ternyata anggapan gue salah, karena hampir semua yang gue temui saat resepsi pernikahan
Harris dan Mpeb kemarin, mereka masih ingat sama gue, kecuali yang memang gue
sama sekali nggak kenal ketika bersekolah dulu. Ketika berjabat tangan, gue
usahakan menyebut nama mereka untuk menunjukkan bahwa gue tidak asal salaman
dan masih ingat dengan mereka. Ternyata sama halnya dengan mereka, ketika
mereka menyebut nama gue “Citta..” gue langsung nyess, alhamdulillah, dia
masih ingat sama gue.
Dapat
dikatakan teman-teman SMA yang mereka undang sebagian besar tidak pernah satu
kelas dengan gue. Kalaupun ada, mereka bukan teman-teman dekat gue. Sedangkan anggota
geng touring tetap yang gue sebutkan
di atas tadi, hanya gue seorang yang datang (gue katakan anggota tetap karena
terkadang ada teman-teman yang tidak setiap perjalanan ikut). Salah seorang
teman yang pernah mengikuti perjalanan, Oos, datang agak belakangan. Ia
menjabat tangan kami yang saat itu sedang berkumpul dalam satu lingkaran. Saat
menjabat tangan gue, secara sengaja gue melontarkan pertanyaan, “Emang lo masih
ingat sama gue?” sontak ia tertawa, “Masih ingat dong, Citta! Ini kan teman
gue..” Gue pun lega, padahal pertemanan
kami tidak terlalu akrab tetapi ia masih mengingat gue.
Selepas
acara foto bersama, gue turun dari pelaminan. Tak lama salah seorang teman
menyapa, “Citta!”. Gue langsung menyalaminya dan ia berkata, “Citta pasti lupa
deh sama gue..” Gue menjawab, “Nggak mungkin lupa, Novieta kan?” Ia pun
terheran, ternyata hal tersebut di luar ekspektasinya yang mengira gue lupa
dengannya. Ia tertawa dan senang mengetahui gue masih mengingat namanya.
Sebenarnya gue juga agak heran, kenapa memori gue bisa sehebat itu untuk
spontan dan tepat menyebut namanya, karena kami buka teman yang sangat dekat,
meski kami pernah satu kelas ketika kelas XI. Ternyata Allah masih menganugerahi
otak gue untuk mengingat teman-teman lama meskipun bukan teman dekat.
Dari
pengalaman yang gue ceritakan tersebut, gue tersadar bahwa betapa pentingnya
mengingat nama dan diri seseorang. Dengan begitu, kita akan lebih merasa
dihargai dan menghargai. Bukan berarti ketika tidak mengingat seseorang lantas
kita tidak menghargai mereka, karena gue yakin usia terus bertambah dan memori
bisa lambat laun berkurang. Paling tidak, tunjukkan sikap terbuka dan keramahan
ketika bertemu mereka. Jika memang terpaksa lupa, jujur saja jika kita lupa
kepadanya dengan cara yang gue yakin lo-bisa-mengatasinya.
Ternyata,
sekali lagi, untuk menggapai kebahagiaan itu memang sederhana. Sesederhana diri dan nama kita yang masih
diingat teman.