Setelah mengalami kebingungan pasca dinyatakan lulus saat
sidang dan kepanikan mengurusnya, wisuda yang dinanti pun terjadi juga. Wisuda
gue dilaksanakan pada tanggal 6--7 Februari 2015. Tentunya bertempat di kampus
kesayangan.
|
Selepas Gladi Resik |
Wisuda gue di kampus yang bersimbol makara ini sangat
melelahkan karena digelar selama dua hari berturut-turut. Hari pertama adalah
gladi resik dan hari kedua adalah wisuda. Jadi
sebenarnya wisudanya satu kali, dong, Cit? Baca dulu yuk, lanjutannya.
Di kampus pas gue S-1 dulu, ada juga sih gladi resiknya, tapi
kami tidak perlu dandan dan berpakaian formal (cukup sopan dan rapi, tidak
menggunakan toga) karena acara gladi resik benar-benar simulasi untuk wisuda
keesokan harinya. Gladi resik pun hanya berlangsung sekitar kurang dari satu
jam dan tidak terasa melelahkan. Lain halnya dengan gladi resik di wisuda
kampus gue yang kedua ini. Di undangan wisudawan tertera bahwa hari Jumat
adalah acara gladi resik dan ucapan selamat dari rektor. Ya, di hari gladi
resik itu, kami sudah harus menggunakan toga karena akan bersalaman dengan
rektor dan dekan, dan tentunya diabadikan dalam foto. Jadi, wisudawan harus
sudah siap dengan dandanan yang baik. Karena apa? Ya karena akan difoto! Haha,
cetek banget ya alasannya. Sebenarnya, kalau nggak mau dandan juga nggak
apa-apa, cukup pakai baju berselimutkan toga, beres. Banyak kok wisudawan yang
datang seadanya, nggak pakai dandan atau menata rambut ke salon. Namun, buat
gue, kesempatan seperti ini tidak akan terulang lagi (ya, bakal keulang kalau
bakal kuliah lagi, tapi pasti akan berbeda tempat dan situasi). Jadi, gue
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghormati diri sendiri (istilah
“menghormati diri sendiri” ini gue pinjam dari Mbak Mey, yang menjadi teman
seangkatan dan sejurusan satu-satunya yang wisuda pada periode kali ini).
Beruntungnya, FIB mendapat urutan keempat untuk bersalaman dengan rektor dan
dekan. Jadi, kami memiliki waktu yang sangat lapang setelah itu, berbeda dengan
wisudawan dari fakultas lain yang harus antri bersalaman sampai teramat sore. Alhamdulillahnya, meski di wisuda kali
ini dari angkatan dan jurusan gue hanya dua orang, gue ketemu teman-teman baru yang
berasal dari jurusan dan angkatan yang berbeda, dan kami semua bisa cepat
akrab. Mungkin karena jumlahnya sedikit dan terbawa suasana, jadinya kami bisa saling
sapa dan berfoto-fotoan dengan riang gembira seperti sudah lama kenal. Setelah
puas berfoto di sekitar Balairung, gue dan Mbak Mey menuju ke Perpustakan,
lokasi andalan gue dan kawan-kawan Matrikulasi Linguistik 2011 untuk bertemu
selepas gladi resik. Ya, dua periode sebelumnya, gue kebagian jadi tamu dan tim
hore teman-teman yang lulus terlebih dahulu, sedangkan kali ini gue yang
menjadi wisudawannya. Ihiy, akhirnyaaah :’) Sayangnya, di periode kali ini yang
bisa datang hanya Mbak Inayah, sedangkan teman-teman lain sudah memiliki
kegiatan lain yang bertepatan waktunya dengan waktu gue dan Mbak Mey wisuda.
Agak sedih, sih, tapi ya nggak apa-apa, semoga di wisuda periode berikutnya
bisa hadir satu angkatan, ya, manteman!
Terima kasih untuk Mbak Inayah yang sudah meluangkan waktunya untuk hadir. Sebagai penyemangat, sudah nyobain togaku,
kan, Mbak, hehe...
|
Trio Dialektologi |
Keesokan paginya, gue segera berangkat ke salon di dekat
rumah untuk merias wajah dan satu jam kemudian meluncur ke Depok. Berangkat
dari Bekasi pukul 06.00, sampai kampus pukul 07.15. Alhamdulillah, gue dan keluarga mendapatkan parkir di belakang Rektorat
jadi kami tidak usah berjalan kaki jauh-jauh. Dari belakang Rektorat sih masih
sepi, hanya beberapa wisudawan beserta keluarganya, tetapi ketika jalan ke
depan Balairung, tepatnya di bundaran depan Rektorat, wow, sudah banyak wisudawan yang memanfaatkan moment-berfoto-sebelum-panas-dan-sebelum-riasan-luntur. Gue dan
orang tua masuk ke halaman Balairung kemudian menukarkan undangan dengan snack box yang sudah disediakan dari
panitia wisuda (wisudawan mendapat satu kotak, sedangkan kedua orang tua juga
masing-masing mendapat satu kotak).
Setelah berpisah dengan orang tua, gue berjalan ke area
gedung baru Balairung, tempat para wisudawan berbaris sebelum masuk ruangan.
Saat itu masih sekitar empat orang wisudawan FIB yang berdiri, padahal
wisudawan fakultas lain sudah seperti rombongan antrian beras murah. Gue
menunggu sekitar 20 menitan hingga akhirnya fakultas gue dipersilakan untuk
memasuki Balairung. Kemudian kami menduduki kursi yang telah disediakan. Saat
itu hanya ada delapan baris kursi untuk FIB. Masing-masing baris terdiri atas
dua kursi, sehingga wisudawan S-2 dari FIB hari itu hanya berjumlah 16 orang!
Bayangkan dengan banyaknya wisudawan Fakultas Hukum yang duduk tepat di sebelah
kiri fakultas gue, maupun wisudawan dari Fakultas Ekonomi yang berada di sayap
sebelah kanan barisan wisudawan. Ketika fakultas mereka disebutkan, tepuk
tangan dan teriakan supporter dari
belakang benar-benar meriah (apalagi FH yang rusuh banget supporter-nya). Bandingkan dengan fakultas gue yang cuma seuprit seperti garam di lautan. Kami,
wisudawan FIB, sudah janjian akan ikutan heboh seperti wisudawan dari fakultas
lainnya saat nama fakultas kami disebutkan, tapi apa daya, kekuatan tepuk
tangan dan suara kami hanya seperti bisikan di ruangan sebesar itu. Jadinya
malu sendiri, haha. Apalagi gue mendengar dari sebelah kiri, salah seorang
wisudawan FH bergumam, “Anak sastra.” Gue dalam hati protes, woy, gue bukan anak sastra! tapi nguras
energi banget di tengah wisuda harus ngejelasin kalau FIB bukan sastra saja.
Wisuda berjalan hikmat dan gue pribadi secara langsung jadi
membandingkan dengan wisuda gue saat S-1 dulu. Hasil perbandingannya banyakan
bagusnya atau jeleknya? Cukup gue dan orang tua gue saja yang tahu. Kalau yang
penasaran, boleh hubungi gue lewat jalur komunikasi pribadi *macem serius aja, Neng*
:p Salah satu yang berbeda adalah terdapat orkestra sebagai pengiring musik
selama wisuda berlangsung dan orkestra beraksi tepat di belakang barisan FIB.
Kalau pas di kampus yang dulu sih pakai keyboard
doang, deh, kayaknya.
Akhirnya, selesai juga wisuda gue untuk kedua kalinya. Perasaan
gue atas wisuda kali ini: biasa saja. Mungkin karena sudah pernah merasakan
wisuda dan mengalami bagaimana-bulu-kuduk-merinding-saat-wisuda, maka di wisuda
kali ini tidak terjadi. Mungkin juga karena wisuda kali ini tidak berbarengan
dengan teman satu angkatan dan satu jurusan, jadinya gue agak merasa asing
dengan lingkungannya. Mungkin juga karena susunan acara yang bikin gue
mengernyit sepanjang wisuda, maka gue tidak merasakan wisuda yang sebenarnya
*ups, ketahuan deh, jawaban dari paragraf gue sebelumnya* :p
Oh ya, yang paling penting di rangkaian acara ini adalah
gunakanlah sepatu yang nyaman. Baik gladi resik maupun wisuda gue menggunakan
kebaya Jawa, tetapi gue menggunakan wedges
sebagai alas kaki. Memang jadi kurang kejawa-jawaan sih, karena harusnya pakai
selop. Namun gue sudah mempelajari dari pengalaman orang-orang sebelumnya yang
sudah wisuda di kampus gue ini, bahwa lebih baik menggunakan sepatu yang nyaman
sebab Balairung, tempat wisuda di kampus gue, luas sekali dan di saat wisuda
atau selepas wisuda lo akan sibuk menjelajahi sekitar Balairung untuk mendapat spot-spot foto yang terbaik, mencari
orang tua dan teman lo, atau jalan ke parkiran.
Salah satu kejadian di wisuda gue yang berkesan adalah
hadirnya sahabat S-1 gue, Devi. Dari jauh hari dia sudah mengatakan kalau dia
mau datang ke wisuda gue. Ternyata Devi nggak bercanda, dia benar-benar datang
padahal belum pernah ke kampus gue sebelumnya. Gue hanya memberi instruksi, “Lo
turun di Stasiun Pondok Cina, terus lo masuk ke dalam kampus, jalan lurus aja,
nggak jauh lo sampai tempatnya.” Berbekal arahan gue, dia nyampe aja gitu,
Saudara-saudara! *tebar confetti*
*padahal mah emang gampang rutenya,
hihi* Yang sulit adalah, sinyal di sekitar Balairung untuk Mentari sangatlaaah
minta ditendang 4192 kali *biar dramatis* Jadi, gue menelepon Devi nggak
masuk-masuk. Whatsapp masih bisa,
tapi untuk janji ketemuan di tempat seramai itu agak kesulitan kalau lewat
media tulisan. Devi bilang dia di dekat posko kesehatan. Oke, gue tahu
tempatnya. Gue segera ke sana. Tiba-tiba Devi bisa menelepon gue, “Citta, di
mana?” Kok ada yang aneh... Suaranya dobel dan jelas sekali. Arahnya dari
sebelah kiri, “Lah, Devi!” Kami berhamburan dan Devi memberikan bunga kepada
gue. Saat itu Devi membawakan tiga tangkai krisan kuning dan sebatang mawar
putih dalam satu buket bunga. Dia membawa bunga itu dari kosannya di Rawamangun
sampai Depok. How sweet she is :’)
Sampai-sampai di kereta ditanya ibu-ibu, “Mbak, dari cowok, ya?” Haha. Untung
anak ini kepercayaan dirinya oke :p Devi ini emang salah satu sahabat paling
manis yang gue punya, gimana nggak, dulu pas S-1 dia pernah bawain gue donat
J-Co pas gue yudisium. Spesial dari dia untuk yudisium gue. Hiks :’) Semoga kebaikan lo akan diganti Allah
berkali lipat, ya, Dev! Setelah ketemu Devi, kami berjalan menuju orang tua
gue dan kami berfoto sampai tak ada habisnya, mulai dari Balairung, Rektorat,
sampai Perpustakaan, haha. Kami juga sempat bertamasya di pinggir danau
perpustakaan sambil makan Soto Bogor. Kenangan yang tak akan tergantikan :D
|
Tamu dari Rawamangun |
Di saat sibuk berfoto, nggak disangka nggak dinyana, muncul
Mbak Hilma, “Ini Citta?” Mungkin dia agak pangling karena sudah lama tidak
bertemu, sekalinya bertemu dengan dandanan yang lain dari biasanya X)) Mbak
Hilma datang membawakan setangkai mawar kuning. Terima kasih, Mbak Hilma!
Kemudian kami berfoto-foto lagi menggunakan ponsel pintar Mbak Hilma yang
kameranya yahud sekali :D Mbak Hilma
tak bisa berlama-lama karena ada acara lain. Setelah itu, gue, Mbak Hilma, dan
Mbak Mey pun berpisah. Kemudian gue dan Devi menghampiri orang tua gue yang
sedang duduk di lobi Perpustakaan. Tak lama kami pulang. Usai sudah rangkaian
kegiatan gue selama wisuda. Semoga pembaca yang sedang membaca ini dan statusnya
belum lulus akan segera wisuda juga, ya! Kalau yang sudah pernah merasakan
wisuda... Ya sudah, mari kita doakan bersama-sama untuk mereka yang belum
mengecap indahnya wisuda :)
|
Terima kasih, kameranya Mbak Hilma! :p |