Liburan Seru: Surabaya - Jogjakarta
Hai blogger, gimana puasanya? Masih semangat kan? Semangat mengikuti cerita liburan gue, maksudnya :p
(Sekali lagi, maaf untuk Anda-Anda yang tidak kuat menahan lapar dan haus selama puasa, gue sarankan untuk tidak melanjutkan membaca artikel kali ini. Karena akan ada beberapa foto makanan dan minuman di sini.)
Dari
Malang, gue sampai di Surabaya pukul 17.30. Agak lambat karena travel harus mengantarkan penumpang
lainnya ke Bandara Juanda terlebih dahulu. Tiba di Surabaya, sudah seperti
orang habis turun gunung. Udaranya jauh berbeda dengan Malang. Kipas angin di
rumah tante menjadi andalan kembali..
Keesokan
harinya, gue, nyokap, dan bokap jalan-jalan sore. Rumah tante gue berada di
salah satu kompleks perumahan Wiyung. Dari rumah tante, kami berjalan kaki
menyusuri sepanjang jalan utama Wiyung. Kalau boleh dibandingkan sih, gue
membayangkan jalan di Wiyung ini seperti jalanan Kalimalang Bekasi - Jakarta
Timur, karena panjang dan lalu lintasnya padat.
Tujuan
utama kami dari jalan-jalan kali itu adalah mencari jajanan. Nyokap ingin Rujak
Cingur. Gue tidak menginginkan sesuatu yang spesifik, karena apapun makanan
khas Surabaya pasti gue doyan!
Di
tengah perjalanan, kami menemukan Royal Square. Karena belum pernah masuk ke
sana, kami mampir sejenak ke supermarketnya.
Royal Square |
Setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan dan menemukan warung penjual
rujak cingur namun sedang tutup. Tidak kecewa, kami kembali berjalan namun
sepertinya memang tidak ada lagi warung penjual rujak cingur yang lain. Sudah
jalan sejauh itu rasanya sia-sia kalau tidak jajan apapun. Akhirnya pilihan
jatuh kepada Lontong Balap dan Es Degan. Makanan ini adalah makanan kesukaan
kakak gue, sayang dia tidak ikut dalam liburan kali ini karena sedang menjadi
suami siaga. Hai Emas, gue makan Lontong
Balap dooong!
Lontong
Balap ini terdiri atas lontong, tahu, tauge, lento (gue kurang tahu persis komposisinya apa, yang jelas
merupakan gorengan), dengan kuah dan petis tentunya. Rasanya enak namun menurut
gue kuah yang disajikan di warung tersebut kurang hangat. Apalagi kalau liburan
seperti ini gue agak khawatir sakit perut, jadinya tidak semua petis gue
campurkan. Padahal sesungguhnya petis adalah “nyawa” setiap kuliner khas
Surabaya.
Lontong Balap (Rp 5.000 saja!) |
Mari
beralih kepada Es Degan. Kalau di antara Anda ada yang bertanya, apaan sih Es
Degan? Es Degan adalah sebutan untuk Es Kelapa Muda. Orang tua gue sih
beranggapan kalau Es Degan di Surabaya berbeda dengan Es Kelapa Muda di
tempat-tempat lain, karena kelapanya memang benar-benar muda dan rasanya gurih
kemanisan. Ditambah lagi dengan es yang bikin “nendang” di antara panasnya
udara Surabaya.
Es Degan (Rp 3.000) |
Perut
kenyang dengan Lontong Balap dan Es Degan, kami kembali ke rumah tante gue. Di
rumah tante gue, gue pun kembali menyikat makanan-makanan yang ada. Habis gimana
dong, udah disikat, tapi tetap aja itu makanan nggak ada habisnya *alasan
Besok
paginya, gue beserta bokap nyokap melanjutkan liburan ke Jogjakarta. Kami
diantarkan oom gue ke Terminal Bungurasih untuk menaiki bus ke Jogja. Saatnya
melambaikan tangan ke kota bokap gue dan bersiap menuju kota nyokap gue..
Berangkat
dari Bungurasih pukul 08.00, sampai Jogja jam 17.30. Di Jogja, kami menginap di
rumah bude gue. Di rumah itu kebetulan sedang ada keponakan gue, Nadif, 9
tahun, yang sedang liburan sekolah. Nadif adalah cucu dari bude gue, dia
“terbang” sendirian dari Batam, lho, tanpa ditemani orangtuanya, hebat ya!
Selain itu ada juga Shafa, cucu bude gue yang satu lagi, dia saat ini sedang
bersekolah di SMA Taruna Nusantara. Kedua ponakan gue inilah yang memanggil gue dengan sebutan Bibi.
Ternyata,
nyokap gue saat itu dilanda kurang enak badan. Jadinya malam itu, gue
sekeluarga hanya beristirahat saja. Esok harinya nyokap gue masih sakit,
sebenarnya ini menjadi semacam peringatan juga untuk gue, bahwa gue harus
menjaga kesehatan sebaik mungkin, karena liburan dibumbui penyakit itu
sangat-sangatlahlah merugi. Namun alhamdulillah,
nyokap masih bisa memaksakan keadaannya untuk mengunjungi rumah pakde gue di
Kaliurang. Maka kami sekeluarga bersilaturahmi ke sana. Kemudian tante gue
mengajak kami ke Cangkringan, salah satu kawasan Gunung Merapi yang saat ini
dijadikan objek wisata dalam melihat Gunung Merapi secara lebih dekat. Tanpa
persiapan baju hangat apapun, kami meluncur ke sana.
Sesampainya
di sana, satu orang dikenakan tarif sebesar Rp 3.000 dan mobil dikenakan tarif
Rp 5.000. Gue merasa beruntung bisa ke tempat itu, menyaksikan sendiri
rumah-rumah yang rusak dan pepohonan yang kering akibat letusan Merapi beberapa
tahun lalu. Kata tante gue, keadaan saat ini sudah lebih baik dan maju
dibandingkan setelah bencana tersebut, karena beberapa rumah-rumah penduduk
sudah kembali normal dan pohon-pohon mulai menghijau. Di sana, gue bisa
mengabadikan Gunung Merapi dengan mata kepala gue sendiri. Subhanallah.
Puncak Gunung Merapi
|
Udara
di Cangkringan terasa dingin, ditambah hembusan angin sore yang semakin bikin
merinding. Ternyata, di tempat itu juga disediakan fasilitas ojek dan mobil
besar untuk menuju ke beberapa titik wisata lain (tentunya terdapat biaya untuk
masing-masing kendaraan). Bahkan, ada paket yang menyediakan fasilitas untuk
menuju rumah Alm. Mbah Maridjan. Namun gue tidak sempat mencoba ke
tempat-tempat tersebut karena langit sudah mulai gelap, percuma jika nantinya
tidak kelihatan apa-apa.
Terlihat di tengah ada sesuatu berwarna biru, di sanalah lokasi rumah Alm. Mbah Maridjan |
Kali tempat aliran lahar Gunung Merapi |
Puas
berfoto ria, kami kembali pulang ke rumah bude. Setelah itu bude gue mengajak
kami makan malam di restoran Malaysia.
Menu makanan di Restoran Bukit Bintang (kok gue jadi hobi memotret menu makanan ya?) |
Di
restoran itu, terbagi dua jenis masakan, yaitu Chinese Malay dan Indian
Malay. Gue memesan Laksa Penang yang ternyata masuk dalam kategori Chinese Malay. Gue baru tahu kalau laksa
itu terpengaruh kuliner Cina. Rasanya? Maaf-maaf nih, bukannya nggak cinta
negara sendiri, tapi menurut gue lebih enak dari Laksa Indonesia. Kalau di
Indonesia Laksa terdiri atas lontong, bihun, dan tauge dengan kuah santan
kuning, Laksa Penang terdiri atas mie kuning, tauge, bakso ikan, dan udang
dengan kuah merah yang rasanya mirip Tom Yam. Yumm!
Laksa Penang (Rp 12.500) |
Untuk
minuman, gue pesan Teh Rempah yang rasanya sangat enak dan menghangatkan tubuh.
Kalau boleh sok-sokan ngasih skor, gue kasih skor 4 dari 5 deh untuk tehnya.
Kalau Laksa Penang yang tadi gue beri skor 5 (karena enak parah!).
Teh Rempah (Rp 7.500), yang warna putih itu susu kental manis, sebelum diminum diaduk terlebih dahulu |
Teh Rempah setelah diaduk |
Pakde
gue memesan Kwetiau Kuah, sedangkan bokap gue memesan Kwetiau Goreng. Gue
sempat menyicipi Kwetiau Gorengnya, bolehlah gue beri skor 4 dari 5.
Kwetiau Kuah (Rp 12.500)
|
Kwetiau Goreng (Rp 12.500) |
Selain
itu, bude gue memesan beberapa Roti Chanai Kari. Roti Chanai ini jika dimakan
tanpa Kuah Kari rasanya agak asin, namun jika dipadu dengan Kuah Kari rasanya
menjadi sangat nikmat.
Roti Chanai Kari (Rp 7.000) |
Nadif
memesan Bakmi Goreng. Untuk Bakmi Goreng, gue beri skor 3 dari 5. Saat gue
sedang sibuk memotret makanan, Nadif berkata, “Bibi, makanan aku kok belum
difoto ya?” Iya iya, sini aku foto sama
kamunya sekalian…
Nadif (tidak dijual) dan Bakmi Goreng (Rp 12.500) |
Secara
keseluruhan, makanan di Restoran Bukit Bintang ini rasanya pas sekali di lidah
gue. Bumbunya sangat terasa namun tidak membuat enek. Harganya pun terhitung murah
untuk makanan sekelas ini. Patut dicoba kalau Anda sedang main ke Jogja.
Oh
ya, pas di restoran ini kebetulan di meja lain sedang berkumpul bule-bule lucu.
Gue nggak bisa flirting deh, soalnya saat
itu gue bersama keluarga. Kalau sama teman-teman, mungkin lain lagi ceritanya.
Hahaha :)