Minggu, 03 Februari 2013

06.10 - 4 comments

Lain Tempat


Aku tertawa
Tapi aku tak di situ
Aku berada di sana
Jauh

Aku menangis
Tapi aku tak di situ
Aku berada di sana
Berdiri lusuh

Aku tenang
Tapi aku tak disitu
Aku berada di sana
Penuh kisruh

Aku tak ada di situ
Aku ada di sana
Penuh peluh menyuluh rapuh

Gambar diambil dari weheartit

Oleh:  
2 Februari 2013



Sabtu, 02 Februari 2013

07.00 - 4 comments

Hanya Maaf


Aku pernah menuliskanmu tentang itu
Aku lihat apa?
Kini semua terjadi
Aku hanya bisa diam mematung
Tak mengerti apa yang harus aku jalani
Maaf jika terlambat
Maaf jika tak sempat
Maaf jika tak sengaja menyakiti
Maaf jika aku tak bisa berbuat

Maaf

Oleh    :
                 2 Februari 2013

Diiringi "Malaikat Juga Tahu" - Dewi Lestari

Selasa, 29 Januari 2013

Cabai dan Dokter

Pertama kalinya gue datang ke dokter untuk suatu penyakit yang belum gue ketahui penyebab dan nama penyakitnya apa adalah saat gue berkuliah di Malang. Bukan berarti saat itu pertama kalinya gue datang ke dokter juga sih, waktu gue balita kan gue juga sering ke dokter anak. Tapi seingat gue, semenjak SD gue sudah tidak pernah lagi yang namanya pergi ke dokter untuk berobat. Gue sangat sering sakit, terutama batuk dan pilek, tetapi gue tetap tidak pergi ke dokter. Jika gue sakit, biasanya bokap sudah tahu obat apa yang harus gue minum agar gue sembuh.


Oh bukan, bokap gue bukan dokter. Bokap gue itu tabib. Tabib yang berguru di sebuah gua dan bertapa di sana selama ratusan tahun sehingga mengetahui berbagai macam resep obat. Kriiik.

Jelas bukan. Tapi yang jelas bokap gue itu memang lumayan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan dunia kedokteran meski beliau tidak mengenyam pendidikan di bidang medis. Beliau memang sangat berwawasan luas dan sayangnya hal itu hanya menurun kepada kakak gue, bukan gue T.T

Kembali lagi ke topik awal, jadi ceritanya setelah sekian lama gue tidak berobat ke dokter, saat gue berkuliah di Malang itulah gue menginjakkan kaki di sebuah tempat praktik dokter kembali. Kalau nggak salah sih saat itu gue kuliah semester dua atau tiga. Sakit ini bermulai saat gue kerja kelompok di kosan gue hingga larut malam sehingga gue terlambat makan malam. Makanan pertama yang masuk malam itu pun adalah lalapan ayam dengan sambal yang sangat pedas. Buat yang ngekos di daerah Kerto di sekitar UB, pasti tahu kan lalapan bu Dewi? Enak yaaa :9 Keesokan harinya adalah hari di mana gue terserang penyakit yang belum pernah gue alami selama hidup di dunia.

Sebelum memutuskan untuk memeriksakan penyakit ke dokter, gue merasakan sakit di bagian pencernaan yang luar biasa. Efeknya hingga (maaf) muntah-muntah dan feses yang gue keluarkan sangat cair. Gue tidak pernah mengalami penyakit seperti itu sebelumnya. Maka gue disarankan oleh keluarga (yang saat itu hanya berkomunikasi melalui telepon genggam) dan teman kos untuk diperiksakan saja penyakit gue itu ke dokter, meski kami semua sudah berindikasi bahwa sepertinya gue terserang penyakit maag.

Di suatu sore hari, gue ditemani oleh Fitri, teman samping kamar gue untuk pergi ke dokter Farid (eh bener nggak ya namanya) yang tempat praktiknya berada di depan UIN (lokasi yang paling dekat dengan kosan gue). Karena nggak pernah ke dokter, gue agak-agak norak gitu deh. Pas disuruh naik ke atas tempat tidur dan berbaring untuk diperiksa saja gue setengah berteriak, “APA DOK?” *ini serius, kalau nggak percaya, tanya sama Fitri yang ikut menemani gue masuk ke dalam* Dokternya saja sampai kaget, ngirain gue berpikiran negatif sama dia :D

Setelah diperiksa, sesuai perkiraan, gue benar-benar menderita sakit maag dan mendapatkan banyak larangan, di antaranya yang masih gue ingat hingga saat ini adalah:
1.      Tidak boleh makan pedas dan asin
2.      Tidak boleh makan mi instan
3.      Boleh minum teh tapi harus manis

Mari kita bahas satu persatu, mulai dari poin ke-3 yaitu minum teh manis. Selama ini kalau gue sakit (batuk misalnya), nyokap gue sering bikini teh pahit untuk gue minum, namun ternyata untuk kasus sakit maag, gue nggak boleh minum teh pahit yang rasanya sepet itu, minuman dengan rasa manis malah lebih dianjurkan. Poin ke-2, gue sempat tersinggung dalam hati, “Tahu aja sih Dok kalau saya anak kos.. tapi saya jarang makan mi instan, saya nggak murahan.” (Apa hubungannya mi instan sama murahan? -.-“). Dan poin yang ke-1.. jeng jeng jeng jeng.. DILARANG MAKAN PEDAS DAN ASIN! Oke, hal ini semakin menyimpulkan bahwa penyebab penyakit gue yang paling utama adalah gara-gara gue telat makan plus makan sambal. Gue masih terima kalau gue nggak boleh makan pedas, tapi masalahnya adalah.. gue nggak terbiasa makan tanpa asam-garam kehidupan *halah* gue ini kan pencinta asin, mana mungkin gue melepaskan diri dari makanan asin.. Maka selama beberapa hari itu gue seringnya beli bubur kacang hijau dan bubur ayam tanpa kacang tanpa kecap tanpa kuah. Benar-benar hanya bubur + ayam.

Alhamdulillah selama ngekos di Malang, gue tidak pernah terserang penyakit maag yang akut seperti saat itu lagi.. pernah sekali saja tapi tidak separah yang pertama kal. Hal ini dikarenakan jika gue merasa pencernaan mulai tidak beres, obat maag selalu menjadi pertolongan pertama pada ke-maag-an.

Kini setelah bertahun-tahun lamanya, gue terserang penyakit maag kembali. Gara-garanya memang karena dalam beberapa hari ini telat makan, ditambah aktivitas gue yang sering berada di luar rumah. Kalau sudah begitu, biasanya gue jadi sangat malas makan. Tapi beda ya dengan penyakit malas makan gue yang pernah gue bahas di sini. Jadi gimana gue nggak maag kalau telat makan + malas makan. Sekarang sudah sekitar tiga hari berlalu tapi sakit gue ini belum kunjung sembuh. Herannya, nafsu makan gue jadi berlipat ganda ketika gue melihat makanan yang asin dan terutama yang pedas-pedas. Padahal pas gue sehat, gue cenderung menghindari makanan pedas. Mengapa bisa begini sik? Menyebalkan sekalih. Eh tapi jangan bilang-bilang orang tua gue ya kalau gue sering nyolong makan sambal, soalnya kemarin gue dimarahin bokap gue pas makan bebek bakar sama sambal -.-“ Gimana mau cepat sembuh Cit kalau yang dimakan justru yang menjadi penyebab penyakit!

Entah mengapa cabai di sini tampak fotogenik sekali

Tapi sungguh deh badan gue lemes banget ini. Ditambah pusing yang tak juga reda.

Apakah ini pertanda bahwa gue harus ke dokter lagi?

Aaaa gue maunya dilamar dokter aja, pasti langsung sembuh *kedipkedipkedipkedipkedipkedip*

Gambar diambil dari sini.

Rabu, 16 Januari 2013

Bahagia Itu (Memang) Sederhana


Malam ini gue merasa sangat bahagia. Hari ini gue memang pergi ke beberapa tempat.. yang setidaknya menumbuhkan inspirasi. Tapi bukan itu alasan mengapa malam ini gue rasanya pengen cengar-cengir seharian.

Dua hari ini gue mendapatkan kabar bahagia dari tiga orang sahabat gue. Dua hari dan tiga undangan pernikahan. Yippie! *peluk dan cium sahabat-sahabat gue* *kecuali yang satu**bukan muhrim*


Yang pertama adalah teman bimbel gue yang bernama Mina. Kami kenal saat duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu kami sama-sama mengikuti bimbel di NF. Saat bimbel SMP, hubungan kami masih sebatas teman  biasa, bertemu hanya di kelas saat bimbel saja. Tak disangka tak dinyana, saat kelas 3 SMA, di NF, kami bertemu kembali. Tepatnya di kelas intensif untuk mengikuti SPMB (ya, meski saat itu gue sudah diterima PMDK tapi tetap saja gue mengikuti kelas intensif tersebut). Gue dan Mina tidak pernah satu sekolahan. Intensitas bertemu kami sangatlah sedikit, tapi kami sudah banyak sekali bertukar cerita tentang apa saja. Tertawa bersama, ngegodain abang siomay depan NF , bercanda bersama mas-mas di front desk NF, dan ngecengin Kak Kindy (salah satu pengajar di NF). Ihiy. *yang terakhir itu lebih tepatnya gue yang ngecengin, kalau Mina mah nggak genit kayak gue :D * *oh dan FYI aja, Kak Kindy itu teman kakaknya Mina* *FYI yang tidak penting* *ya kali aja Kak Kindy nyasar buka blog gue**hush udah Cit, bintangnya kebanyakan!*

Sekitar tiga hari yang lalu, gue terlintas teringat akan Mina. Kami memang sudah lama putus kontak sejak kuliah. Terakhir kontak lewat wall Facebook mungkin sekitar satu sampai dua tahun yang lalu. Meski begitu gue tetap mengetahui sedikit banyak aktivitas yang dibagikannya melalui status atau foto-foto di FB. Setelah lulus kuliah, ia bekerja menjadi PNS. Sahabat gue yang satu ini memang cihuy sekali deeeh. Tepat sehari setelah gue teringat olehnya, gue membuka FB, dan taraaa gue mendapatkan undangan pernikahan dari Mina dan calon suaminya! Gue jadi takjub sendiri. Rasanya kok kayak nyambung ya feeling gue.. Gue segera meluncur ke tautan situs pernikahan mereka. Gue tersenyum saat membaca hikayat tentang mereka, yang mereka tulis sendiri. Mina masih saja kocak seperti yang dulu. Rasanya ingin segera menyambar telepon genggam dan meneleponnya tetapi saat gue membuka undangan tersebut adalah di waktu jam kantor sehingga gue tidak bisa menghubunginya dengan segera. Semoga sebelum pernikahannya (yang mana akan diselenggarakan seminggu lagi), gue sudah bisa menghubunginya.

Selamat ya, Mina dan Adhe :)

Yang kedua adalah kabar dari my partner in crime (gue yakin, kalau dia baca ini dia pasti kesel hihi).. Di blog ini gue juga sudah pernah beberapa kali bercerita tentangnya. Ica adalah sahabat gue semasa kuliah S-1 dulu. Gue dan Ica berteman dekat sejak semester 2. Kuliah, ngegosip, nyalon, belanja, tukeran game, film, dan lagu, jatuh dari motor, KKP, skripsi, hingga segala “tindak kriminal” pun kami lakukan bersama-sama. “Tindakan-tindakan kriminal” itu cukup kami sajalah yang tahu. Haha. I love you Ica!

Cukup perkenalan mengenai Ica. Pagi tadi gue mendapatkan pesan singkat yang ia kirimkan lewat telepon genggam. Isi pesannya adalah ia menanyakan alamat lengkap rumah gue. Sontak gue langsung tersenyum membacanya. Penuh keyakinan, gue menduga ia pasti ingin mengirimkan undangan pernikahan. Kali aja bukan Cit, sok tahu banget sih! Iya sih, memang sok tahu, hehe. Tapi gue sudah sangat mengenal Ica dan ia pernah beberapa kali menyinggung mengenai rencana pernikahannya di saat kami kontak melalui pesan singkat. Ya, apapun itu, gue yakin Ica pasti sedang berbahagia. Ica bahagia, gue turut berbahagia.

Selamat ya Ica dan Taufik :)

Terakhir, undangan datangnya dari salah satu anggota keluarga Linguistik gue. Mau dibilang pertemanan, habis gimana ya, usia kami kan tidak sepantar *siap-siap dilempar kamus sama mereka* hehe. Nggak, nggak, gue menganggap teman-teman di S-2 Linguistik adalah keluarga karena kami selalu bersama dari semester 0 sampai sekarang menjelang semester 3 dengan penuh kesukaan maupun kedukaannya. Kami adalah keluarga yang saling mendukung dan memperhatikan satu sama lain. Gue cinta sekali lah sama kakak-kakak di keluarga ini.

Awalnya, jumlah kami adalah bersepuluh, namun dengan alasan tertentu, yang bertahan melaju bersama-sama hingga akhir semester 2 tinggal tujuh orang. Meski begitu, hubungan kami bertujuh dengan tiga teman lainnya masih tetap solid. Nah, di antara mereka bertiga itulah yang sebulan lagi akan menunaikan pernikahan, yaitu Faqih. Faqih adalah lulusan teknik mesin ITB dan pernah bekerja di Jepang. Gue adalah salah satu yang paling sedih ketika mengetahui ia tidak melanjutkan studi pascasarjana, karena saat itu kami tergabung di satu kelompok dalam salah satu mata kuliah yang sebenarnya dia adalah orang yang paling bisa diandalkan dalam mata kuliah tersebut. Tapi gue sedih bukan karena itu aja kok, Qih. Kehilangan satu orang anggota keluarga itu rasanya seperi mengalami ketimpangan. Yang biasanya makan di kantin bareng, ke perpus bareng, diskusi bareng, tiba-tiba lenyap begitu saja. Tapi pada akhirnya gue ikut bahagia kok, karena tujuan Faqih sekarang sudah kesampaian, yaitu akan meminang gadis pujaan *towel-towel Faqih*:p

Selamat ya Faqih dan mbak Mia :)

Buat gue, tahun ini akan ada banyak pernikahan baik keluarga maupun teman. Rupa-rupanya di lingkungan gue, sepertinya tahun ganjil adalah tahun pernikahan dan tahun genap adalah tahun kelahiran. Kalau Anda nggak ngerti, ya sudah lupakan saja, hehehe.

Untuk ketiga calon pengantin yang gue sebutkan di atas, semoga pernikahannya lancar dan menjadi pasangan yang bahagia selamanya :)


Semua yang gue ceritakan tadi adalah berita mengenai kebahagiaan sahabat, yang entah mengapa bisa membuat gue turut merasakan kebahagiannya. Tagar yang sering digaungkan di Twitter: #bahagiaitusederhana memang benar adanya. Dari berita semacam itu saja, gue seperti mendapatkan energi positif dari mereka semua. Jadi, bahagia mana lagi yang gue dustakan? :D

Eh tunggu bentar ya, gue telepon Afgan dulu, kapan dia nggak sibuknya, supaya gue bisa menyegerakan pernikahan kami berdua dan mengirim undangan kepada kamu-kamu-kamu yang sudah tidak sabar ingin melihat pernikahan kami. *dilindes bulldozer sama Afganisme*


Gambar diambil dari weheartit.

 



Senin, 31 Desember 2012

Akhir 2012




Kekosongan ini, akhirnya harus aku isi
Sebagai penanda aku pernah mendiami kekosongan ini

Tahun 2012 bisa disebut sebagai tahun yang “cukup aman” untuk gue, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya, dan mungkin beberapa tahun kemudian.
Alhamdulillah, tahun ini bisa gue lewati dengan baik, penuh suka cita meski tetap ada sedikit derita. Meninggalkan bekas-bekas luka yang gue sendiri tak tahu kapan bisa hilangnya. Tapi gue menganggap ini semua adalah proses, yang mungkin akan gue tertawakan jika usia gue sudah mencapai lima puluh tahun nanti.
Dua ribu dua belas mengantarkan gue kepada banyak pengalaman dan ilmu-ilmu baru. Teman. Sahabat. Cinta.
Klise memang.
Tapi semua hanya gue yang tahu. Hingga akhirnya tetap menciptakan harapan-harapan.
Tentu, gue menyimpan banyak harapan di tahun 2013. Harapan yang tidak lagi kosong, yang tidak lagi klise.
Terima kasih 2012, atas lambungannya yang tinggi sekaligus hempasannya yang dalam. Terima kasih.

Gambar diambil dari weheartit


Selasa, 04 Desember 2012

Dosa Sang Maestro


“Sebelah kanan ada Idris Sardi, lho!” seru teman gue.

Mana? Kita kan memang duduk di sebelah kanan. - batin gue dalam hati.

Begitu gue tengok ke kanan bawah, ah benar. Maestro itu sedang duduk ditemani salah seorang anggota keluarganya.

***

Kemarin, gue berangkat ke kampus untuk mengikuti salah satu mata kuliah reguler. Sampai di lobi fakultas, banyak orang yang memakai atribut pakaian daerah Sumatra. Gue pikir, oh mungkin sedang ada acara. Gue tidak terlalu banyak memusingkan hal itu dan bergegas menuju kelas. Setelah menunggu kira-kira lima belas menit, dosen tak kunjung datang. Gue dan teman-teman lalu berjalan menuju Gedung IX untuk mengetahui sedang ada acara apa yang berlangsung.

Di depan Auditorium Gedung IX ternyata sudah banyak sekumpulan orang yang mengantri untuk mengisi absen acara itu. Gue dan teman-teman memutuskan untuk mengisi absen dan masuk ke dalam Auditorium. Kami memilih barisan tempat duduk di sayap kanan. Ketika hendak duduk, di situlah terjadi percakapan yang menjadi ilustrasi pembuka dalam artikel ini.

Ya, acara tersebut ternyata merupakan acara Dies Natalis FIB UI yang ke-9 Windu. Dies Natalis kali ini bertajuk tentang Bumi Sriwijaya. Salah satu tamu yang turut diundang adalah Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Acara diawali dengan tarian daerah Palembang. Setelah itu, pembawa acara mulai membuka acara. Kemudian Idris Sardi dipanggil ke atas panggung untuk memainkan lagu Indonesia Raya, seluruh orang yang datang ke acara tersebut dipersilakan berdiri.

Untuk pertama kalinya gue mendengar langsung lagu Indonesia Raya dimainkan oleh Maestro biola Indonesia. Yang terjadi adalah bulu kuduk gue berdiri sepanjang lagu karena mengagumi gesekan biola beliau. Bahkan, dua teman yang berdiri di samping kanan dan kiri gue, mbak Heidy dan mbak Mamay, menitikkan air matanya. Gue jadi menyesal, mengapa saat itu gue tidak merekamnya. Namun alunan biola lagu Indonesia Raya tersebut masih berdendang di telinga gue hingga kini.


Setelah Indonesia Raya, beliau memainkan lagu Bagimu Negeri. Tidak mau mengulang penyesalan yang kedua kali, gue mengambil kamera dan segera merekamnya. Alhamdulillah, bisa merasakan dan mengabadikan keindahan kedua lagu itu.

Lagu selesai, Idris Sardi turun, kembali ke tempat ia duduk sedia kala. Tempat duduk beliau mungkin hanya berjarak tiga-empat meter dari tempat gue duduk, sangat dekat. Gue bisa melihat apa yang dia lakukan. Membuka-buka map, tapi gue tidak dapat melihat dengan jelas, map itu berisi apa.

Setelah sambutan-sambutan dari ketua panitia, dekan, dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, saat itulah gue baru mengerti apa isi map yang sedari tadi dibuka-buka oleh Idris Sardi. Ternyata map itu adalah kumpulan partitur lagu yang akan ia mainkan.

Idris Sardi dipanggil kembali ke atas panggung. Selagi tempat duduk diatur, ia berbicara di depan mikrofon. Beliau mengucapkan terima kasih karena sudah diundang ke acara itu.

“Saya bukan maestro, saya hanya pengamen,” ujarnya lirih.

Subhanallah, sosok yang berdiri di panggung itu ternyata merupakan maestro yang berbalut rasa rendah hati.

Kemudian beliau melanjutkan, “Saya berdosa, saya belum melakukan apa-apa untuk negeri ini.”

Seketika hati gue tertohok. Pemain biola sekelas Idris Sardi yang sudah mencetak banyak prestasi dan kontribusi untuk negara saja belum merasa memberikan apa-apa untuk Indonesia. Kalau begitu, apalah arti keberadaan gue yang hanya sebutir pasir di pantai?

Lalu ia mengaku bahwa dirinya sedang sakit, sambil menunjukkan tangan kirinya, “Saya bermain biola sudah dari kecil. Maafkan saya kalau nanti saya bermain buruk. Selain karena kesehatan, apabila permainan saya buruk karena saya juga belum sempat sound check, saya belum terbiasa dengan ruangan di sini.”

Setelah itu beliau menjelaskan akan bermain selama dua puluh enam menit, dengan urutan lagu yang tak bisa dipotong. Gue langsung terbelalak, DUA PULUH ENAM MENIT? Ini jelas akan menjadi sebuah pertunjukan mahal yang gue tonton secara cuma-cuma.

Permainan biola pun dimulai. Gue tidak mau kehilangan kesempatan untuk merekamnya melalui kamera digital dan juga kamera pemberian Allah, yaitu mata kepala gue sendiri.


Maestro berlilitkan sarung kehijauan tersebut sesekali duduk dan berdiri sambil menggesekkan biolanya. Tak lupa ditambah dengan ekspresi dan aksi ketika memasuki beberapa lagu tertentu. Sangat mengagumkan.

Pada kenyataannya, lagu yang dibawakan beliau berlangsung selama dua puluh delapan menit lamanya. Sayang sekali pada dua menit terakhir gue tidak bisa merekamnya karena kamera digital gue kehabisan memori. Tapi gue tetap puas sudah bisa merekam, mendengar, dan menyaksikannya langsung. Sekali lagi, alhamdulillah.

Setelah permainan selesai, ia kembal berdiri di depan mikrofon. Ia kembali meminta maaf atas permainan yang menurutnya buruk. Ia bercerita, sejak kecil ia sudah diawasi oleh orang tuanya dalam bermain biola. Setiap selepas subuh ia berlatih intonasi selama satu jam. Jika melakukan kesalahan telinga beliau disentil oleh orang tuanya, “Hingga waktu kecil, telinga saya itu congek,” ujarnya. Ternyata, hukuman dan usahanya dalam berlatih itulah yang menghasilkan sosok Idris Sardi seperti sekarang ini. Lalu ia kembali menuturkan bahwa beliau merasa berdosa karena belum memberikan apa-apa untuk negara, karena menurutnya, seniman seperti beliau tidak memiliki uang yang banyak, yang bisa ia lakukan hanyalah dengan bermain biola hingga akhir menutup mata. Siapa yang tidak tergetar mendengar pernyataan seperti itu?

Kemudian, dekan naik ke atas panggung. Dekan gue mengaku bahwa itulah kali pertama ia menitikkan air mata dalam mendengarkan sebuah lagu. Ia memanggil Idris Sardi dengan sebutan mas, “Sebulan yang lalu saya bertemu dengan beliau, ia minta dipanggil Mas Idris, bukan Bapak.” Lalu dekan gue mendata prestasi Sang Maestro, ternyata beliau sudah mendapatkan penghargaan FFI sebanyak sebelas kali ditambah sekitar empat penghargaan lain (maaf jika informasi ini salah, gue agak kesulitan untuk mengingatnya). Dekan pun memberikan sebuah lukisan diri Idris Sardi, “Untuk menemani Mas Idris berlatih di rumah.”

Hari itu gue sangat bersyukur karena bisa mendapatkan lebih daripada sebuah pertunjukan spetakuler. Gue akan selalu mengingat dan berusaha menebus “dosa” yang belum terbayarkan karena gue belum menyumbangkan apapun untuk Indonesia.

Terima kasih sudah menginspirasi, Idris Sardi.


Kamis, 29 November 2012

Ketiduran


Gue benci ketiduran. Apalagi kalau ketidurannya di tengah-tengah waktu yang seharusnya bisa gue manfaatkan semaksimal mungkin.

Gambar diambil dari weheartit.

Seperti tadi pagi pukul 03.00, gue ketiduran di atas kasur sampai jam 07.00. Padahal saat itu gue sedang mengerjakan laporan bacaan, menyiapkan presentasi, dan merevisi tugas. Kuliah dimulai pukul 09.00. Itu artinya, gue hanya punya waktu dua jam untuk menuntaskan semua tugas.

Ketiduran kok bisa di atas kasur, Cit? Itu mah emang niat kali!

Iya sih, gue yang salah. Mengingat saat itu gue belum tidur sama sekali dan mata sudah teriak-teriak minta ditutup. Akhirnya gue memutuskan untuk tidur-tiduran di atas kasur, dengan asumsi, "Ah sebentar saja. "
Tiba-tiba gue dikejutkan oleh dering telepon genggam. Bokap menelepon. Sebelum mengangkatnya,  gue melihat jam, APAAAH JAM 7???

Gue langsung loncat dari atas kasur. Mengangkat telepon dan setengah berteriak, "Aduh Pa, aku ketiduran!"
Setelah itu gue langsung menyambar komputer jinjing dan bekerja secepat kilat. Mengerjakan tanpa berpikir. Masih sekitar 50% lagi yang harus gue kerjakan untuk presentasi dan laporan bacaan, sedangkan revisi tugas belum sama sekali gue kerjakan. Ingin rasanya menghentikan waktu saat itu juga.

Akhirnya presentasi dan laporan bacaan gue selesaikan tepat pukul 08.30 dan langsung disusul oleh revisi tugas. Artinya, sisa waktu setengah jam lagi untuk menyelesaikannya. Gue mengerjakan sambil menelan bubur bayi dengan air mineral yang tidak dipanaskan. Jangan khawatir, karena rasanya tetap enak. Silakan coba. Lo pikir promosi,Cit.

Jam 09.00, terpaksa pekerjaan gue selesaikan seacak-acakan mungkin. Gue bergegas mandi dan bersiap ke kampus. Tidak ada waktu lagi untuk mengecek tugas dan latihan presentasi. Banyak salah ketik sudah pasti. Biarlah menjadi misteri Illahi. Citta! Kok malah puisi-puisian!

Keluar dari kos jam 09.30. Gue menuju rental printer langganan, ternyata penuh. Tidak ambil pusing, gue lanjut jalan ke rental printer lain. Sudah menancapkan flashdisk, komputer rental tiba-tiba tidak berfungsi. Oke, harus pindah (menahan sabar). Gue berjalan lagi sepanjang Barel. Rental di ujung pun penuh. Oke, ini cobaan.

Gue langsung menuju kampus, berpikir untuk mencetak tugas di rental yang ada di fakultas saja. Beruntung, rental di kampus saat itu kosong melompong. Ternyata Allah sudah menunjukkan jalan yang terbaik untuk gue :')

Masuk kelas.. Lah! Ternyata teman-teman gue baru empat orang saja, yang seharusnya satu kelas berisikan tujuh mahasiswa (termasuk gue). Berarti, dua teman gue pun belum datang. Gue melihat dosennya.. Lah! Ternyata si dosen bule, yang merupakan suami dari dosen pengampu mata kuliah hari itu, dan dosen pengampu tidak masuk, sehingga digantikan oleh suaminya. Baiklah.

Untungnya presentasi belum dimulai. Gue urutan presentasi ke-tiga. Selagi dua teman gue presentasi, gue mencuri waktu untuk mengedit tayangan presentasi sebisa mungkin. Hingga pada waktunya tiba, gue presentasi. Gue melakukannya dengan tidak sadar. Menebak sebisa mungkin apa yang harus gue jelaskan secara improvisasi.

Maafkan saya, teman-teman.. Ini semua karena ketiduran :(

Presentasi gue pun berakhir. Presentasi individu paling berantakan sepanjang sejarah.

Itulah sebabnya mengapa gue sebenarnya lebih cenderung memilih begadang dibandingkan tidur terlebih dahulu ketika mengerjakan tugas: karena gue takut kebablasan!