11.33 -
celoteh
11 comments
Kepada: Sopir Angkot Tadi Sore
Tadi
sore, seperti aktivitas keseharian gue biasanya, gue pulang dari Depok ke
Bekasi sekitar pukul 15.00 (dari Depok). Sampai pintu tol Bekasi Barat, waktu
menunjukkan sekitar pukul 16.30. Setelah turun dari bus, gue berjalan ke arah BCP
untuk mampir sebentar ke toiletnya.
Maaf ya BCP, lo cuma sering gue
jadikan tempat numpang cuci tangan dan buang air kecil.
Eh
tapi sebenarnya gue nggak sering-sering juga sih mampir ke BCP setelah pulang
kuliah. Gue cenderung untuk menunggu angkot 05 (angkot yang menuju rumah gue)
di depan Islamic Center, karena gue
malas jalan masuk BCP dan tembus ke belakang untuk menunggu angkot di sana. Padahal
kata orang-orang sih, mendingan gue masuk BCP dulu, lumayan ngadem. Halah, sama
aja sih menurut gue, mending nggak kecapekan jalan daripada numpang ngadem yang
hanya sebentar doang kerasanya. Toh sama aja, ujung-ujungnya naik angkot 05
juga.
Singkat
cerita, keluar dari BCP, gue jalan ke pertigaan tempat angkot-angkot biasa ngetem. Kebetulan, angkot 05 yang ada
saat itu jumlahnya tiga biji (biji semangka, maksud lo, Cit?). Angkot yang
paling depan itu kosong melompong tak ada penumpang dan ngetem. Angkot kedua berada di belakang angkot pertama, dengan
penumpang yang cukup banyak. Sama halnya dengan angkot ketiga yang berada di
belakang angkot kedua. Perlu diketahui, angkot kedua dan angkot ketiga ini
tidak ngetem.
Gue,
sebagai penumpang yang harus menentukan jalan hidup pun mulai berpikir: Angkot manakah yang layak untuk gue
tumpangi?
Sebagaimana
dalam dunia perangkotan, jikalau ada angkot pertama yang ngetem, selayaknyalah penumpang naik angkot tersebut. Teori dari mana Cit? Ya iyalah, gue udah
terlalu sering naik angkot dan menyimpulkan hal ini: jika kita naik angkot yang
berada di belakang angkot yang ngetem
tersebut, bisa-bisa kita diteriakin, “NAIK YANG ITU NENG!” Males banget kan
kalau kita udah naik angkot kemudian disuruh turun lagi gara-gara si sopir
angkot yang kita naikin mobilnya nggak enak sama sopir angkot yang ngetem di depannya. Itu sama saja dengan
penolakan! Wahai pembaca yang budiman, penolakan itu sesungguhnya sangatlah menyakitkan… Yang pernah ditolak cintanya, mana
suaranyaaaa? → Kayak gue pernah ngerasain ditolak aja. Kalau menolak sih pernah. Oke
mulai ngelantur.
Sopir
angkot kedua sempat terlihat setengah hati mau menawarkan kepada gue, tapi
setengah hatinya lagi tidak enak terhadap sopir angkot pertama. Akhirnya, demi
menjaga keharmonisan para abang angkot, gue memutuskan untuk naik angkot pertama
yang kosong melompong dan ngetem
tersebut.
Gue
tunggu, lima menit, sepuluh menit, baru jalanlah angkot yang gue naiki itu
seorang diri dengan si abang. Di Perumnas 2, abang angkot sudah mulai terlihat
emosi dalam mengendarai angkotnya karena sepi penumpang. Herannya, dia nggak ngetem-ngetem lagi setelah itu, jadi
sepanjang Perumnas 2 sampai Kalimalang, angkot berjalan dengan kencang plus
rem-rem mendadak yang bikin gue kepikiran: Oke,
kalau gini cara nyetirnya, gue bisa mati. Tragis banget kisah kematian gue kalau
harus mati berduaan sama abang angkot. Boleh milih mati berduaan sama Vino
Bastian aja?
Kemudian
gue berpikir lagi, mungkin angkot ini bakalan ngetem di jembatan LIA. Karena berdasarkan pengamatan, angkot yang sepi
biasa ngetem di situ bermenit-menit
lamanya untuk menjaring penumpang. Ternyata, perkiraan gue kali ini salah.
Tepat satu detik setelah gue menguap “Hoaaaahmmm..,” si abang nanya ke gue, “Dek,
turun mana?” Lalu gue jawab, “Taman.”
Setelah
mendengar jawaban gue, angkot pun terus berjalan. Dalam hati sempat berbisik, syukurlah, gak ngetem, asiik dianter sampai
Taman. Eh tiba-tiba angkot berhenti di depan LIA, “Ikut belakang aja ya,
dek!”
Lalu
muka gue seketika menjadi seperti ini:
Gambardiambil dari sini nih |
Gue
pun tanya balik, “Hah? Ikut belakang?” Si abang pun meyakinkan lagi, “Iya, ikut
belakang aja!”
Dengan
setengah kesal, gue turun dari angkot. Berjalan sedikit ke arus balik. Sialnya,
saat itu gue sudah lepas kaca mata sehingga pandangan gue jadi terbatas sekali,
mau pakai kaca mata lagi sudah susah karena berada di dalam tas. Eh tiba-tiba angkot
yang tadi berjalan mundur ke arah gue dan abang angkot berteriak (tidak begitu terdengar
oleh gue), “BLA BLA BLA!” Kemudian
gue jalan menengok dan jalan mendekati angkot, “HAH?” Hah-hoh aja kan gue anaknya… Gue nggak ngerti si abang ngomong apa,
tapi di ujung kalimat terdengar seperti ini, “…
NGGAK TERIMA KASIH!”
HAH??????
Setelah
termangu mendengar ujung kalimat tersebut, si abang angkot ngeloyor pergi. Kembali,
gue pun ter-hah-hah.
EMANG
GUE ADA SALAH APA YA KE ABANG ANGKOT?
Mari
kita analisis:
1. Gue
nggak bayar angkot ketika diturunkan di tengah jalan
Prinsip gue (dan bokap
gue), jika angkot menurunkan kita di tengah jalan, tidak sampai kepada tempat
tujuan, kita tidak berkewajiban untuk membayar angkot tersebut. Mengingat
angkot adalah jasa, sama halnya dengan jasa fotokopi, di mana saat tukang
fotokopi salah fotokopi, ia tidak berhak meminta ganti rugi fotokopi tersebut
kepada kita. Atau contoh lain, jasa penjahit misalnya, apabila kita menjahitkan
baju kepada penjahit dan tiba-tiba di tengah pekerjaan mesin jahitnya rusak,
apakah penjahit akan mengembalikan baju kepada kita dan “menodong” kita untuk
membayar baju yang baru setengah jadi itu? Gue rasa tidak sepantasnya produsen
jasa bertindak seperti itu. Toh gue bukan anak kemarin sore yang baru belajar
naik angkot, gue sudah beberapa kali diturunkan seperti itu dan 90% sopirnya memaklumi.
2. Saat
sopir angkot meneriakkan sesuatu kepada gue, sebenarnya gue sudah ada feeling yaitu dia pengin dibayar.
Kalau pun dia
melafalkan dengan jelas, meminta dengan baik-baik, gue pun sudah berniat akan
memberikannya uang (meski tidak akan gue bayar penuh). Tapi berhubung yang
dimintanya nggak jelas, ya mana gue tahu, lagi pula kejadiannya begitu cepat.
3. Haruskah
gue mengucapkan terima kasih kepada sopir angkot yang menurunkan gue di jalan
yang bukan menjadi tujuan gue?
Gini ya, gue bukan tipe
orang yang kikir dalam mengucapkan “Terima kasih”. Setiap transaksi apa pun (pembayaran
di kasir supermarket, pembelian makanan di kantin, sampai pembayaran fotokopian)
gue selalu mengucapkan “Makasih ya, Pak/ Bu/Mas/Mbak.” sekalipun mereka sudah
terlebih dulu mengucapkan terima kasih kepada gue. Memang, kepada sopir angkot
gue jarang mengucapkannya karena rata-rata setelah dibayar, sopir angkot
langsung jalan begitu saja atau keadaan yang tidak memungkinkan (seperti turun
di jalan yang mobil dilarang berhenti). Pernah sih, beberapa kali gue
mengucapkan terima kasih kepada sopir angkot, tapi seringnya tidak direspon,
ihik, sebabnya sih karena yang telah gue jelaskan tadi. Namun untuk kasus gue
ini, sepertinya memang tidak perlu untuk mengucapkan terima kasih kepada sopir
angkot yang menurunkan gue di tengah jalan demi kemalasannya mengantarkan gue
ke tempat tujuan.
Sampai rumah pun gue masih
terngiang kejadian barusan. Jadi menerka-nerka, memangnya benar kalau gue
menjadi pihak yang bersalah? Tetapi gue teringat kembali ajaran bokap gue, di
mana kita tidak perlu meladeni orang-orang yang pendidikan tata kramanya tidak
sederajat dengan kita. Karena memang sudah jelas berbeda, kita paham etika
dan sopan santun sedangkan mereka tidak. Jika meladeni, sama saja menurunkan
derajat kita yaitu menjadi setingkat dengan mereka. Hal ini sama sekali tidak
berhubungan dengan keangkuhan dan stratifikasi sosial. Tapi kenyataan yang terjadi
di masyarakat memang seperti ini.
Terakhir, pesan saya untuk si abang
angkot:
1. Hei,
abang angkot yang barusan, harusnya Anda bersyukur saat itu saya sudah
menghormati Anda karena saya bersedia naik angkot Anda, bukan angkot di
belakang angkot Anda yang jelas-jelas sudah mempersilakan saya.
2. Hei,
abang angkot yang barusan, bagaimana angkot Anda akan penuh penumpang jika
kelakuan Anda seperti itu? Percayalah, Tuhan akan memberikan kebaikan kepada
Anda jika Anda berbuat baik. Kalau sedikit-sedikit ngamuk, sedikit-sedikit nggak sabar, sedikit-sedikit ngatain orang, niscaya rezeki yang
diberikan Tuhan kepada Anda pun kurang berkahnya.
Pesan
untuk gue sendiri? Harus pintar-pintar memilih angkot yang akan dinaiki. Hihi :
)
AngkotBekasi (bukan 05) yang diambil dari sini |
11 comments:
itu kenapa gue mpaling males naik angkot, kalo dipikir2 kapan gue terakhir naik angkot, ternyata sekitar 9- 10 yg lalu * ngitung beras
Tindakan lu udah bener...sopir kayak gitu memang harus dikasih pelajaran...
Btw enakan belajar naek motor daripada ngangkot...sumpah
Suer.. paling mualess tuh kalo ada angkot nyang kayak begitu, gue juga pernah ngalamin.
lam kenal ye :)
angkot emng gitu...
dia nyari penumpang yg banyak biar bisa dapat uang..
kalo cm nganter neng sendiri kan rugi.....
:P
Anggi: Terakhir kali naik angkot 9-10 apa nih? 9-10 tahun yang lalu, 9-10 hari yang lalu, atau 9-10 menit yang lalu? :p
Keven: Aiiih saya nggak berani mengendarai motor, sepeda aja takuut >.< hahaha
Si Belo: Perlu dibasmi ya abang-abang angkot macem gituu.. Salam kenal juga!
Dihas: Biasa narik angkot ya bang? :p
Aku belum pernah menolak. *komenku ikut melantur...
Mungkin dia naik angkot sekitar 9-10 detik yang lalu... *malah nanggepin komen yang paling atas.
Hebat bener setiap hari Depok Bekasi @_@
Hehe.. komentarnya emang bener-bener ngelantur. Hidup ngelantur! :D
setalah aku baca2, postingan2nya sangat bagus, menarik dan bermanfaat,,terus menulis,,karena dengan menulis kita bisa mengembangkan imajinasi kita dan menjadikan kita lebih kretaif..serta kadang bisa menghibur orang lain.. ^_^
oia salam kenal
kalau berkenan silahkan mampir ke EPICENTRUM
folloback juga ya buat nambah temen sesama blogger,,tukeran link juga boleh,,makasih..^_^
Salam kenal juga Rizki :)
wah untung ga pernah digituin abang angkot. serem. .____.
salam kenal ya. :)
Hihihi, semoga selamanya gak pernah digituin abang angkot. Rasanya menyakitkan :D
Posting Komentar