Berakit-Rakit ke Hulu, Berenang-Renang ke Tepian
Semua pasti tahu ya, lanjutan kalimat yang gue jadikan judul di atas.
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”
Sederhana sih memang. Mungkin ada sebagian dari Anda yang menganggap peribahasa ini sebagai angin lalu. Tapi tidak untuk gue. Karena gue setuju banget sama peribahasa yang satu ini.
Dari kecil, gue selalu dibebaskan oleh orang tua gue untuk memilih apapun yang gue mau. Minta les ini, diturutin. Minta beli buku itu, diturutin. Minta mainan, dibeliin (tapi gue dari kecil nggak matre, kalau milih mainan nggak pernah yang mahal-mahal banget. Kecuali pas ulang tahun. Hehe).
Mulai masuk SMP, perlakuan orang tua ke gue sama saja. Gue izin mengikuti ekskul A sampai Z, beliau-beliau pun mengizinkan. Gue latihan PMR setiap hari gara-gara persiapan untuk lomba, nggak masalah. Menginap di sekolah untuk LDK OSIS, juga nggak masalah. Menginap di rumah teman gue pun mereka izinkan. Padahal ada teman gue yang kala itu nggak dibolehin menginap sama orang tuanya dengan alasan, “Kayak nggak punya rumah aja.” Ah kalau orang tua gue sih asik, pandangannya demokratis. Namun ada satu kejadian yang bikin gue terkaget-kaget kala nyokap gue nggak mengizinkan gue untuk pergi bersama dengan teman-teman.
Kelas 3 SMP, gue punya geng yang kompak banget dan sampai sekarang pun hubungan kami masih lancar seperti saudara sendiri. Setelah ujian nasional SMP, salah satu teman di geng gue, mengajak untuk pergi ke pantai. Entah Ancol entah Anyer (gue lupa). Sebelum-sebelumnya gue yang paling gencar melayangkan permintaan untuk pergi ke pantai, karena gue udah lama nggak main ke pantai. Saat itu kami memang sudah bebas tidak ada kegiatan sekolah dan sedang menunggu hasil ujian nasional. Gue pun izin ke nyokap gue untuk ikut pergi bersama teman-teman. Nggak disangka nggak dinyana, nyokap gue nggak mengizinkan. Gue kaget bukan main. Alasannya, gue harus prihatin, karena belum dapat pengumuman nilai ujian nasional. Harusnya gue di rumah saja, banyak berdoa, bukannya malah pergi bersenang-senang.
Sebagai anak SMP yang kejiwaannya masih labil, gue antara sedih campur marah. Gue berpikir, kalau nilai gue bagus, alhamdulillah bisa dapat nilai bagus dan udah ngerasain jalan ke pantai. Kalau nilai gue jelek, ya nggak apa-apa, yang penting gue udah ikutan ke pantai. Hitung-hitung jalan-jalan perpisahan sama teman-teman gue. Gue yang punya sifat emosian, langsung malas sama orang tua gue. Gue sedih sepanjang hari. (Duh kalau ingat ini gue jadi sedih lagi.)
Akhirnya gue bilang sama teman gue, kalau gue nggak diizinin sama orang tua gue. Tanpa gue, akhirnya mereka tetap pergi ke pantai. Dan gue gigit jari di rumah.
Pada saat pengumuman nilai ujian nasional, ternyata gue dapat nilai yang paling baik di antara teman-teman gue dan gue juga berhasil masuk ke SMA yang gue idam-idamkan. Setelah dipikir-pikir lagi, benar kata orang tua gue, kalau gue harus prihatin sebelum mendapatkan apa yang gue inginkan. Mungkin saja kalau saat itu gue ke pantai, gue terlena dengan kesenangan hingga lupa berdoa dan nggak mendapatkan nilai yang baik.
Hingga saat ini, prinsip “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” masih gue terapkan. Kayak sekarang, Harry Potter and The Deathly Hallows Part 1 kan sedang di bioskop tuh ya.. Teman-teman gue banyak yang ngajak untuk menontonnya. Pasti lah gue pengen banget nonton, sama seperti Anda semua. Tapi gue belum dapat restu untuk seminar proposal dari dosen pembimbing gue. Lalu gue memilih untuk bersabar dan berencana menonton film itu setelah proposal skripsi gue ditandatangani dosen pembimbing. Intinya adalah sadar diri. Sebab,
“Allah SWT akan menolongmu, jika kamu mau menolong dirimu sendiri. Dan tak ada yang bisa menolong dirimu, selain doa dan usaha dari dirimu sendiri.” – D. Nariswari
Terima kasih untuk kedua orang tua gue yang telah mengajarkan betapa pentingnya makna “pahit sebelum manis”.
Seperti biasa, gambar diambil dari weheartit