Sabtu, 28 Mei 2011

Menguji Kepekaan Sahabat


Hari ini gue ulang tahun. Gue memanfaatkan momen ini untuk menguji tingkat kepekaan dan perhatian sahabat-sahabat terhadap gue. Bagaimana caranya? Gue sengaja tidak menampilkan tanggal hari lahir gue di situs jejaring sosial Facebook. Untuk Anda yang memiliki akun di situs tersebut pasti sudah paham, jika ada teman yang berulang tahun pada hari itu pasti akan muncul semacam peringatan di sebelah kanan atas.

Hal ini sebenarnya sudah gue rencanakan dari tiga bulan yang lalu. Namun gue berpikir, mungkin gue tidak akan melakukannya untuk tahun ini, alasannya sederhana, karena gue (masih) ingin diberi ucapan selamat oleh teman-teman. Akhirnya dua hari yang lalu gue berubah pikiran lagi, dan segera mengubah pengaturan tampilan hari lahir di Facebook, menjadi tidak tampil.

Dan bagaimana hasilnya, saudara-saudara? *drumroll

Hari ini merupakan hari ulang tahun paling sepi ucapan dari teman-teman. Sedih? Iya. Tapi bukan karena gue gila hormat atau ingin diberi ucapan, melainkan lebih kepada betapa tidak peka dan pedulinya orang-orang yang sudah gue anggap sebagai sahabat gue. Bagaimana tidak, puluhan orang yang gue anggap sebagai teman dekat, hanya segelintir orang yang masih perhatian terhadap hari ulang tahun gue.

Biasanya, lewat tengah malam, telepon genggam gue sudah ramai dengan ucapan-ucapan. Sekarang tidak ada, baru pagi harinya telepon genggam berbunyi. Teman-teman yang mengirim SMS adalah Ica, lalu disusul Ami, Usna, dan Lia.

Dua-tiga tahun terakhir ini notifikasi Facebook bisa mencapai ratusan jumlahnya akibat kebanjiran ucapan selamat ulang tahun di wall gue. Sekarang, hanya satu orang yaitu Sari (salah seorang anggota geng gue di SMP *ceilah geng) dan itupun ditunggangi komentar oleh Hari, teman sekelas gue waktu SMP. Teman-teman lain satu geng semasa SMP pun tak ada yang mengucapkan. Teman SMA, cuma Lia. Teman kuliah yang dekat, cuma Usna. Sahabat gue dari SD juga tidak mengucapkan. Ya anggap saja mereka “terlalu” sibuk dengan urusan mereka masing-masing sehingga urusan sekecil mengucapkan selamat ulang tahun kepada sahabatnya saja harus lupa.

Oh ya, ada satu teman yang malah menurut gue tidak begitu dekat dengan gue semasa SMP, justru mengucapkan. Kenapa dia bisa ingat? Karena ulang tahun gue sama dengan ulang tahun Mark Westlife (ya, silakan pingsan :D). Tapi gue sangat mengapresiasi kejujuran dan perhatiannya.

Karena yang gue bahas di sini mengenai teman-teman, maka keluarga yang mengucapkan selamat tidak gue turut sertakan. Sudah pasti, orang-orang pertama yang mengucapkan langsung adalah bokap, nyokap, kemudian kakak gue.

Lagipula sebenarnya, gue tidak begitu mengistimewakan hari ulang tahun. Hal ini sudah gue biasakan semenjak lima tahun yang lalu. Karena pada tahun 2006 itulah gue mendapatkan banyak pelajaran yang menyadarkan gue, betapa tidak pentingnya arti sebuah ulang tahun. Tapi yang ingin gue uji di sini adalah atensi dari teman-teman dekat gue. Dan nyatanya pengujian itu benar-benar membuat gue cukup sedih melihat kenyataan bahwa: halooo, segini aja ya, perhatian lo ke gue?

Jika ada sahabat yang berulang tahun, gue membiasakan diri langsung mengirim SMS kepada mereka. Tanpa melihat peringatan di Facebook-pun biasanya gue sudah sadar, karena gue selalu mencatat tanggal lahir mereka di kalender telepon genggam.

Menurut gue, orang yang mengucapkan lewat SMS masih lebih “mulia” dibandingkan orang yang mengucapkan lewat situs jejaring sosial.

Karena terkadang orang-orang hanya “kebetulan” saja untuk mengucapkan ketika dia sedang membuka situs jejaring sosial dan melihat bahwa kita sedang berulang tahun hari itu. Bukan benar-benar ingat akan ulang tahun kita. Lagi pula, mengirim ucapan lewat SMS juga terlihat lebih “mengeluarkan usaha” dibanding mengucapkan melalui situs jejaring sosial (semoga Anda mengerti dengan arti “mengeluarkan usaha” di sini).

Gue tidak akan menganggap bahwa di sini kelihatan siapa yang benar-benar teman, karena menurut gue kadar pertemanan tidak ditunjukkan melalui sekadar ucapan selamat ulang tahun.Tapi gue akan lebih menganggap bahwa siapa teman-teman yang benar-benar peduli, perhatian, dan peka terhadap gue.

Kalau hari lahir sahabat saja sudah lupa, bagaimana dia bisa peka dengan masalah besar kita?

Untuk masalah ulang tahun, gue nggak butuh kado. Meski kado merupakan bentuk konkret dari sebuah perhatian. Tapi apalah gunanya jika bentuk konkret tidak diselaraskan dengan bentuk perhatian dari hati. Bukan begitu?

Kamis, 26 Mei 2011

SEMANGKA


Sudah satu minggu ini gue balik ke Bekasi. Pulang ke tumah orang tua gue dan kembali menata hidup di kota ini kembali, melakukan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan. Gue merasakan hal-hal yang berbeda saat gue harus tinggal di kosan dengan keadaan saat ini, yaitu tinggal di rumah. Pastinya kalau di rumah gue nggak usah bingung cari-cari makanan atau mencuci baju. Memang benar kata-kata orang, rumahku istanaku.

Setelah lulus kuliah ini, bukan berarti gue nggak ada kegiatan lho. Kegiatan gue di dalam rumah malah banyak banget, sampai-sampai kegiatan yang biasa gue lakukan di kosan, seperti nonton televisi, menyalakan komputer jinjing, dan daring internet jadi jarang sekali gue lakukan. Biasanya kalau di kosan gue bisa menyalakan komputer jinjing sambil daring mulai dari siang sampai malam hari non-stop. Tapi sekarang paling hanya malam hari saja gue melakukan hal tersebut. Ya bagaimana tidak, di rumah kan fasilitasnya lebih variatif dan intensitas bertemu orang tua lebih sering, jadi gue tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

Yang menjadi FAQ (Frequently Asked Question) bagi gue saat ini adalah: “Udah dapat kerja?” atau “Udah ngelamar kerja ke mana saja?” Hal tersebut adalah wajar, karena bukan gue saja yang mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, melainkan juga teman-teman sesama fresh graduate. Gue sih biasa menjawab, “Belum. Gue masih mau menikmati masa muda dulu.” Kalau mendengar jawaban gue begitu, teman-teman gue rata-rata pada ngeledekin. Tapi sesungguhnya di balik jawaban gue itu, gue menyembunyikan sesuatu. Jelas orang macam gue ini tidak mungkin tidak memiliki rencana dalam hidup. Hanya saja, gue tidak berani cerita-cerita ke orang tentang apa yang menjadi tujuan dalam hidup gue setelah lulus kuliah. Karena dalam kamus gue, pantang untuk menyebutkan sesuatu yang belum pasti terjadi. Takut pamali dan selalu berusaha rendah diri. Jadi, gue minta doanya saja ya, kepada teman-teman blogger atau kepada siapa saja yang tidak sengaja nyasar ke blog ini, agar gue bisa menggapai impian gue itu.

Yang penting sih, kalau kata Fitri Tropica: SEMANGKA.. Semangat Kakaaak!!

Senin, 16 Mei 2011

Gempa Malang

Tadi pagi Malang gempa. Sekitar jam tujuh pagi. Saat itu gue masih terbaring dengan tidak sadar di atas kasur. Karena goncangan yang keras dan membuat kepala gue tiba-tiba pusing, gue terbangun dari tidur gue. Gue sadar, kalau ini gempa. Sesaat kemudian gue mendengar anak-anak kosan gue pada heboh, “Gempa.. Gempa!!”. Waktu itu sudah mulai tidak ada guncangan lagi. Dengan nyawa yang masih terkumpul setengah, gue berdiri, memutar kunci pintu kamar, bukan untuk membuka pintu, melainkan berjaga-jaga jika gempa semakin parah, gue bisa segera keluar kamar. Setelah memutar kunci, gue kembali tidur lagi. Selimutan. *dingin bok

Dua jam kemudian, nyokap gue menelepon. Terjadi percakapan seperti ini:

Nyokap (N): “Dik, Malang gempa?”

Gue (G): “ Iya. Kenceng banget. Aku sampai kebangun.”

N: “Terus sekarang ngapain?”

G: “Tidur lagi.”

N: “Edan! Habis gempa kok tidur lagi?”

G: “Haha, nggak apa-apa. Positive thinking aja nggak akan kenapa-kenapa.”

N: “Hadeeeh.”

G: “Tadi anak-anak kosan pada heboh tuh.”

N: “Oh, kamu kebangun gara-gara heboh-heboh itu ya?”

G: “Nggak, emang karena kasurnya goyang-goyang kenceng makanya aku bangun.”

N: “Berarti kamu nggak ikut heboh keluar kamar?”

G :”Nggak. Aku langsung tidur lagi.”

N: “Lho! Harusnya kamu ikut heboh dulu bareng teman-temanmu, baru tidur lagi.” #kriiiik

Hahaha. Setelah nyokap menelepon, gue pun melanjutkan tidur sebentar dan tak lama benar-benar terbangun dari tidur. Lalu gue mengecek di internet, ternyata gempa tadi berkekuatan 6,1 SR. Wow, pantas saja si gempa mampu membangunkan tidur gue. Memang benar-benar kencang ternyata. Alarm yang biasa gue nyalakan untuk membangunkan tidur gue saja kalah efektifnya dibanding gempa tadi. Masa’ iya harus gempa setiap pagi supaya gue bisa bangun pagi? :p

Minggu, 15 Mei 2011

Minggu Pagi di Pasar Minggu


Warga Malang pasti sudah tidak asing lagi dengan kehadiran sebuah “pasar kaget” yang hadir di setiap Minggu pagi. Oleh karena dilaksanakan setiap hari Minggu inilah, pasar yang terletak di sepanjang jalan Semeru ini dinamakan dengan Pasar Minggu. Di gerbang masuk Pasar Minggu dari arah Pizza Hut, Anda akan disambut dengan gapura ini.

Oke, sekarang saatnya pengakuan. Gue, sebagai warga perantau yang hampir empat tahun tinggal di Malang, baru satu kali ini pergi ke Pasar Minggu. Berhubung sebentar lagi akan kembali ke Bekasi, maka gue menyempatkan hari Minggu terakhir di Malang untuk pergi ke sana sendirian. Gue bangun jam enam pagi, kemudian gue mandi dan hanya makan satu keping biskuit, lalu berangkat pada pukul tujuh menggunakan angkot GL.

Sampai di sana ternyata sudah banyak orang yang menyesaki jalanan Pasar Minggu. Gue berjalan mengikuti arus sambil melihat barang-barang atau makanan-makanan apa saja yang dijual di sana. Ternyata barang yang dijual seperti “pasar kaget” pada umumnya. Gue tidak menemukan sesuatu yang unik. Ada mainan anak-anak, peralatan rumah tangga, baju, sandal/ sepatu, aksesoris, dan sebagainya. Sedangkan untuk makanan ada jajanan pasar, bubur kampiun, cenil, cilok, sari jeruk, hingga makanan berat seperti bubur ayam, soto, bakso, rawon, sate, siomay/ batagor, dan lain-lain. Untuk harga, gue tidak mengetahui secara pasti karena hanya beberapa stan yang menyantumkan daftar harga. Tapi kalau gue lihat sih harganya masih normal-normal saja, mungkin hanya selisih seribu-dua ribu lebih mahal dibanding harga pada umumnya.

Suasana Pasar Minggu

Gue ingin sekali beli makanan karena gue belum sarapan dan kepala sudah mulai pusing. Tapi begitu melintas, tidak ada yang menarik hati gue. Ditambah lagi dengan kondisi pencernaanyang kurang fit, gue harus selektif dalam memilih makanan. Sempat tertarik dengan bubur kampiun tapi gue pikir nanti saja kalau sudah mau pulang baru gue beli.

Akhirnya gue sampai juga di ujung jalan. Lalu gue kembali memutar untuk memasuki ruas pasar pada arah yang berlawanan dengan ruas pasar yang gue lalui sebelumnya. Mulai dari situ, kaki gue agak keseleo sedikit. Mungkin ini teguran dari Allah karena selama ini gue hampir tidak pernah olah raga. Meski keseleo, gue tetap berjalan dan terus berjalan (halah) hingga kembali ke tempat awal pertama gue memasuki Pasar Minggu. Lalu gue bingung. Apa lagi yang harus gue lakukan? Akhirnya gue berjalan terus untuk mengambil foto-foto ini.

Baliho Malang Tempo Doeloe (MTD) VI

Tugu yang membelah ruas jalan Ijen (Gue nggak tahu nama resmi tugu ini apa)

Perpustakaan Kota

Setelah itu gue memutuskan untuk kembali masuk ke dalam pasar! Gue pikir, keterlaluan sekali kalau gue nggak membeli apa-apa di tempat tersebut. Gue mencari bubur kampiun. Namun di tiga per empat jalan, gue memutuskan untuk kembali karena jika dilanjutkan gue bisa-bisa pingsan di tengah jalan. Kenapa? Pertama, gue sudah pusing dari tadi karena belum sarapan. Kedua, matahari mulai terik. Ketiga, pengunjung makin ramai. Maka, gue putar balik tidak jadi membeli bubur kampiun dan hanya membeli jajanan pasar untuk gue makan di kosan. Harga satu kue-nya Rp 1.500,-.

Cucur Hijau (Kiri), Tahu Crispy Isi (Atas), dan Cum-cum (Bawah)

Dari situ, gue berpikiran untuk mampir ke bakso bakar yang terletak di Jalan Pahlawan Trip. Gue memang sengaja memanjakan diri gue pada saat-saat terakhir sebelum hijrah ke daerah asal. Kebetulan lokasinya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Alhasil gue berjalan di sepanjang trotoar Jalan Ijen. Tahukah Anda kalau salah satu impian saya adalah bisa berjalan di trotoar Jalan Ijen? Karena menurut gue Jalan Ijen merupakan ruas jalan paling indah di Malang, ditambah dengan pemandangan rumah-rumah kuno di sisi jalan. Meski setiap tahunnya terdapat festival MTD yang terletak di Jalan Ijen, gue tetap tidak pernah berjalan di trotoarnya, karena festival tersebut berada tepat di tengah jalannya. Maka, momen ini sangat gue nikmati. Walau sering mendapat godaan dari orang-orang yang melintas, gue tetap melaju di sepanjang trotoar dengan hati yang berseri-seri.

Baliho MTD VI mulai dipasang

Sayang kalau nggak ada foto diri (biarin deh kalau ada orang lihat)

Suasana trotoar Jalan Ijen

Salah satu rumah di sudut Jalan Ijen

Sampai di Bakso Bakar Pahlawan Trip, gue memutuskan untuk tidak makan di tempat dan cukup dibawa pulang saja. Gue memesan bakso bakar campur (bakso halus dan bakso kasar) dengan harga Rp 7.500,-/ porsi (satu porsi 5 bakso).

Suasana Bakso Bakar Pahlawan Trip

Kemasan dengan cap logo Bakso Bakar Pahlawan Trip

Bakso bakar, kuah, dan saus serta sambal

Setelah itu gue meluncur pulang. Dengan yakinnya, gue jalan ke daerah depan gereja untuk menunggu angkot GL. Sampai di satu tempat dekat angkot-angkot ADL mangkal, gue berhenti. Sempat ditawarkan naik Adl oleh sopirnya, namun gue menggeleng. Gue bersikeras menunggu GL.Waktu terus berlalu dan tak ada satupun angkot GL yang lewat. Gue justru berjalan semakin menjauh dari pangkalan ADL tersebut.

Gereja di Jalan Ijen

Hingga ada sebuah ADL yang melintas lalu gue ditanya, “Mau ke mana mbak?” Gue jawab, “UIN pak. GL lewat sini nggak?” Sopir membalas, “Oh GL nggak lewat sini, yang lewat sini cuma ADL.” Dang! Pengen pukul kepala sendiri jadinya. Lalu gue berjalan menyusuri trotoar Jalan Ijen lagi hingga Museum Brawijaya. Kali ini hati gue sudah tidak merasa riang, karena kaki sudah lelah sekali dan matahari semakin menyengat, ditambah betapa bodohnya karena salah nungguin angkot. Sampai di Museum Brawijaya gue naik angkot GL. Di atas angkot gue berpikir, tahu begitu pas di Bakso Bakar Pahlawan Trip gue langsung jalan tembus ke daerah Dempo aja supaya bisa langsung naik GL. Ah serba kebodohan deh tadi -____-

Kalau dirasa-rasa, jika tidak ada kejadian lucu, perjalanan gue hari ini tidak akan ada serunya. Meski merasa bodoh, tapi gue bahagia :)