Buat yang berpikir, “Ini apaan sih Kisah Citta Pascalulus
nggak abis-abis? Apa urusan gue?”
atau “Penting banget nggak sih, lo cerita panjang lebar gitu, Cit? Gue nggak
peduli!” Hakhak. Hampura. Mending doakan gue supaya dapat melangkah ke tataran hidup
selanjutnya aja, gimana? Berdoa, mulai.
Aamiin. Selesai.
Sekarang gue mau cerita tentang proses pengambilan ijazah di eF-I-Be
UI. Jadi, sekitar dua hari sebelum gladi resik, di sore hari yang cerah, gue
di-SMS oleh Mbak sekretariat yang mengurus departemen gue, “Mbak Disyacitta,
segera serahkan formulir pemesanan ijazah, segera.” Gue yang kala itu sedang
guling-gulingan di atas kasur langsung loncat. APAAAH?!
Gue kaget karena: pertama, gue baru sekali itu mendengar Formulir
Pemesanan Ijazah dan kedua, di dalam SMS-nya ada dua kata segera yang gue artikan sendiri sebagai ‘penting banget, man! lo harus lakukan ini sekarang juga’.
Mari kita bedah satu-satu poin kekagetan gue:
1. Kenapa mahasiswa yang sudah lulus harus MEMESAN ijazah?
Bukankah setiap mahasiswa yang sudah lulus BERHAK mendapatkan ijazah dan sudah BERKEWAJIBAN
untuk memberikan ijazah? Lantas, kenapa mahasiswa harus PESAN terlebih dahulu?
Kalau gue nggak pesan, apakah gue nggak dapat ijazah? Pemikiran ini tentu tidak
berdasar atas alasan kemalasan-mengurus-ijazah-melalui-birokrasi semata, tetapi
karena gue sudah pernah menjadi mahasiswa yang lulus dari universitas negeri
lain dan gue tidak perlu melakukan pemesanan untuk mendapatkan ijazah. Memang,
kebijakan setiap kampus pasti berbeda-beda, tapi hal ini menurut gue kurang
masuk akal dan merepotkan.
2. Kalau hal ini penting dan sifatnya segera, kenapa Mbak
sekretariat mengirim SMS dua hari
sebelum gue gladi resik wisuda? Harusnya kan setelah gue dinyatakan lulus, gue
diberi tahu akan hal itu. Jadinya gue bertanya-tanya sendiri, beneran nih, perlu segera dikumpulkan?
(Ternyata saat wisuda gue bertemu dengan wisudawan lain dan ia berkata tidak
mendapat SMS dari Mbak sekretariat mengenai formulir pemesanan ijazah. Jadi
untuk sementara benar kan dugaan gue bahwa formulir ini sifatnya tidak
penting-penting amat.)
Akhirnya, sebelum gladi resik gue mampir ke Gedung II FIB
terlebih dahulu untuk mengambil formulir pemesanan ijazah. Karena saat itu sudah
memasuki jam istirahat, maka gue hanya mengambil formulir saja tanpa bertanya
kepada mas atau mbak pegawai di sana. Pas gue lihat ternyata ada syarat-syarat
yang harus disertakan, yaitu pas foto 6x6, bukti penyerahan tesis, bukti
pengunggahan tesis, dan bukti bebas pinjam buku perpustakaan. Sudah jelas saat
itu gue tidak membawa foto dan belum menyerahkan maupun mengunggah tesis,
sehingga gue memutuskan untuk mengembalikan formulir beserta syarat-syaratnya
di lain hari saja.
Keesokan hari setelah wisuda, gue mengunggah tesis lewat http://lib.ui.ac.id/unggah/.
Sebenarnya hal ini sudah pernah gue lakukan sebelum wisuda tetapi yang gue
lakukan tidak membuahkan hasil alias gagal. Ternyata mengunggah tesis di http://lib.ui.ac.id/unggah/
tidak semudah yang gue kira. Ada beberapa kolom yang harus gue isi dan gue
mengalami beberapa kesulitan saat mengisinya, terutama pada nama dosen
pembimbing dan penguji. Jadi, saat kita mengisi nama dosen, akan muncul
otomatis seperti kita mengetik di google gitu, lho. Duh istilahnya apa gue ga
ngerti, haha. Nah, nama yang muncul secara otomatis itu ternyata nggak akan muncul
kalau internet yang kita pakai koneksinya lambat. Gue coba beberapa kali dan hasilnya
tetap sama. Jadi saran gue, kalau mau ngunggah di situs itu, lo harus pakai internet
yang kencang dan atau harus sabar. Di suatu malam, gue coba kembali
mengunggahnya dengan harapan internet yang gue pakai koneksinya sudah lebih
cepat. Akhirnya gue berhasil memunculkan secara otomatis nama-nama dosen gue
tetapi gue tetap tidak bisa submit
karena di layar tampil peringatan yang mengatakan bahwa ada jumlah karakter
yang kebanyakan. Selidik punya selidik, nama dosen gue yang muncul secara
otomatis itu kepanjangan karakternya! Nah lho, bukan salah gue kan -__- Akhirnya
gue memutuskan untuk menghapus nomor yang menurut gue tidak penting (karena
selain nama, ada pula NIP dan entah nomor kode apa yang muncul di sistem
otomatis itu). Keputusan menghapus nomor itu membawa keberhasilan pada
pengunggahan tesis gue. Fiuh! Dan ternyata
bukan gue saja yang mengalami kesulitan, karena teman gue pun mengalami hal
yang serupa. Jadi jelas kesalahan atau kebodohan bukan di gue, dong, melainkan
sistemnya yang kurang bersahabat.
Beberapa hari setelah berhasil mengunggah tesis, gue ke
perpustakaan untuk menyerahkan tesis dan mengurus bukti bebas pinjam buku
perpustakaan. Mengenai tempat penyerahan tesis, letaknya di Lantai 1
perpustakaan. Begitu masuk pintu perpustakaan, meja yang berada di depan adalah
untuk pengembalian buku, sedangkan untuk menyerahkan tesis, gue harus
menghampiri ke meja di bagian sebelah kiri. Ada seorang bapak pegawai yang
berjaga di situ. Gue harus mengisi sebuah tanda bukti penyerahan kemudian
memberikan tesis yang sudah terjilid ke bagian itu. Setelah itu, gue mengurus
bukti bebas pinjam buku perpustakaan yang letaknya di meja yang sama dengan
meja pengembalian buku. Agak deg-degan juga sih, takutnya ada buku yang gue
pinjam tapi lupa gue kembalikan dan harus bayar denda. Alhamdulillahnya ketakutan gue tidak terjadi. Sebab, banyak lho, mahasiswa yang nggak sadar punya
buku pinjaman dari perpustakaan yang lupa dikembalikan dan ketika mengurus
bukti bebas pinjam, mereka harus membayar denda yang besar jumlahnya :o
Setelah semua urusan di perpustakaan selesai, gue kembali ke
mobil karena sudah memasuki jam istirahat (yang sudah pasti loket di Gedung II
sudah tutup). Di saat-saat menanti loket buka, gue mengecek kembali formulir
pemesanan ijazah dan membacanya. Sesaat kemudian gue tersadar. Foto 6x6. Oke.
Gue ngecek tempat pensil, membuka plastik tempat menyimpan segala ukuran pas
foto yang gue punya. Gue kaget bukan kepalang ketika menemukan bahwa foto yang
gue kira berukuran 6x6 adalah 3x3! Gue panik nggak tahu harus ngeprint di mana.
Gue mengirim pesan ke teman-teman gue. Sembari menunggu, gue cari di google
tempat ngeprint foto berukuran 6x6. Menurut gue ukuran itu kurang lazim,
biasanya kan 2x3, 3x4, atau 4x6. Nah iin 6x6. Tempat foto mana yang bisa
ngeprint pas foto segede gaban gitu?
Setelah pikiran yang kalang kabut, gue teringat MariPro Depok (sebelah Es
Pocong). Gue langsung lari ke sana dan alhamdulillah
bisa langsung jadi (ditunggu beberapa menit), tapi minimal nyetaknya harus enam
lembar sedangkan gue hanya butuh satu
lembar. Lima lembar sisanya buat apa, coba? Mungkin di antara pembaca blog ini
ada yang mau? :p
Drama mencetak foto usai, terbitlah drama yang lain. Gue
bergegas menuju Gedung II dan bertemu dengan seorang Mbak pegawai di loket
pengambilan ijazah. Gue menyerahkan formulir dan segala macam persyaratannya.
Di situ Si Mbak agak terkaget, “Oh, belum ngumpulin (formulir), ya?” Gue
mengangguk. Namun, gue tetap bisa mengambil ijazah. Nah, kan, bisa juga tuh gue dapat ijazah tanpa pesan-pesan segala. Proses
pengambilan ijazah masih memerlukan waktu yang tidak singkat karena gue harus menunggu
lem foto kering, menunggu stempel kering, dan menunggu ijazah dipindai terlebih
dahulu. Setelah semua-muanya kering dan beres, gue harus tanda tangan bukti
pengambilan ijazah. Tiba-tiba Mbaknya bilang kalau transkrip belum keluar. Ngueeeng. “Jadinya kapan, Mbak?” “Belum
tentu, sih. Yang jelas saat ini masih dalam proses.” Yo wis lah tak sabar-sabarke wae. Setelah itu Mbaknya nyuruh gue fotokopi
ijazah. Fotokopi sendiri. Di luar. Pakai duit sendiri. Yaelaaa. You know what I mean,
lah. Capek gue komentarnya, haha.
Selang waktu beberapa minggu, gue pergi ke kampus untuk
mengambil transkrip. Gue berpikir dengan waktu yang selama itu pastilah
transkrip gue sudah selesai. Gue bertanya pada Bapak yang terlihat di sekitar
loket pengambilan ijazah dan transkrip. Kemudian beliau mengambil setumpuk
ijazah dan transkrip kemudian mencari nama gue. Krik krik. Cukup lama. Lalu beliau membuka suaranya, “Kemarin
ngumpulin formulirnya telat, nggak?” Gue jawab, “Iya, Pak.” “Pantes!” Yeah, Bapaknya agak ngomel karena tahu
gue telat ngumpulin formulir pemesanan ijazah yang gue singgung-singgung di
awal cerita ini. Gue kemudian melakukan pembelaan, “Tapi teman saya kemarin
ngumpulin formulirnya lebih telat daripada saya, transkripnya sudah jadi, Pak.”
Setengah kesal beliau menjawab, “Iya bentar, ini lagi dicari. Ada di file susulan.” O-EM-JI, ternyata
formulir pemesanan ijazah dampaknya sedemikian besarnya. Setelah Si Bapak
mengobrak-abrik file susulan (nggak
seekstrim itu juga, sih), akhirnya beliau menemukan transkrip gue. Olala, transkripnya
kenapa gedeee sekali. Katanya sih emang buat dilipat gitu, padahal gue nggak
suka melipat-lipat dokumen penting. Tapi kalau nggak dilipat gimana dong, wong gede banget, sampai sekarang pun
gue masih nggak tahu harus nyimpan transkrip itu di mana karena gue nggak bisa meletakkannya
di tas dokumen gue. Setelah mendapatkannya, gue pun mengucapkan terima kasih
kepada Si Bapak yang sudah sempat ngomel ke gue, hihi.
Baiklah, gitu aja sih cerita dan derita seputar pengambilah
ijazah dan transkrip. Untuk kisah mengurus legalisasi bisa dibaca di kisah
berikutnya, ya :)