Selasa, 03 Maret 2015

Kisah Citta Pascalulus (Ketiga): Tragedi Toga

Ketika daftar wisuda secara daring, calon wisudawan harus memilih ukuran toga sesuai ukuran badannya masing-masing. Ukuran toga tersedia dari S sampai XXL dengan tabel keterangan yang seingat gue mencakup panjang badan, lebar bahu, panjang lengan, dan lingkar pinggang. Dari awal membaca tabel itu, gue langsung berpikir untuk mengambil ukuran M. Setelah pikir lebih jauh, gue takut ukuran M nggak sesuai ukuran badan gue, sehingga gue segera mengambil meteran. Karena nggak pede mengukur sendiri, gue lari ke nyokap gue, “Bu, buat ukuran toga, mending S atau M? Kalau ukuran S blablabla, kalau ukuran M blablabla.” Lalu nyokap gue mengukur lebar bahu dan panjang lengan gue, “Ambil S aja, pas ini.” Oke, gue percaya sama nyokap untuk memilih ukuran S. Dalam hati gue sempat sebal sama tabel ukuran yang tersedia di laman wisuda daring karena tidak ada ukuran lingkar kepala, tapi ya sudah bismillah saja, semoga baik jubah maupun topi berukuran S itu bisa pas di badan dan kepala gue.

Untuk urusan ukuran semacam ini, gue nggak pernah puas dengan keputusan yang gue ambil. Jas almamater kampus gue pas S-1 agak kebesaran sedikit, kemudian gue kecilkan sesuai dengan ukuran badan gue saat itu (iye, saat itu gue masih setipis kertas). Yang itu tidak terlalu bermasalah. Masalahnya, ketika wisuda S-1, toga gue agak ajaib. Bukan di jubah toganya, tetapi di topi toganya. Padahal, saat itu setiap calon wisudawan wajib mengepas ukuran toga sesuai dengan contoh jubah dan topi toga yang disediakan oleh pihak fakultas. Kami dipersilakan mengepas toga di salah satu ruang akademik dan kami diperbolehkan mencoba semua toga yang ada dengan ukuran yang tentu berbeda-beda. Logikanya, setiap calon wisudawan tidak akan ada yang salah ukuran karena kami telah mencobanya. Apalagi saat itu gue mencoba toga bersama teman-teman, sehingga gue bisa menilai yang dikenakan oleh teman gue sudah pantas atau tidak, dan teman-teman gue juga bisa menilai yang gue kenakan. Setelah toga asli milik gue berada di tangan, gue cobalah toga itu beserta topinya. Ukuran jubah toga oke, tapi tidak dengan topinya. Kekecilan, cyiiin! Saat pengukuran jaket almamater S-2 pun sama menyebalkannya. Ketika pendaftaran ulang, gue mendapat kesempatan untuk mencoba semua ukuran jaket almamater. Saat itu kan pendaftaran ulang sendiri-sendiri, jadi gue nggak kenal siapapun. Namun saat mencoba gue bergumam, “Duh, ini kegedean gak, ya.” dan ada mbak-mbak sebelah gue yang juga sedang mencoba menimpali gumaman gue, “Kalau kegedean juga nanti bisa dikecilin,” lalu gue menjawab, “Ah, iya, ya, bisa dikecilin.”. Akhirnya, jaket almamater yang gue pilih berukuran L dengan harapan lebih baik kebesaran daripada kekecilan. Kalau kebesaran bisa dikecilkan, kalau dikecilkan tidak bisa dibesarkan. Lalu, bapak petugas yang memverifikasi meyakinkan ulang di depan gue, “Ukurannya L, ya,” dan dengan yakinnya gue jawab, “Ya.” Begitu di rumah, gue buka bungkusan jaket almamater gue. Yak, kebodohan terulang kembali. Ukuran L-nya besaaar sekali, pemirsa... Berbeda dengan yang gue coba di kampus. Mana jaket almamater gue di kampus yang ini kata nyokap gue nggak bisa dikecilkan karena akan memotong bagian-yang-manalah-yang-gue-ga-paham-karena-gue-ngga-pernah-menyentuhnya-lagi. Seriusan, gue ngga pernah menyentuh bahkan melihatnya lagi saat jaket almamater yang disebut-sebut “jakun” itu sampai di rumah. Terakhir di simpan di kamar nyokap gue dan gue ga mau ketemu lagi dengan jakun itu karena sakitnya tuh di sana, di salah ukuran T.T

Setelah solat Jumat, gue pergi ke tempat pengambilan wisuda yang terletak di sayap baru Balairung yang menghadap ke danau. Sampai sana suasananya sepi dan hanya ada dua orang calon wisudawan pascasarjana selain gue yang mengantri. Antrian calon wisudawan sarjana bahkan tidak ada. Gue melirik kertas yang dibawa ibu-ibu calon wisudawan yang mengantri di sebelah gue (antriannya duduk). Akhirnya gue berani membuka mulut dalam edisi sok kenal sok dekat, “Bu, maaf. Yang dibawa buat ambil toga apa saja, ya?” Kemudian ibu itu memperlihatkan kertasnya ke gue, “Ini, slip pembayaran dari bank sama bukti cetak pembayaran.” Nah, kan, bener. Kenapa dia bisa cetak bukti pembayaran, sedangkan gue tidak? Gue bilang ke ibu itu kalau gue tidak bisa cetak bukti pembayaran. “Mungkin password-nya kali, mbak? Banyak yang ga bisa masuk karena password-nya udah gak berlaku.” Gue yakin banget sebelum ujian pratesis gue sudah mengurus perpanjangan password, “Sudah saya perbarui, kok, Bu.” Ibu itu akhirnya memberi saran lain, “Coba urus di komputer sini, biasanya ada.” Gue sama ibu itu celingukan cari komputer yang tersedia di ruang pengambilan toga. Sampai akhirnya mata kami sama-sama menemukan sebuah meja ber-laptop di sebelah paling kanan ruangan dengan seorang petugas yang duduk di belakangnya, “Nah, itu dia!” Akhirnya gue berterima kasih pada ibu itu dan pamitan menuju ke sana. Gue mendekati mbak petugas dan langsung menyapa padahal mbaknya lagi makan nasi kotak, “Misi, Mbak. Maaf ganggu,” ujar gue sambil ngelirik makanan di kotaknya. Kepo, pengen tau makanannya apa. Gue lihat ada ayam gitu, sih, haha. “Oh ya, nggak pa-pa,” kata Si Mbak sambil sedikit kaget menyambut kedatangan gue yang mengganggu makan siangnya. Gue lihat wajah mbaknya, kok kayak kenal tapi gue lupa itu siapa, daripada nambah ke-SKSD-an, mending gabung SNSD *apa sih* Ya udah, daripada kelamaan mengingat siapa mbak itu, gue langsung pada pokok permasalahan, “Mbak, saya nggak bisa nge-print cetak bukti bayar.” Lalu mbak petugas menjawab, “Oh, di sini bisa.” Kemudian mbaknya nge-klik sana-sini, dan menanyakan NPM gue. Nggak lama setelah gue jawab, cetak bukti bayar gue sudah di-print-kan. Horay! Lumayan, menghemat tinta printer di rumah. Dih. Setelah itu, gue kembali mengantri sebentar dan mendapatkan undangan beserta sebungkus toga. Asyik! Jadi wisuda beneran! Nah, pas keluar ruangan, ketika hendak turun tangga, gue baru ingat siapa mbak yang membantu menyetak bukti bayar wisuda gue. Ternyata dia karyawan di tempat gue magang! Pantas saja kayak kenal, tapi yang membedakan adalah sekarang dia berjilbab. Gue magang kan tahun 2013, beda divisi juga sih sama dia, apalagi sekarang dia berjilbab, ya wajar kalau gue lupa. Gue pengen masuk lagi dan nyamperin mbak itu, tapi gue ada ketakutan salah orang. Haha. Kalau ternyata benar itu dia, ya sudah gue minta maaf lewat sini saja. Maafkan ya, Vero :D

Sampai mobil, gue mengecek kelengkapan toga yang terbungkus plastik. Pertama, gue mengecek jubahnya.

Two stripes, baby!

Pas gue lihat topinya... Ya ampun kenapa kecil sekali? T.T

Gue heran, kenapa gue nggak pernah bisa secara presisi mengukur toga dan jas/jaket almamater yang sesuai dengan anggota tubuh gue? Dari segi panjang, jubah toga gue kependekan, meski ukuran di badan sudah pas. Selain itu, topi toganya diameternya kekecilan di kepala gue. Memang sih, ada karet di belakangnya, tapi dari pengalaman wisuda yang lalu, gue dikatain nyokap gue kalau topi toga gue kayak kue ulang tahun X)) Nyokap pun punya mengalami hal yang sama saat wisuda sarjananya dulu. Jadi, nyokap gue nggak mau tragedi-topi-toga-mirip-kue-ulang-tahun terulang kembali. Akan tetapi, maaf, Bu, kali ini tragedi itu harus kita ulang kembali :D

Sampai rumah, gue ngomel-ngomel sendiri di depan nyokap gue. Beliau juga menyesal, kenapa toga gue kependekan dan topi toga gue kecil sekali, “Kenapa pas kamu ambil, nggak langsung dicoba?” Gue diam saja penuh kekecewaan pada diri sendiri. Untungnya, di bagian belakang topi masih ada karet sehingga topi toganya bisa didorong ke bawah sehingga nggak terlihat seperti kue ulang tahun banget. Nyokap pun akhirnya membuka salah satu bagian jahitan karet kemudian menjahitnya lagi dengan posisi karet yang lebih lebar sehingga karet bisa lebih ditarik dan kepala gue tidak pusing dengan kencangnya karet dengan posisi yang sebelumnya. Gue pun berpikiran untuk menyiasati sanggul gue saat wisuda nanti, yaitu cukup poni miring tanpa sasak dan posisi sanggul berada di bawah sehingga tidak bentrok dengan topi toga. Kembali dari pengalaman, sanggul gue pada wisuda S-1 lalu agak-agak maksa karena gue ingin seperti model sanggul yang gue temukan di majalah, yaitu dengan poni belah tengah. Hasilnya, topi toga gue semakin muncul ke atas. Yeah.
Kiri: Topi Kue Ulang Tahun Toga S-1; Kanan: Topi Kue Ulang Tahun Toga S-2

Pokoknya, besok-besok gue butuh saksi hidup untuk menemani gue mengukur hal-hal semacam itu. Mau nggak mau harus kuliah lagi supaya bisa merasakan jas/jaket almamater dan toga yang sesuai ukuran badan. Err... Gue nggak maksa, sih. Ya mungkin tiba-tiba dendam gue akan ketidakpasan-jas-almamater-dan-toga tersulut api, jadi gue harus menuntaskannya dengan kuliah lagi! HAHA *mau maksa siapa juga, Cit* -___-


4 comments:

Kak kok kelihatan yang muda pas S2 yaaa?
Tjiiee awet muda niih

Haha..Toga yang dibawa tidak bisa ditukar lagi,bikin panik ya..hari penting mau tampil cantik malah masih disisipin tragedi segala..

Tapi udah lewat kan ya? dan tetep cantik koq^^

Gia: Aaaah Gia bisa ajaaa *malu-malu kcing* *meong-meong-meong*

Mbak Irly: Makasih pujiannya Mbak :p Hihi.. Kalau ngga ada tragedi ngga ada cerita :D

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)