Senin, 30 Desember 2013

2000 + 13



Kepada dua ribu tiga belas yang hampir bablas,
sampaikan salamku untuk orang-orang yang tadinya mendekat kemudian di tahun ini menjauh dan sampaikan terima kasihku untuk orang-orang yang tadinya jauh kemudian mendekat,
sampaikan maafku untuk diri sendiri dan orang-orang berkepentingan, karena tidak berhasil mencapai target yang diinginkan, dan
sampaikan syukurku kepada Tuhan atas kejutan yang Ia berikan, baik sedu sedan maupun kebahagiaan.

Dari aku, di deras hujan Desember dua ribu tiga belas.



Oleh:    
                30 Desember 2013


Senin, 09 September 2013

Terselip Kamu di Antara Aku dan Band-band Indie Favoritku



Hai, aku sedang mendengarkan album baru Frau yang berjudul Happy Coda
Aku suka
Sama seperti aku suka kepada kamu yang sama-sama menggilai Frau ketika pertama kali dengar

Kebetulan tadi siang aku membaca judul lagu Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan di salah satu media sosial
Itu lagu kesukaan kamu dari Payung Teduh, salah satu band indie favoritku
Kamu tidak pernah tahu band ini sebelumnya, hingga kamu mencari tahu dan mencari lagu kesukaanmu sendiri
Dan aku suka

Nanti ada saatnya kita berbicara banyak tentang ini lagi
Sambil mendengarkan Efek Rumah Kaca, Gugun Blues Shelter, Frau, Payung Teduh, dan tentu saja aku tidak akan egois, kita juga akan mendengarkan Mocca, band indie favoritmu
Tunggu saat itu, hingga waktu yang tepat dan kita tak akan mengumpat

Salam dari aku yang sedang mendengarkan Frau

Gambar dari album Happy Coda

Minggu, 11 Agustus 2013

Sapu-sapu Orang-orang Menyebalkan


Mengapa semakin banyak orang menyebalkan?

Ketika maaf-memaafkan dijadikan persoalan.

Mungkin seorang introvert memang tidak pantas untuk turut serta di media sosial.

Atau memang tidak bisa bersosialisasi?

Selamat hari raya Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin.

(Maaf lagi? Salah lagi? Ah sudahlah!)




Gambar dari weheartit

Rabu, 12 Juni 2013

Surat Merah Muda dari Kapten Bhirawa



Apakah ada yang sering menunggu pak pos datang? Jika ada, aku salah satunya. Jumat pagi adalah waktu yang paling tepat untuk menunggu sepucuk surat melayang di rerumputan halaman. Surat itu selalu jatuh tepat di ujung kakiku. Jika sudah begitu, surat tersebut aku buka dengan hati riang bukan kepalang. Aku terkadang menyiapkan beberapa lembar tisu, sekadar menjaga jikalau ada air yang lewat di kedua sudut mataku. Air itu mengalir karena sesuatu: pesan rindu yang orang tuaku goreskan di akhir setiap surat-surat itu. 

Sejak kecil, orang tuaku tinggal terpisah denganku. Mereka di Surabaya. Aku di Jakarta. Aku tak bersama mereka karena keadaan saat itu masih sulit sehingga aku tinggal bersama oma di perkampungan Betawi ini. Hingga umurku yang ke-18, aku masih bersama oma. Hal itu semata karena aku merasa bertanggung jawab akan oma. Jika tak ada aku, aku yakin oma tak akan ada hingga kini. Oma tinggal sendiri, hanya aku yang oma punya di rumah ini. Meski aku dan orang tuaku hidup berjauhan sejak lama, orang tuaku tak pernah lupa kepadaku. Satu-satunya cara untuk mengirimkan kabar dan melepas rindu adalah dengan surat yang mereka kirimkan setiap seminggu sekali.

Tapi kali ini lain, yang aku tunggu bukanlah surat dari orang tuaku, melainkan surat dari Kapten Bhirawa. Lamat-lamat musik gambang keromong menjadi latar penantianku hari ini. Jantungku berdegup tak menentu, tak dapat mengimbangi pukulan gendang dari musik gambang keromong yang oma putar pagi ini. Aku pernah mengalami perasaan gugup semacam ini saat pertama kali aku mendapatkan surat cinta dari pacar pertama. Bahkan kali ini seratus kali lebih gugup dibanding waktu itu.  Di tengah lamunan yang diiringi gempitanya bunyi jantungku, tiba-tiba “Kring kring!” suara bel sepeda pertanda surat sebentar lagi akan jatuh di ujung jari kakiku. Aku menangkapnya dengan sigap, sebelum surat itu mencium rumput basah akibat hujan semalam. Aku tersenyum mendapatinya. Sebuah surat berwarna merah muda. Di bagian belakang jelas tertulis, “Dari Kapten Bhirawa”. Ini yang aku tunggu. Hatiku berbunga.

Sesaat kemudian aku berhamburan mencari sosok oma. Tak lama, aku menemukan oma berada di kebun belakang sambil menyeruput kentalnya teh melati dengan mata setengah terpejam menikmati alunan gambang keromong. Aku langsung menyodorkan surat itu kepadanya. Aku menahan kegembiraan sambil setengah berbisik, “Dari Kapten Bhirawa.” Lantas aku buka amplop itu dengan suka cita. Oma melirikku, mengisyaratkan aku untuk membacanya karena mata oma sudah tak terlalu sanggup membaca. Sepintas aku menemukan kalimat yang aku harap di surat itu. Sontak aku memeluk oma dengan erat sambil berkata, “Oma, akhir bulan depan, Kapten Bhirawa akan mempersunting oma.” Senyum oma langsung tersungging di sela paras ayunya. Ya, Kapten Bhirawa adalah seorang veteran yang akan menjadi opaku sebentar lagi.




Jumat, 24 Mei 2013

Cerita: Aku, Kamu, Kita



Aku tak lagi bercerita tentang kamu.
Tentang hari-hari kita yang terisi dengan tawa. Tentang jari-jari kita yang berpagut di antara suka.
Kini semua tiada.
Ujung mataku basah oleh derainya air mata. Ujung hatimu tertoreh penuh sayatan luka.
Yang dulu tak ada, sekarang ada.
Kata-kata yang pernah terucap dalam bulir tanpa sendu kini sirna.
Sumpah serapah, caci maki, dan hina tanpa logika, tanpa tujuan kepada siapa.
Aku yang dulu bercerita tentang kamu. Kini semua tak ada.
Memendamkan lara, menenggelamkan rasa tanpa salam apa-apa.

Gambar dari weheartit.

Oleh:  
            16 Mei 2013

Senin, 20 Mei 2013

Lo Citta, Kan?



Hari Minggu kemarin gue pergi ke resepsi pernikahan sahabat. Kedua mempelai adalah sahabat gue, yakni Harris dan Mpeb. Kami tidak pernah sekelas, namun semasa SMA kami tergabung dalam beberapa organisasi ekstrakurikuler di sekolah sehingga hubungan kami sudah selayaknya teman dekat. Di luar kegiatan sekolah, dulu kami sering bepergian ke luar kota menggunakan motor bersama sahabat-sahabat lainnya. Saat itu jumlah perempuannya hanya tiga sampai empat orang, sedangkan jumlah laki-lakinya bisa mencapai enam sampai delapan orang. Ya, jumlah perempuannya hanya setengah dari jumlah laki-laki. Persahabatan kami saat itu sangat erat dan diwarnai oleh canda tawa, kerja sama, konflik, dan cinta. Tak jarang di antara kami yang terlibat dalam rasa suka, termasuk Harris dan Mpeb. Gue pun menjadi saksi bagaimana awal mereka saling jatuh cinta hingga berakhir di pelaminan kemarin itu.

Selamat berbahagia untuk Harris dan Mpeb, semoga menjadi keluarga yang penuh rahmat.

Pernikahan sahabat adalah salah satu agenda yang tidak ingin gue lewatkan. Sebisa mungkin gue akan menghadirinya. Alhamdulillah kemarin gue berkesempatan untuk menghadiri pernikahan mereka. Gue pergi bersama Tia, teman SD sekaligus teman SMA yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah gue. Bisa dibilang perjalanan kami ke lokasi resepsi pernikahan adalah sebuah perjuangan karena letaknya yang cukup jauh dari rumah kami. Atas antisipasi waktu, beruntung kami datang cukup tepat waktu ke acara. Saat hendak menuliskan nama di buku tamu, gue melihat segerombolan siluet-siluet (karena gue tidak memakai kacamata) yang gue kenal. Benar saja, ketika salah seorang dari mereka membalikkan badan, Tia menyapa mereka, “Desti!” dari jarak kira-kira lima meter, Desti pun berseru, “Tisya (Tia dipanggil Tisya ketika semasa SMA), Citta!” Gue pun tersenyum ke arah Desti dan bergumam dalam hati, Alhamdulillah Desti masih ingat gue.
Ya, gue terkadang suka agak sangsi ketika akan bertemu dengan kawan-kawan lama. Apakah mereka masih ingat gue dan apabila mereka lupa sama gue, apa yang harus gue lakukan. Seperti itulah prasangka yang muncul di dalam benak gue. Tapi ternyata anggapan gue salah, karena hampir semua yang gue temui saat resepsi pernikahan Harris dan Mpeb kemarin, mereka masih ingat sama gue, kecuali yang memang gue sama sekali nggak kenal ketika bersekolah dulu. Ketika berjabat tangan, gue usahakan menyebut nama mereka untuk menunjukkan bahwa gue tidak asal salaman dan masih ingat dengan mereka. Ternyata sama halnya dengan mereka, ketika mereka menyebut nama gue “Citta..” gue langsung nyess, alhamdulillah, dia masih ingat sama gue.

Dapat dikatakan teman-teman SMA yang mereka undang sebagian besar tidak pernah satu kelas dengan gue. Kalaupun ada, mereka bukan teman-teman dekat gue. Sedangkan anggota geng touring tetap yang gue sebutkan di atas tadi, hanya gue seorang yang datang (gue katakan anggota tetap karena terkadang ada teman-teman yang tidak setiap perjalanan ikut). Salah seorang teman yang pernah mengikuti perjalanan, Oos, datang agak belakangan. Ia menjabat tangan kami yang saat itu sedang berkumpul dalam satu lingkaran. Saat menjabat tangan gue, secara sengaja gue melontarkan pertanyaan, “Emang lo masih ingat sama gue?” sontak ia tertawa, “Masih ingat dong, Citta! Ini kan teman gue..”  Gue pun lega, padahal pertemanan kami tidak terlalu akrab tetapi ia masih mengingat gue.

Selepas acara foto bersama, gue turun dari pelaminan. Tak lama salah seorang teman menyapa, “Citta!”. Gue langsung menyalaminya dan ia berkata, “Citta pasti lupa deh sama gue..” Gue menjawab, “Nggak mungkin lupa, Novieta kan?” Ia pun terheran, ternyata hal tersebut di luar ekspektasinya yang mengira gue lupa dengannya. Ia tertawa dan senang mengetahui gue masih mengingat namanya. Sebenarnya gue juga agak heran, kenapa memori gue bisa sehebat itu untuk spontan dan tepat menyebut namanya, karena kami buka teman yang sangat dekat, meski kami pernah satu kelas ketika kelas XI. Ternyata Allah masih menganugerahi otak gue untuk mengingat teman-teman lama meskipun bukan teman dekat.

Dari pengalaman yang gue ceritakan tersebut, gue tersadar bahwa betapa pentingnya mengingat nama dan diri seseorang. Dengan begitu, kita akan lebih merasa dihargai dan menghargai. Bukan berarti ketika tidak mengingat seseorang lantas kita tidak menghargai mereka, karena gue yakin usia terus bertambah dan memori bisa lambat laun berkurang. Paling tidak, tunjukkan sikap terbuka dan keramahan ketika bertemu mereka. Jika memang terpaksa lupa, jujur saja jika kita lupa kepadanya dengan cara yang gue yakin lo-bisa-mengatasinya.

Ternyata, sekali lagi, untuk menggapai kebahagiaan itu memang sederhana.  Sesederhana diri dan nama kita yang masih diingat teman.