Sabtu, 28 Maret 2015

Kisah Citta Pascalulus (Keempat): Dua Wisuda Kedua

Setelah mengalami kebingungan pasca dinyatakan lulus saat sidang dan kepanikan mengurusnya, wisuda yang dinanti pun terjadi juga. Wisuda gue dilaksanakan pada tanggal 6--7 Februari 2015. Tentunya bertempat di kampus kesayangan.

Selepas Gladi Resik
 Wisuda gue di kampus yang bersimbol makara ini sangat melelahkan karena digelar selama dua hari berturut-turut. Hari pertama adalah gladi resik dan hari kedua adalah wisuda. Jadi sebenarnya wisudanya satu kali, dong, Cit? Baca dulu yuk, lanjutannya.

Di kampus pas gue S-1 dulu, ada juga sih gladi resiknya, tapi kami tidak perlu dandan dan berpakaian formal (cukup sopan dan rapi, tidak menggunakan toga) karena acara gladi resik benar-benar simulasi untuk wisuda keesokan harinya. Gladi resik pun hanya berlangsung sekitar kurang dari satu jam dan tidak terasa melelahkan. Lain halnya dengan gladi resik di wisuda kampus gue yang kedua ini. Di undangan wisudawan tertera bahwa hari Jumat adalah acara gladi resik dan ucapan selamat dari rektor. Ya, di hari gladi resik itu, kami sudah harus menggunakan toga karena akan bersalaman dengan rektor dan dekan, dan tentunya diabadikan dalam foto. Jadi, wisudawan harus sudah siap dengan dandanan yang baik. Karena apa? Ya karena akan difoto! Haha, cetek banget ya alasannya. Sebenarnya, kalau nggak mau dandan juga nggak apa-apa, cukup pakai baju berselimutkan toga, beres. Banyak kok wisudawan yang datang seadanya, nggak pakai dandan atau menata rambut ke salon. Namun, buat gue, kesempatan seperti ini tidak akan terulang lagi (ya, bakal keulang kalau bakal kuliah lagi, tapi pasti akan berbeda tempat dan situasi). Jadi, gue mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghormati diri sendiri (istilah “menghormati diri sendiri” ini gue pinjam dari Mbak Mey, yang menjadi teman seangkatan dan sejurusan satu-satunya yang wisuda pada periode kali ini). Beruntungnya, FIB mendapat urutan keempat untuk bersalaman dengan rektor dan dekan. Jadi, kami memiliki waktu yang sangat lapang setelah itu, berbeda dengan wisudawan dari fakultas lain yang harus antri bersalaman sampai teramat sore. Alhamdulillahnya, meski di wisuda kali ini dari angkatan dan jurusan gue hanya dua orang, gue ketemu teman-teman baru yang berasal dari jurusan dan angkatan yang berbeda, dan kami semua bisa cepat akrab. Mungkin karena jumlahnya sedikit dan terbawa suasana, jadinya kami bisa saling sapa dan berfoto-fotoan dengan riang gembira seperti sudah lama kenal. Setelah puas berfoto di sekitar Balairung, gue dan Mbak Mey menuju ke Perpustakan, lokasi andalan gue dan kawan-kawan Matrikulasi Linguistik 2011 untuk bertemu selepas gladi resik. Ya, dua periode sebelumnya, gue kebagian jadi tamu dan tim hore teman-teman yang lulus terlebih dahulu, sedangkan kali ini gue yang menjadi wisudawannya. Ihiy, akhirnyaaah :’) Sayangnya, di periode kali ini yang bisa datang hanya Mbak Inayah, sedangkan teman-teman lain sudah memiliki kegiatan lain yang bertepatan waktunya dengan waktu gue dan Mbak Mey wisuda. Agak sedih, sih, tapi ya nggak apa-apa, semoga di wisuda periode berikutnya bisa hadir satu angkatan, ya, manteman! Terima kasih untuk Mbak Inayah yang sudah meluangkan waktunya untuk hadir. Sebagai penyemangat, sudah nyobain togaku, kan, Mbak, hehe...

Trio Dialektologi
 Keesokan paginya, gue segera berangkat ke salon di dekat rumah untuk merias wajah dan satu jam kemudian meluncur ke Depok. Berangkat dari Bekasi pukul 06.00, sampai kampus pukul 07.15. Alhamdulillah, gue dan keluarga mendapatkan parkir di belakang Rektorat jadi kami tidak usah berjalan kaki jauh-jauh. Dari belakang Rektorat sih masih sepi, hanya beberapa wisudawan beserta keluarganya, tetapi ketika jalan ke depan Balairung, tepatnya di bundaran depan Rektorat, wow, sudah banyak wisudawan yang memanfaatkan moment-berfoto-sebelum-panas-dan-sebelum-riasan-luntur. Gue dan orang tua masuk ke halaman Balairung kemudian menukarkan undangan dengan snack box yang sudah disediakan dari panitia wisuda (wisudawan mendapat satu kotak, sedangkan kedua orang tua juga masing-masing mendapat satu kotak).

Setelah berpisah dengan orang tua, gue berjalan ke area gedung baru Balairung, tempat para wisudawan berbaris sebelum masuk ruangan. Saat itu masih sekitar empat orang wisudawan FIB yang berdiri, padahal wisudawan fakultas lain sudah seperti rombongan antrian beras murah. Gue menunggu sekitar 20 menitan hingga akhirnya fakultas gue dipersilakan untuk memasuki Balairung. Kemudian kami menduduki kursi yang telah disediakan. Saat itu hanya ada delapan baris kursi untuk FIB. Masing-masing baris terdiri atas dua kursi, sehingga wisudawan S-2 dari FIB hari itu hanya berjumlah 16 orang! Bayangkan dengan banyaknya wisudawan Fakultas Hukum yang duduk tepat di sebelah kiri fakultas gue, maupun wisudawan dari Fakultas Ekonomi yang berada di sayap sebelah kanan barisan wisudawan. Ketika fakultas mereka disebutkan, tepuk tangan dan teriakan supporter dari belakang benar-benar meriah (apalagi FH yang rusuh banget supporter-nya). Bandingkan dengan fakultas gue yang cuma seuprit seperti garam di lautan. Kami, wisudawan FIB, sudah janjian akan ikutan heboh seperti wisudawan dari fakultas lainnya saat nama fakultas kami disebutkan, tapi apa daya, kekuatan tepuk tangan dan suara kami hanya seperti bisikan di ruangan sebesar itu. Jadinya malu sendiri, haha. Apalagi gue mendengar dari sebelah kiri, salah seorang wisudawan FH bergumam, “Anak sastra.” Gue dalam hati protes, woy, gue bukan anak sastra! tapi nguras energi banget di tengah wisuda harus ngejelasin kalau FIB bukan sastra saja.

Wisuda berjalan hikmat dan gue pribadi secara langsung jadi membandingkan dengan wisuda gue saat S-1 dulu. Hasil perbandingannya banyakan bagusnya atau jeleknya? Cukup gue dan orang tua gue saja yang tahu. Kalau yang penasaran, boleh hubungi gue lewat jalur komunikasi pribadi *macem serius aja, Neng* :p Salah satu yang berbeda adalah terdapat orkestra sebagai pengiring musik selama wisuda berlangsung dan orkestra beraksi tepat di belakang barisan FIB. Kalau pas di kampus yang dulu sih pakai keyboard doang, deh, kayaknya.

Akhirnya, selesai juga wisuda gue untuk kedua kalinya. Perasaan gue atas wisuda kali ini: biasa saja. Mungkin karena sudah pernah merasakan wisuda dan mengalami bagaimana-bulu-kuduk-merinding-saat-wisuda, maka di wisuda kali ini tidak terjadi. Mungkin juga karena wisuda kali ini tidak berbarengan dengan teman satu angkatan dan satu jurusan, jadinya gue agak merasa asing dengan lingkungannya. Mungkin juga karena susunan acara yang bikin gue mengernyit sepanjang wisuda, maka gue tidak merasakan wisuda yang sebenarnya *ups, ketahuan deh, jawaban dari paragraf gue sebelumnya* :p

Oh ya, yang paling penting di rangkaian acara ini adalah gunakanlah sepatu yang nyaman. Baik gladi resik maupun wisuda gue menggunakan kebaya Jawa, tetapi gue menggunakan wedges sebagai alas kaki. Memang jadi kurang kejawa-jawaan sih, karena harusnya pakai selop. Namun gue sudah mempelajari dari pengalaman orang-orang sebelumnya yang sudah wisuda di kampus gue ini, bahwa lebih baik menggunakan sepatu yang nyaman sebab Balairung, tempat wisuda di kampus gue, luas sekali dan di saat wisuda atau selepas wisuda lo akan sibuk menjelajahi sekitar Balairung untuk mendapat spot-spot foto yang terbaik, mencari orang tua dan teman lo, atau jalan ke parkiran.

Salah satu kejadian di wisuda gue yang berkesan adalah hadirnya sahabat S-1 gue, Devi. Dari jauh hari dia sudah mengatakan kalau dia mau datang ke wisuda gue. Ternyata Devi nggak bercanda, dia benar-benar datang padahal belum pernah ke kampus gue sebelumnya. Gue hanya memberi instruksi, “Lo turun di Stasiun Pondok Cina, terus lo masuk ke dalam kampus, jalan lurus aja, nggak jauh lo sampai tempatnya.” Berbekal arahan gue, dia nyampe aja gitu, Saudara-saudara! *tebar confetti* *padahal mah emang gampang rutenya, hihi* Yang sulit adalah, sinyal di sekitar Balairung untuk Mentari sangatlaaah minta ditendang 4192 kali *biar dramatis* Jadi, gue menelepon Devi nggak masuk-masuk. Whatsapp masih bisa, tapi untuk janji ketemuan di tempat seramai itu agak kesulitan kalau lewat media tulisan. Devi bilang dia di dekat posko kesehatan. Oke, gue tahu tempatnya. Gue segera ke sana. Tiba-tiba Devi bisa menelepon gue, “Citta, di mana?” Kok ada yang aneh... Suaranya dobel dan jelas sekali. Arahnya dari sebelah kiri, “Lah, Devi!” Kami berhamburan dan Devi memberikan bunga kepada gue. Saat itu Devi membawakan tiga tangkai krisan kuning dan sebatang mawar putih dalam satu buket bunga. Dia membawa bunga itu dari kosannya di Rawamangun sampai Depok. How sweet she is :’) Sampai-sampai di kereta ditanya ibu-ibu, “Mbak, dari cowok, ya?” Haha. Untung anak ini kepercayaan dirinya oke :p Devi ini emang salah satu sahabat paling manis yang gue punya, gimana nggak, dulu pas S-1 dia pernah bawain gue donat J-Co pas gue yudisium. Spesial dari dia untuk yudisium gue. Hiks :’) Semoga kebaikan lo akan diganti Allah berkali lipat, ya, Dev! Setelah ketemu Devi, kami berjalan menuju orang tua gue dan kami berfoto sampai tak ada habisnya, mulai dari Balairung, Rektorat, sampai Perpustakaan, haha. Kami juga sempat bertamasya di pinggir danau perpustakaan sambil makan Soto Bogor. Kenangan yang tak akan tergantikan :D

Tamu dari Rawamangun
Di saat sibuk berfoto, nggak disangka nggak dinyana, muncul Mbak Hilma, “Ini Citta?” Mungkin dia agak pangling karena sudah lama tidak bertemu, sekalinya bertemu dengan dandanan yang lain dari biasanya X)) Mbak Hilma datang membawakan setangkai mawar kuning. Terima kasih, Mbak Hilma! Kemudian kami berfoto-foto lagi menggunakan ponsel pintar Mbak Hilma yang kameranya yahud sekali :D Mbak Hilma tak bisa berlama-lama karena ada acara lain. Setelah itu, gue, Mbak Hilma, dan Mbak Mey pun berpisah. Kemudian gue dan Devi menghampiri orang tua gue yang sedang duduk di lobi Perpustakaan. Tak lama kami pulang. Usai sudah rangkaian kegiatan gue selama wisuda. Semoga pembaca yang sedang membaca ini dan statusnya belum lulus akan segera wisuda juga, ya! Kalau yang sudah pernah merasakan wisuda... Ya sudah, mari kita doakan bersama-sama untuk mereka yang belum mengecap indahnya wisuda :)

Terima kasih, kameranya Mbak Hilma! :p

Selasa, 03 Maret 2015

Kisah Citta Pascalulus (Ketiga): Tragedi Toga

Ketika daftar wisuda secara daring, calon wisudawan harus memilih ukuran toga sesuai ukuran badannya masing-masing. Ukuran toga tersedia dari S sampai XXL dengan tabel keterangan yang seingat gue mencakup panjang badan, lebar bahu, panjang lengan, dan lingkar pinggang. Dari awal membaca tabel itu, gue langsung berpikir untuk mengambil ukuran M. Setelah pikir lebih jauh, gue takut ukuran M nggak sesuai ukuran badan gue, sehingga gue segera mengambil meteran. Karena nggak pede mengukur sendiri, gue lari ke nyokap gue, “Bu, buat ukuran toga, mending S atau M? Kalau ukuran S blablabla, kalau ukuran M blablabla.” Lalu nyokap gue mengukur lebar bahu dan panjang lengan gue, “Ambil S aja, pas ini.” Oke, gue percaya sama nyokap untuk memilih ukuran S. Dalam hati gue sempat sebal sama tabel ukuran yang tersedia di laman wisuda daring karena tidak ada ukuran lingkar kepala, tapi ya sudah bismillah saja, semoga baik jubah maupun topi berukuran S itu bisa pas di badan dan kepala gue.

Untuk urusan ukuran semacam ini, gue nggak pernah puas dengan keputusan yang gue ambil. Jas almamater kampus gue pas S-1 agak kebesaran sedikit, kemudian gue kecilkan sesuai dengan ukuran badan gue saat itu (iye, saat itu gue masih setipis kertas). Yang itu tidak terlalu bermasalah. Masalahnya, ketika wisuda S-1, toga gue agak ajaib. Bukan di jubah toganya, tetapi di topi toganya. Padahal, saat itu setiap calon wisudawan wajib mengepas ukuran toga sesuai dengan contoh jubah dan topi toga yang disediakan oleh pihak fakultas. Kami dipersilakan mengepas toga di salah satu ruang akademik dan kami diperbolehkan mencoba semua toga yang ada dengan ukuran yang tentu berbeda-beda. Logikanya, setiap calon wisudawan tidak akan ada yang salah ukuran karena kami telah mencobanya. Apalagi saat itu gue mencoba toga bersama teman-teman, sehingga gue bisa menilai yang dikenakan oleh teman gue sudah pantas atau tidak, dan teman-teman gue juga bisa menilai yang gue kenakan. Setelah toga asli milik gue berada di tangan, gue cobalah toga itu beserta topinya. Ukuran jubah toga oke, tapi tidak dengan topinya. Kekecilan, cyiiin! Saat pengukuran jaket almamater S-2 pun sama menyebalkannya. Ketika pendaftaran ulang, gue mendapat kesempatan untuk mencoba semua ukuran jaket almamater. Saat itu kan pendaftaran ulang sendiri-sendiri, jadi gue nggak kenal siapapun. Namun saat mencoba gue bergumam, “Duh, ini kegedean gak, ya.” dan ada mbak-mbak sebelah gue yang juga sedang mencoba menimpali gumaman gue, “Kalau kegedean juga nanti bisa dikecilin,” lalu gue menjawab, “Ah, iya, ya, bisa dikecilin.”. Akhirnya, jaket almamater yang gue pilih berukuran L dengan harapan lebih baik kebesaran daripada kekecilan. Kalau kebesaran bisa dikecilkan, kalau dikecilkan tidak bisa dibesarkan. Lalu, bapak petugas yang memverifikasi meyakinkan ulang di depan gue, “Ukurannya L, ya,” dan dengan yakinnya gue jawab, “Ya.” Begitu di rumah, gue buka bungkusan jaket almamater gue. Yak, kebodohan terulang kembali. Ukuran L-nya besaaar sekali, pemirsa... Berbeda dengan yang gue coba di kampus. Mana jaket almamater gue di kampus yang ini kata nyokap gue nggak bisa dikecilkan karena akan memotong bagian-yang-manalah-yang-gue-ga-paham-karena-gue-ngga-pernah-menyentuhnya-lagi. Seriusan, gue ngga pernah menyentuh bahkan melihatnya lagi saat jaket almamater yang disebut-sebut “jakun” itu sampai di rumah. Terakhir di simpan di kamar nyokap gue dan gue ga mau ketemu lagi dengan jakun itu karena sakitnya tuh di sana, di salah ukuran T.T

Setelah solat Jumat, gue pergi ke tempat pengambilan wisuda yang terletak di sayap baru Balairung yang menghadap ke danau. Sampai sana suasananya sepi dan hanya ada dua orang calon wisudawan pascasarjana selain gue yang mengantri. Antrian calon wisudawan sarjana bahkan tidak ada. Gue melirik kertas yang dibawa ibu-ibu calon wisudawan yang mengantri di sebelah gue (antriannya duduk). Akhirnya gue berani membuka mulut dalam edisi sok kenal sok dekat, “Bu, maaf. Yang dibawa buat ambil toga apa saja, ya?” Kemudian ibu itu memperlihatkan kertasnya ke gue, “Ini, slip pembayaran dari bank sama bukti cetak pembayaran.” Nah, kan, bener. Kenapa dia bisa cetak bukti pembayaran, sedangkan gue tidak? Gue bilang ke ibu itu kalau gue tidak bisa cetak bukti pembayaran. “Mungkin password-nya kali, mbak? Banyak yang ga bisa masuk karena password-nya udah gak berlaku.” Gue yakin banget sebelum ujian pratesis gue sudah mengurus perpanjangan password, “Sudah saya perbarui, kok, Bu.” Ibu itu akhirnya memberi saran lain, “Coba urus di komputer sini, biasanya ada.” Gue sama ibu itu celingukan cari komputer yang tersedia di ruang pengambilan toga. Sampai akhirnya mata kami sama-sama menemukan sebuah meja ber-laptop di sebelah paling kanan ruangan dengan seorang petugas yang duduk di belakangnya, “Nah, itu dia!” Akhirnya gue berterima kasih pada ibu itu dan pamitan menuju ke sana. Gue mendekati mbak petugas dan langsung menyapa padahal mbaknya lagi makan nasi kotak, “Misi, Mbak. Maaf ganggu,” ujar gue sambil ngelirik makanan di kotaknya. Kepo, pengen tau makanannya apa. Gue lihat ada ayam gitu, sih, haha. “Oh ya, nggak pa-pa,” kata Si Mbak sambil sedikit kaget menyambut kedatangan gue yang mengganggu makan siangnya. Gue lihat wajah mbaknya, kok kayak kenal tapi gue lupa itu siapa, daripada nambah ke-SKSD-an, mending gabung SNSD *apa sih* Ya udah, daripada kelamaan mengingat siapa mbak itu, gue langsung pada pokok permasalahan, “Mbak, saya nggak bisa nge-print cetak bukti bayar.” Lalu mbak petugas menjawab, “Oh, di sini bisa.” Kemudian mbaknya nge-klik sana-sini, dan menanyakan NPM gue. Nggak lama setelah gue jawab, cetak bukti bayar gue sudah di-print-kan. Horay! Lumayan, menghemat tinta printer di rumah. Dih. Setelah itu, gue kembali mengantri sebentar dan mendapatkan undangan beserta sebungkus toga. Asyik! Jadi wisuda beneran! Nah, pas keluar ruangan, ketika hendak turun tangga, gue baru ingat siapa mbak yang membantu menyetak bukti bayar wisuda gue. Ternyata dia karyawan di tempat gue magang! Pantas saja kayak kenal, tapi yang membedakan adalah sekarang dia berjilbab. Gue magang kan tahun 2013, beda divisi juga sih sama dia, apalagi sekarang dia berjilbab, ya wajar kalau gue lupa. Gue pengen masuk lagi dan nyamperin mbak itu, tapi gue ada ketakutan salah orang. Haha. Kalau ternyata benar itu dia, ya sudah gue minta maaf lewat sini saja. Maafkan ya, Vero :D

Sampai mobil, gue mengecek kelengkapan toga yang terbungkus plastik. Pertama, gue mengecek jubahnya.

Two stripes, baby!

Pas gue lihat topinya... Ya ampun kenapa kecil sekali? T.T

Gue heran, kenapa gue nggak pernah bisa secara presisi mengukur toga dan jas/jaket almamater yang sesuai dengan anggota tubuh gue? Dari segi panjang, jubah toga gue kependekan, meski ukuran di badan sudah pas. Selain itu, topi toganya diameternya kekecilan di kepala gue. Memang sih, ada karet di belakangnya, tapi dari pengalaman wisuda yang lalu, gue dikatain nyokap gue kalau topi toga gue kayak kue ulang tahun X)) Nyokap pun punya mengalami hal yang sama saat wisuda sarjananya dulu. Jadi, nyokap gue nggak mau tragedi-topi-toga-mirip-kue-ulang-tahun terulang kembali. Akan tetapi, maaf, Bu, kali ini tragedi itu harus kita ulang kembali :D

Sampai rumah, gue ngomel-ngomel sendiri di depan nyokap gue. Beliau juga menyesal, kenapa toga gue kependekan dan topi toga gue kecil sekali, “Kenapa pas kamu ambil, nggak langsung dicoba?” Gue diam saja penuh kekecewaan pada diri sendiri. Untungnya, di bagian belakang topi masih ada karet sehingga topi toganya bisa didorong ke bawah sehingga nggak terlihat seperti kue ulang tahun banget. Nyokap pun akhirnya membuka salah satu bagian jahitan karet kemudian menjahitnya lagi dengan posisi karet yang lebih lebar sehingga karet bisa lebih ditarik dan kepala gue tidak pusing dengan kencangnya karet dengan posisi yang sebelumnya. Gue pun berpikiran untuk menyiasati sanggul gue saat wisuda nanti, yaitu cukup poni miring tanpa sasak dan posisi sanggul berada di bawah sehingga tidak bentrok dengan topi toga. Kembali dari pengalaman, sanggul gue pada wisuda S-1 lalu agak-agak maksa karena gue ingin seperti model sanggul yang gue temukan di majalah, yaitu dengan poni belah tengah. Hasilnya, topi toga gue semakin muncul ke atas. Yeah.
Kiri: Topi Kue Ulang Tahun Toga S-1; Kanan: Topi Kue Ulang Tahun Toga S-2

Pokoknya, besok-besok gue butuh saksi hidup untuk menemani gue mengukur hal-hal semacam itu. Mau nggak mau harus kuliah lagi supaya bisa merasakan jas/jaket almamater dan toga yang sesuai ukuran badan. Err... Gue nggak maksa, sih. Ya mungkin tiba-tiba dendam gue akan ketidakpasan-jas-almamater-dan-toga tersulut api, jadi gue harus menuntaskannya dengan kuliah lagi! HAHA *mau maksa siapa juga, Cit* -___-