Senin, 11 Juli 2016

Selamanya



Selamanya aku kira pada awalnya merupakan sebuah kata yang selalu bermakna positif.
Misalnya dalam kalimat berikut ini.

Aku mencintaimu selamanya.

Namun aku salah.  Aku telah melupakan kalimat:

Aku akan meninggalkanmu untuk selamanya.

Seperti pada malam itu, ia mengatakan kalimat yang hampir mirip dengan nada yakin di teras rumahku, “... selamanya.” yang kemudian aku lemparkan selembar tissue ke badannya.

Tuhan sedang baik kala itu. Motorikku lemah, hampir setiap hal yang aku lempar maupun tangkap tidak pernah kena sasaran, tapi tidak pada malam itu.

Wajahku panas. Dihiasi amarah yang membuncah.

.
.
.


“Kok nggak nulis blog lagi, Kak? Kan lagi sedih,” ujar seorang teman baik di kantor.

Ya, gue memang cenderung berkarya tatkala perasaan gue sedang tidak bahagia. Coba tilik prosa dan puisi gue, lebih dari tiga perempatnya adalah karya-karya yang tertuang dari rasa pahit dan juga getir.

Namun, yang ini berbeda. Jari-jemari seakan berat untuk membahas tentangnya. Mungkin karena semua yang berhubungan dengannya menimbulkan sakit dan membangkitkan trauma. Begitu kuat efeknya.

Hari ini, tepat dua puluh hari sejak kejadian itu terjadi, gue berani untuk mengangkat kepala dan menulis lagi. Meski yang akan gue beritahukan adalah hal sedangkal:

aku tidak pernah disakiti hingga patah hati sehebat ini.

Gambar diambil dari weheartit

8 Juli 2016