Senin, 31 Desember 2012

Akhir 2012




Kekosongan ini, akhirnya harus aku isi
Sebagai penanda aku pernah mendiami kekosongan ini

Tahun 2012 bisa disebut sebagai tahun yang “cukup aman” untuk gue, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya, dan mungkin beberapa tahun kemudian.
Alhamdulillah, tahun ini bisa gue lewati dengan baik, penuh suka cita meski tetap ada sedikit derita. Meninggalkan bekas-bekas luka yang gue sendiri tak tahu kapan bisa hilangnya. Tapi gue menganggap ini semua adalah proses, yang mungkin akan gue tertawakan jika usia gue sudah mencapai lima puluh tahun nanti.
Dua ribu dua belas mengantarkan gue kepada banyak pengalaman dan ilmu-ilmu baru. Teman. Sahabat. Cinta.
Klise memang.
Tapi semua hanya gue yang tahu. Hingga akhirnya tetap menciptakan harapan-harapan.
Tentu, gue menyimpan banyak harapan di tahun 2013. Harapan yang tidak lagi kosong, yang tidak lagi klise.
Terima kasih 2012, atas lambungannya yang tinggi sekaligus hempasannya yang dalam. Terima kasih.

Gambar diambil dari weheartit


Selasa, 04 Desember 2012

Dosa Sang Maestro


“Sebelah kanan ada Idris Sardi, lho!” seru teman gue.

Mana? Kita kan memang duduk di sebelah kanan. - batin gue dalam hati.

Begitu gue tengok ke kanan bawah, ah benar. Maestro itu sedang duduk ditemani salah seorang anggota keluarganya.

***

Kemarin, gue berangkat ke kampus untuk mengikuti salah satu mata kuliah reguler. Sampai di lobi fakultas, banyak orang yang memakai atribut pakaian daerah Sumatra. Gue pikir, oh mungkin sedang ada acara. Gue tidak terlalu banyak memusingkan hal itu dan bergegas menuju kelas. Setelah menunggu kira-kira lima belas menit, dosen tak kunjung datang. Gue dan teman-teman lalu berjalan menuju Gedung IX untuk mengetahui sedang ada acara apa yang berlangsung.

Di depan Auditorium Gedung IX ternyata sudah banyak sekumpulan orang yang mengantri untuk mengisi absen acara itu. Gue dan teman-teman memutuskan untuk mengisi absen dan masuk ke dalam Auditorium. Kami memilih barisan tempat duduk di sayap kanan. Ketika hendak duduk, di situlah terjadi percakapan yang menjadi ilustrasi pembuka dalam artikel ini.

Ya, acara tersebut ternyata merupakan acara Dies Natalis FIB UI yang ke-9 Windu. Dies Natalis kali ini bertajuk tentang Bumi Sriwijaya. Salah satu tamu yang turut diundang adalah Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Acara diawali dengan tarian daerah Palembang. Setelah itu, pembawa acara mulai membuka acara. Kemudian Idris Sardi dipanggil ke atas panggung untuk memainkan lagu Indonesia Raya, seluruh orang yang datang ke acara tersebut dipersilakan berdiri.

Untuk pertama kalinya gue mendengar langsung lagu Indonesia Raya dimainkan oleh Maestro biola Indonesia. Yang terjadi adalah bulu kuduk gue berdiri sepanjang lagu karena mengagumi gesekan biola beliau. Bahkan, dua teman yang berdiri di samping kanan dan kiri gue, mbak Heidy dan mbak Mamay, menitikkan air matanya. Gue jadi menyesal, mengapa saat itu gue tidak merekamnya. Namun alunan biola lagu Indonesia Raya tersebut masih berdendang di telinga gue hingga kini.


Setelah Indonesia Raya, beliau memainkan lagu Bagimu Negeri. Tidak mau mengulang penyesalan yang kedua kali, gue mengambil kamera dan segera merekamnya. Alhamdulillah, bisa merasakan dan mengabadikan keindahan kedua lagu itu.

Lagu selesai, Idris Sardi turun, kembali ke tempat ia duduk sedia kala. Tempat duduk beliau mungkin hanya berjarak tiga-empat meter dari tempat gue duduk, sangat dekat. Gue bisa melihat apa yang dia lakukan. Membuka-buka map, tapi gue tidak dapat melihat dengan jelas, map itu berisi apa.

Setelah sambutan-sambutan dari ketua panitia, dekan, dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, saat itulah gue baru mengerti apa isi map yang sedari tadi dibuka-buka oleh Idris Sardi. Ternyata map itu adalah kumpulan partitur lagu yang akan ia mainkan.

Idris Sardi dipanggil kembali ke atas panggung. Selagi tempat duduk diatur, ia berbicara di depan mikrofon. Beliau mengucapkan terima kasih karena sudah diundang ke acara itu.

“Saya bukan maestro, saya hanya pengamen,” ujarnya lirih.

Subhanallah, sosok yang berdiri di panggung itu ternyata merupakan maestro yang berbalut rasa rendah hati.

Kemudian beliau melanjutkan, “Saya berdosa, saya belum melakukan apa-apa untuk negeri ini.”

Seketika hati gue tertohok. Pemain biola sekelas Idris Sardi yang sudah mencetak banyak prestasi dan kontribusi untuk negara saja belum merasa memberikan apa-apa untuk Indonesia. Kalau begitu, apalah arti keberadaan gue yang hanya sebutir pasir di pantai?

Lalu ia mengaku bahwa dirinya sedang sakit, sambil menunjukkan tangan kirinya, “Saya bermain biola sudah dari kecil. Maafkan saya kalau nanti saya bermain buruk. Selain karena kesehatan, apabila permainan saya buruk karena saya juga belum sempat sound check, saya belum terbiasa dengan ruangan di sini.”

Setelah itu beliau menjelaskan akan bermain selama dua puluh enam menit, dengan urutan lagu yang tak bisa dipotong. Gue langsung terbelalak, DUA PULUH ENAM MENIT? Ini jelas akan menjadi sebuah pertunjukan mahal yang gue tonton secara cuma-cuma.

Permainan biola pun dimulai. Gue tidak mau kehilangan kesempatan untuk merekamnya melalui kamera digital dan juga kamera pemberian Allah, yaitu mata kepala gue sendiri.


Maestro berlilitkan sarung kehijauan tersebut sesekali duduk dan berdiri sambil menggesekkan biolanya. Tak lupa ditambah dengan ekspresi dan aksi ketika memasuki beberapa lagu tertentu. Sangat mengagumkan.

Pada kenyataannya, lagu yang dibawakan beliau berlangsung selama dua puluh delapan menit lamanya. Sayang sekali pada dua menit terakhir gue tidak bisa merekamnya karena kamera digital gue kehabisan memori. Tapi gue tetap puas sudah bisa merekam, mendengar, dan menyaksikannya langsung. Sekali lagi, alhamdulillah.

Setelah permainan selesai, ia kembal berdiri di depan mikrofon. Ia kembali meminta maaf atas permainan yang menurutnya buruk. Ia bercerita, sejak kecil ia sudah diawasi oleh orang tuanya dalam bermain biola. Setiap selepas subuh ia berlatih intonasi selama satu jam. Jika melakukan kesalahan telinga beliau disentil oleh orang tuanya, “Hingga waktu kecil, telinga saya itu congek,” ujarnya. Ternyata, hukuman dan usahanya dalam berlatih itulah yang menghasilkan sosok Idris Sardi seperti sekarang ini. Lalu ia kembali menuturkan bahwa beliau merasa berdosa karena belum memberikan apa-apa untuk negara, karena menurutnya, seniman seperti beliau tidak memiliki uang yang banyak, yang bisa ia lakukan hanyalah dengan bermain biola hingga akhir menutup mata. Siapa yang tidak tergetar mendengar pernyataan seperti itu?

Kemudian, dekan naik ke atas panggung. Dekan gue mengaku bahwa itulah kali pertama ia menitikkan air mata dalam mendengarkan sebuah lagu. Ia memanggil Idris Sardi dengan sebutan mas, “Sebulan yang lalu saya bertemu dengan beliau, ia minta dipanggil Mas Idris, bukan Bapak.” Lalu dekan gue mendata prestasi Sang Maestro, ternyata beliau sudah mendapatkan penghargaan FFI sebanyak sebelas kali ditambah sekitar empat penghargaan lain (maaf jika informasi ini salah, gue agak kesulitan untuk mengingatnya). Dekan pun memberikan sebuah lukisan diri Idris Sardi, “Untuk menemani Mas Idris berlatih di rumah.”

Hari itu gue sangat bersyukur karena bisa mendapatkan lebih daripada sebuah pertunjukan spetakuler. Gue akan selalu mengingat dan berusaha menebus “dosa” yang belum terbayarkan karena gue belum menyumbangkan apapun untuk Indonesia.

Terima kasih sudah menginspirasi, Idris Sardi.