Senin, 31 Desember 2012

Akhir 2012




Kekosongan ini, akhirnya harus aku isi
Sebagai penanda aku pernah mendiami kekosongan ini

Tahun 2012 bisa disebut sebagai tahun yang “cukup aman” untuk gue, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya, dan mungkin beberapa tahun kemudian.
Alhamdulillah, tahun ini bisa gue lewati dengan baik, penuh suka cita meski tetap ada sedikit derita. Meninggalkan bekas-bekas luka yang gue sendiri tak tahu kapan bisa hilangnya. Tapi gue menganggap ini semua adalah proses, yang mungkin akan gue tertawakan jika usia gue sudah mencapai lima puluh tahun nanti.
Dua ribu dua belas mengantarkan gue kepada banyak pengalaman dan ilmu-ilmu baru. Teman. Sahabat. Cinta.
Klise memang.
Tapi semua hanya gue yang tahu. Hingga akhirnya tetap menciptakan harapan-harapan.
Tentu, gue menyimpan banyak harapan di tahun 2013. Harapan yang tidak lagi kosong, yang tidak lagi klise.
Terima kasih 2012, atas lambungannya yang tinggi sekaligus hempasannya yang dalam. Terima kasih.

Gambar diambil dari weheartit


Selasa, 04 Desember 2012

Dosa Sang Maestro


“Sebelah kanan ada Idris Sardi, lho!” seru teman gue.

Mana? Kita kan memang duduk di sebelah kanan. - batin gue dalam hati.

Begitu gue tengok ke kanan bawah, ah benar. Maestro itu sedang duduk ditemani salah seorang anggota keluarganya.

***

Kemarin, gue berangkat ke kampus untuk mengikuti salah satu mata kuliah reguler. Sampai di lobi fakultas, banyak orang yang memakai atribut pakaian daerah Sumatra. Gue pikir, oh mungkin sedang ada acara. Gue tidak terlalu banyak memusingkan hal itu dan bergegas menuju kelas. Setelah menunggu kira-kira lima belas menit, dosen tak kunjung datang. Gue dan teman-teman lalu berjalan menuju Gedung IX untuk mengetahui sedang ada acara apa yang berlangsung.

Di depan Auditorium Gedung IX ternyata sudah banyak sekumpulan orang yang mengantri untuk mengisi absen acara itu. Gue dan teman-teman memutuskan untuk mengisi absen dan masuk ke dalam Auditorium. Kami memilih barisan tempat duduk di sayap kanan. Ketika hendak duduk, di situlah terjadi percakapan yang menjadi ilustrasi pembuka dalam artikel ini.

Ya, acara tersebut ternyata merupakan acara Dies Natalis FIB UI yang ke-9 Windu. Dies Natalis kali ini bertajuk tentang Bumi Sriwijaya. Salah satu tamu yang turut diundang adalah Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Acara diawali dengan tarian daerah Palembang. Setelah itu, pembawa acara mulai membuka acara. Kemudian Idris Sardi dipanggil ke atas panggung untuk memainkan lagu Indonesia Raya, seluruh orang yang datang ke acara tersebut dipersilakan berdiri.

Untuk pertama kalinya gue mendengar langsung lagu Indonesia Raya dimainkan oleh Maestro biola Indonesia. Yang terjadi adalah bulu kuduk gue berdiri sepanjang lagu karena mengagumi gesekan biola beliau. Bahkan, dua teman yang berdiri di samping kanan dan kiri gue, mbak Heidy dan mbak Mamay, menitikkan air matanya. Gue jadi menyesal, mengapa saat itu gue tidak merekamnya. Namun alunan biola lagu Indonesia Raya tersebut masih berdendang di telinga gue hingga kini.


Setelah Indonesia Raya, beliau memainkan lagu Bagimu Negeri. Tidak mau mengulang penyesalan yang kedua kali, gue mengambil kamera dan segera merekamnya. Alhamdulillah, bisa merasakan dan mengabadikan keindahan kedua lagu itu.

Lagu selesai, Idris Sardi turun, kembali ke tempat ia duduk sedia kala. Tempat duduk beliau mungkin hanya berjarak tiga-empat meter dari tempat gue duduk, sangat dekat. Gue bisa melihat apa yang dia lakukan. Membuka-buka map, tapi gue tidak dapat melihat dengan jelas, map itu berisi apa.

Setelah sambutan-sambutan dari ketua panitia, dekan, dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, saat itulah gue baru mengerti apa isi map yang sedari tadi dibuka-buka oleh Idris Sardi. Ternyata map itu adalah kumpulan partitur lagu yang akan ia mainkan.

Idris Sardi dipanggil kembali ke atas panggung. Selagi tempat duduk diatur, ia berbicara di depan mikrofon. Beliau mengucapkan terima kasih karena sudah diundang ke acara itu.

“Saya bukan maestro, saya hanya pengamen,” ujarnya lirih.

Subhanallah, sosok yang berdiri di panggung itu ternyata merupakan maestro yang berbalut rasa rendah hati.

Kemudian beliau melanjutkan, “Saya berdosa, saya belum melakukan apa-apa untuk negeri ini.”

Seketika hati gue tertohok. Pemain biola sekelas Idris Sardi yang sudah mencetak banyak prestasi dan kontribusi untuk negara saja belum merasa memberikan apa-apa untuk Indonesia. Kalau begitu, apalah arti keberadaan gue yang hanya sebutir pasir di pantai?

Lalu ia mengaku bahwa dirinya sedang sakit, sambil menunjukkan tangan kirinya, “Saya bermain biola sudah dari kecil. Maafkan saya kalau nanti saya bermain buruk. Selain karena kesehatan, apabila permainan saya buruk karena saya juga belum sempat sound check, saya belum terbiasa dengan ruangan di sini.”

Setelah itu beliau menjelaskan akan bermain selama dua puluh enam menit, dengan urutan lagu yang tak bisa dipotong. Gue langsung terbelalak, DUA PULUH ENAM MENIT? Ini jelas akan menjadi sebuah pertunjukan mahal yang gue tonton secara cuma-cuma.

Permainan biola pun dimulai. Gue tidak mau kehilangan kesempatan untuk merekamnya melalui kamera digital dan juga kamera pemberian Allah, yaitu mata kepala gue sendiri.


Maestro berlilitkan sarung kehijauan tersebut sesekali duduk dan berdiri sambil menggesekkan biolanya. Tak lupa ditambah dengan ekspresi dan aksi ketika memasuki beberapa lagu tertentu. Sangat mengagumkan.

Pada kenyataannya, lagu yang dibawakan beliau berlangsung selama dua puluh delapan menit lamanya. Sayang sekali pada dua menit terakhir gue tidak bisa merekamnya karena kamera digital gue kehabisan memori. Tapi gue tetap puas sudah bisa merekam, mendengar, dan menyaksikannya langsung. Sekali lagi, alhamdulillah.

Setelah permainan selesai, ia kembal berdiri di depan mikrofon. Ia kembali meminta maaf atas permainan yang menurutnya buruk. Ia bercerita, sejak kecil ia sudah diawasi oleh orang tuanya dalam bermain biola. Setiap selepas subuh ia berlatih intonasi selama satu jam. Jika melakukan kesalahan telinga beliau disentil oleh orang tuanya, “Hingga waktu kecil, telinga saya itu congek,” ujarnya. Ternyata, hukuman dan usahanya dalam berlatih itulah yang menghasilkan sosok Idris Sardi seperti sekarang ini. Lalu ia kembali menuturkan bahwa beliau merasa berdosa karena belum memberikan apa-apa untuk negara, karena menurutnya, seniman seperti beliau tidak memiliki uang yang banyak, yang bisa ia lakukan hanyalah dengan bermain biola hingga akhir menutup mata. Siapa yang tidak tergetar mendengar pernyataan seperti itu?

Kemudian, dekan naik ke atas panggung. Dekan gue mengaku bahwa itulah kali pertama ia menitikkan air mata dalam mendengarkan sebuah lagu. Ia memanggil Idris Sardi dengan sebutan mas, “Sebulan yang lalu saya bertemu dengan beliau, ia minta dipanggil Mas Idris, bukan Bapak.” Lalu dekan gue mendata prestasi Sang Maestro, ternyata beliau sudah mendapatkan penghargaan FFI sebanyak sebelas kali ditambah sekitar empat penghargaan lain (maaf jika informasi ini salah, gue agak kesulitan untuk mengingatnya). Dekan pun memberikan sebuah lukisan diri Idris Sardi, “Untuk menemani Mas Idris berlatih di rumah.”

Hari itu gue sangat bersyukur karena bisa mendapatkan lebih daripada sebuah pertunjukan spetakuler. Gue akan selalu mengingat dan berusaha menebus “dosa” yang belum terbayarkan karena gue belum menyumbangkan apapun untuk Indonesia.

Terima kasih sudah menginspirasi, Idris Sardi.


Kamis, 29 November 2012

Ketiduran


Gue benci ketiduran. Apalagi kalau ketidurannya di tengah-tengah waktu yang seharusnya bisa gue manfaatkan semaksimal mungkin.

Gambar diambil dari weheartit.

Seperti tadi pagi pukul 03.00, gue ketiduran di atas kasur sampai jam 07.00. Padahal saat itu gue sedang mengerjakan laporan bacaan, menyiapkan presentasi, dan merevisi tugas. Kuliah dimulai pukul 09.00. Itu artinya, gue hanya punya waktu dua jam untuk menuntaskan semua tugas.

Ketiduran kok bisa di atas kasur, Cit? Itu mah emang niat kali!

Iya sih, gue yang salah. Mengingat saat itu gue belum tidur sama sekali dan mata sudah teriak-teriak minta ditutup. Akhirnya gue memutuskan untuk tidur-tiduran di atas kasur, dengan asumsi, "Ah sebentar saja. "
Tiba-tiba gue dikejutkan oleh dering telepon genggam. Bokap menelepon. Sebelum mengangkatnya,  gue melihat jam, APAAAH JAM 7???

Gue langsung loncat dari atas kasur. Mengangkat telepon dan setengah berteriak, "Aduh Pa, aku ketiduran!"
Setelah itu gue langsung menyambar komputer jinjing dan bekerja secepat kilat. Mengerjakan tanpa berpikir. Masih sekitar 50% lagi yang harus gue kerjakan untuk presentasi dan laporan bacaan, sedangkan revisi tugas belum sama sekali gue kerjakan. Ingin rasanya menghentikan waktu saat itu juga.

Akhirnya presentasi dan laporan bacaan gue selesaikan tepat pukul 08.30 dan langsung disusul oleh revisi tugas. Artinya, sisa waktu setengah jam lagi untuk menyelesaikannya. Gue mengerjakan sambil menelan bubur bayi dengan air mineral yang tidak dipanaskan. Jangan khawatir, karena rasanya tetap enak. Silakan coba. Lo pikir promosi,Cit.

Jam 09.00, terpaksa pekerjaan gue selesaikan seacak-acakan mungkin. Gue bergegas mandi dan bersiap ke kampus. Tidak ada waktu lagi untuk mengecek tugas dan latihan presentasi. Banyak salah ketik sudah pasti. Biarlah menjadi misteri Illahi. Citta! Kok malah puisi-puisian!

Keluar dari kos jam 09.30. Gue menuju rental printer langganan, ternyata penuh. Tidak ambil pusing, gue lanjut jalan ke rental printer lain. Sudah menancapkan flashdisk, komputer rental tiba-tiba tidak berfungsi. Oke, harus pindah (menahan sabar). Gue berjalan lagi sepanjang Barel. Rental di ujung pun penuh. Oke, ini cobaan.

Gue langsung menuju kampus, berpikir untuk mencetak tugas di rental yang ada di fakultas saja. Beruntung, rental di kampus saat itu kosong melompong. Ternyata Allah sudah menunjukkan jalan yang terbaik untuk gue :')

Masuk kelas.. Lah! Ternyata teman-teman gue baru empat orang saja, yang seharusnya satu kelas berisikan tujuh mahasiswa (termasuk gue). Berarti, dua teman gue pun belum datang. Gue melihat dosennya.. Lah! Ternyata si dosen bule, yang merupakan suami dari dosen pengampu mata kuliah hari itu, dan dosen pengampu tidak masuk, sehingga digantikan oleh suaminya. Baiklah.

Untungnya presentasi belum dimulai. Gue urutan presentasi ke-tiga. Selagi dua teman gue presentasi, gue mencuri waktu untuk mengedit tayangan presentasi sebisa mungkin. Hingga pada waktunya tiba, gue presentasi. Gue melakukannya dengan tidak sadar. Menebak sebisa mungkin apa yang harus gue jelaskan secara improvisasi.

Maafkan saya, teman-teman.. Ini semua karena ketiduran :(

Presentasi gue pun berakhir. Presentasi individu paling berantakan sepanjang sejarah.

Itulah sebabnya mengapa gue sebenarnya lebih cenderung memilih begadang dibandingkan tidur terlebih dahulu ketika mengerjakan tugas: karena gue takut kebablasan!




Selasa, 06 November 2012

Salam, Rasa, dan Pertama


Hai, sudah lama tak berjumpa.
Diliputi senyuman, oh, seperti inilah rasanya meninggalkan ruang ini berbulan-bulan lamanya. Ups, lebih tepatnya, tiga bulan lamanya.
Apa yang berbeda? Ada yang hilang? Atau ada yang bertambah?
Perasaannya kurang lebih sama seperti saat meninggalkan rumah beberapa bulan. Lalu saat kembali lagi ke rumah, melihat sekeliling, mengamati setiap inci detail rumah.
Ada yang berbeda di situ. Entah udaranya entah apanya.
Dan aku tidak menganggapnya deja vu. Tapi ya seperti inilah.
Ada kisah yang ku tinggalkan di situ, hingga akhirnya ada kisah yang ku lewatkan begitu saja. Sibuk menengak-nengok dan mencari tahu.
Ada rasa canggung yang mengerjap. Bagai berkenalan dengan orang baru.
Ada sedikit malu, ketika di pikiranku berkecamuk pertanyaan, "Masih diterimakah aku?"
Ada penyesuaian, sesuai dengan kumpulan puzzle yang mulai terbentuk.
Lalu terkejut! Ketika ada yang masuk.
Semua rasanya... persis seperti pertama memasuki ruang ini kembali.

Oleh:
6 November 2011

Prosa ini dibuat dalam rangka penyambutan kepada diri sendiri di blog ini.

Minggu, 26 Agustus 2012

Ketika Waktu Menghimpit

Ilustrasi oleh shadow_ken

Siapa bilang waktu itu berjalan begitu cepat? Di beberapa momen, saya merasakan waktu seakan berjalan begitu lambat.. Bahkan berhenti.. Kita semua pernah mengalami saat itu, saat jam pelajaran di kelas, saat dimana kita menunggu jawaban dari seorang yang kita sukai untuk menerima cinta kita atau tidak, saat menunggu proses kelahiran, dan lain lain..
Di hari itu, waktu seakan berhenti berputar.. Ketika sebuah truk bermuatan kayu gelondongan muncul di depan mobil yang sedang saya kendarai..
Banyak yang bilang di depan ajal, di benak kita akan muncul memori-memori dari kejadian yang pernah kita alami dalam kehidupan.. Namun yang saya alami jauh berbeda.. Di benak saya tidak muncul memori-memori indah saat ayah saya mengajak saya memancing ikan berdua dengannya, saat hari pertama saya ke sekolah, saat saya menyatakan cinta ke seorang gadis yang saya cintai, atau saat merayakan kelulusan dengan teman-teman saya.. Yang saya lihat justru bayangan dari sesosok wanita yang saya cintai.. Dia..
Dia. Waktu bahkan tidak pernah berkenalan dengannya. Hanya saya dan dia. Kami tidak pernah menghabiskan waktu bersama namun ada satu hal yang saya dan dia tahu: kami saling mencinta. Tapi kami tidak pernah berargumen tentang derasnya waktu yang tak pernah menyatukan kita. Mungkin saja dengan penuh dendam dan perlahan, waktu akan membunuh perasaan saya dengannya. Dengan cara ini, ajal segera meraup gejolak rasa yang tidak tuntas terhadapnya.
Lantas saya tidak bisa berkata-kata. Biar Tuhan yang membawa perasaan ini padanya. Aku titipkan asa ini padaNya, agar dia tahu bahwa aku mencintainya meski raga ini sudah tiada.
Harapan dan impian untuk kembali kepadanya pun sirna seiring saya menutup mata, menyambut Sang Malaikat maut datang menjemput.. Dan segalanya berubah menjadi gelap..
Seakan cahaya datang kembali menerangi pandangan saya, saya pun tersadar sembari berkeringat.. Entah itu karena mimpi yang baru saya alami, atau bahkan karena selimut yang menutupi tubuh saya di siang hari ini.. Saya melirik jam digital yang ada di buffet yang terletak di samping kasur.. Hari ini hari minggu, tanggal 11, jam 11 siang.. tunggu sebentar.. Hari ini adalah tanggal sekarang, namun 3 jam lebih awal sebelum kecelakaan tadi.. Di tengah kebingungan saya, saya mendengar suara ribut di dapur..
Saya melihat diri saya 3 jam lalu sedang bertengkar dengan istri saya.. Sebuah pertengkaran verbal yang cukup sengit, dan hanya dikarenakan persoalan kecil menyangkut acara esok hari, yang rencananya kami akan mengunjungi orang tua saya.. Yang notabene tidak berhubungan baik dengan istri saya..
Saya ingin menghentikan pertengkaran mereka, tapi apa daya.. Bagi mereka suara saya hanyalah suara desiran angin.. Tak lebih dari bayangan..
Banyak hal yang saya sesali di dalam hidup ini.. Salah satunya, mungkin yang terbesar, adalah saat saya mengatakan, "Saya menyesal telah menikahimu! Kenapa saya tidak menikahi Lusi saja, orang yang saya cintai sebelum bertemu kamu!".. Jika saya tahu bahwa itu akan menjadi percakapan terakhir kami, tentu saya hanya akan mengungkapkan kalimat-kalimat cinta di depannya saat itu..
Saya melihat istri saya menangis.. Saya pun duduk disebelahnya sembari meminta maaf dan menungkapkan betapa menyesalnya saya telah mengatakan hal itu dan betapa saya mencintainya.. Mungkin ribuan kali.. Sampai tiba-tiba saya terkejut ketika ada seseorang yang tidak saya kenal masuk ke dalam rumah saya.. Bukan itu saja, yang membuat saya lebih terkejut adalah orang itu bisa melihat saya..
Dia mengatakan pada saya, "Apakah kamu menyesal?".. Tentu saja saya menjawab iya.. Lalu dia bertanya lagi pada saya, "Apa yang paling kamu inginkan di dunia ini?".. Saya menjawab, "Saya ingin kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan saya".. "Apakah kamu yakin kamu tidak akan melakukan kesalahan yang sama?", tanyanya lagi.. Saya optimis dan menjawab tidak.. Lalu dia bilang, "Kamu sadar kan, kehidupan di dunia? Bagaimana jika saya menjanjikan surga jika kamu merelakan kehidupan ini?".. Dan saya, dengan mudah menjawab, "Jika saya di surga dan dia di neraka, saya akan meminta Tuhan untuk mengirim saya ke neraka tempat dia berada.. Karena surga bukanlah sebuah surga tanpanya.."..
Orang itu tiba-tiba tersenyum dan mendekati saya.. Lalu dengan tangannya dia mendorong saya.. Saya yang sedang kebingungan pun di dorongnya lagi.. Di dorong lagi.. di dorong lagi.. dorong lagi.. dorong lagi............ "CLEAR!!!" terdengar seseorang menyeru.. "CLEAR!!" terdengar lagi, namun kali ini diikuti dengan suara bising, seperti suara mesin-mesin.. "CLEAR!!", sepintas saya melihat sebuah ruangan, seperti ruang emergency rumah sakit..
Setelah saya telusuri lagi.. Bukan. Ini bukan ruang emergency rumah sakit. Saya yakin saya sedang mengigau. Atau jangan-jangan, saya sudah berada di surga? Tidak mungkin neraka seindah ini.. dan hei, mana orang yang mendorong saya tadi? Mengapa ia tidak bertanggung jawab mendampingi saya?
Lambat laun, saya mulai menangkap seberkas cahaya. Saya tajamkan pandangan ini, pelan namun tetap tak kehilangan arah. Kelamaan saya melihat sebuah titik dan saya tidak ingin lepas dari titik itu. Saya ikuti titik itu sampai ke ujung. Ternyata kosong. Hilang.
Saya tertunduk. Tak terasa air mulai menetes ke pipi saya. “Apakah semudah ini saya menangis?” pikirku sembari menyeka ujung mata. Ternyata tidak. Air itu tidak jatuh dari mata saya. Kemudian saya teringat, seseorang pernah berkata, “Tidak mungkin air mata akan turun dari orang sepertimu.” Lalu, dari manakah air-air ini? Saya mengangkat kepala dan merasakan air-air itu terjun menghantam wajah saya.
Berarti.. Ini bukan surga. Ini bukan neraka. Saya tidak pernah mendengar cerita ada hujan di surga ataupun neraka. Ini pasti masih di dunia. Saya berteriak penuh suka cita. Saya bisa memohon maaf kepada istri saya dan mengatakan bahwa saya cinta. Tapi keriangan itu tak lama, mengingat saya tidak tahu saat ini saya sedang berada di dunia bagian mana. Saya mulai menggigiti ujung jari saya.
“TRING!” seketika ada yang jatuh di arah jam 10 tempat saya duduk. Saya ambil benda keemasan yang berkilau itu. Saya amati, ternyata sekeping uang logam. “Apalah artinya uang, Tuhan.. Saya mohon, jangan ajak saya berseloroh. Apalah artinya uang dalam keadaan seperti ini?” pekikku dalam hati.
“BRUK!” belum lagi mendapat jawaban dari Tuhan, tetiba jatuh setumpukan kertas tepat di depan kaki saya. Saya pungut dan dapat saya lihat jelas tulisan di atasnya, ternyata itu adalah surat-surat kontrak perusahaan. Saya tersenyum tipis, “Apalah artinya kekuasaan, Tuhan.. Saya mohon, jangan asal berkelakar. Apalah artinya kekuasaan dalam keadaan seperti ini?”
“SUDAH CUKUP, TUHAN! Jangan jatuhkan apa-apa lagi kepada saya. Saya sudah mengerti. Sudah sangat mengerti! Yang saya butuhkan sekarang hanyalah kunci. Kunci agar saya bisa meminta maaf dan dimaafkan. Tolong, Tuhan!”
Sedetik.. Dua detik.. “KLING!” jatuhlah kunci di hadapan saya. Namun saya mulai ragu.. Haruskah saya mengambil kunci ini atau lebih baik membiarkan diri saya terjebak dalam kesunyian ini?
Saya pun memilih untuk mengambil kunci tersebut.. dan tepat disaat saya mengambilnya, sebuah pintu besar yang saya rasa terbuat dari mahoni dan berlapis emas, muncul di hadapan saya.. Saya masukkan kunci itu.. Saya masuk ke ruangan yang sangat gelap, seakan cahaya tidak pernah hadir disitu.. Dan saat saya melangkah, ternyata ruangan tersebut tak beralas.. Saya pun jatuh ke dalam lubang kegelapan..
Tak berapa lama muncul cahaya-cahaya redup di sekeliling saya..
Dengan kondisi yang masih terjun bebas saya dapat melihat cahaya-cahaya tersebut membentuk gambar-gambar.. Tampaknya seperti sebuah presentasi video lewat proyektor yang biasa dilakukan di kantor.. Saya melihat diri saya, istri saya, dan.. seorang anak! Seorang anak yang kehadirannya sangat kami tunggu-tunggu! Saya mulai ingat belakangan ini istri saya sering mual dan cepat letih.. tapi... apakah ini sebuah petanda? Baru saya memikirkan tentang itu, seketika gambar-gambar di ruangan itu beterbangan dengan pola acak mengelilinya saya.. dan seketika sebuah cahaya yang sangat terang menenggelamkan saya..
Ketika saya tersadar dan membuka mata, saya mendapati diri saya sedang duduk di dalam mobil.. Mobil pribadi saya.. Saya melihat jam digital di dashboard mobil saya, tanggal 11, jam 2 siang lewat 15 menit.. 10 menit sebelum kecelakaan terjadi..
Saya tersentak. “Apa yang saya pikirkan di tengah-tengah jalanan ini?” gumamku. Saya sadar, saya tidak punya banyak waktu. Hanya tersisa 5 menit lagi. Lima menit yang bisa mengantarkan saya pada nyawa yang terlepas dari raga atau mungkin sebaliknya, dimana Tuhan masih mengizinkan saya dalam memperpanjang helaan nafas ini.
Saya memutuskan untuk meminggirkan mobil saya. Suara-suara di kepala saya pun mulai beradu, mengharuskan saya menghadapi kematian atau membelokkan garis takdir. Suara-suara ini rupanya tidak sadar bahwa saya sedang berpacu dengan waktu. Seharusnya mereka tahu bahwa tak ada lagi kesempatan untuk berdebat dan sebaiknya membantu saya dalam mengambil keputusan yang tak perlu hebat, namun tepat.
Lima menit berkurang semenit. Saya tak boleh mendengarkan suara-suara ini lagi. Saya akan mengikuti ke mana kaki ini akan melangkah. Kebetulan otak saya meresponnya dengan baik, menugaskan kaki saya untuk keluar dari dalam mobil kemudian berlari. Terus tanpa arah. Saya mulai kebingungan. Saya tidak tahu ke mana kaki ini berayun, ingin saya hentikan tapi tak ada kekuatan yang bisa membuatnya berhenti.
Saya terus menerus memaksa kaki ini untuk terhenti, namun tetap tak bisa. Arah kaki ini semakin acak tak beraturan. Saya pasrah. Kepasrahan membawa saya kepada lintasan raut istri dan orang tua saya. Bahkan raut calon anak saya tak terlihat di situ! Saya tidak terima dengan keadaan ini. Saya ingin pulang. Saya ingin pulang.
Enam puluh detik terlewatkan begitu saja atas kebodohan kaki ini melangkah entah ke mana. Saya menyesali perbuatan saya dalam mengambil tindakan. Seandainya saya menuruti suara-suara yang sedang berdebat 2 menit lalu. Toh, kalaupun saya mati sekarang, tak akan ada bedanya jika saya mati 50 tahun lagi. Semua orang akan mati. Mengapa saya takut menghadapi kematian? Ah, mengapa tiba-tiba saya bisa lupa. Tentu saja saya takut menghadapi kematian. Karena tugas saya di dunia ini belum selesai. Tuhan sudah berbaik hati memberikan saya nikmat detik per detik menjelang ajal. Namun tak ada lagi yang bisa saya perbaiki sekarang ini. Kaki saja tak mau berkompromi dengan saya. Kaki saja tak mau memaafkan saya..
Tak terasa, kaki ini semakin lambat lajunya. Saya berpikir, mungkin ini sudah saatnya malaikat menjemput. Memang, masih tersisa waktu 2,5 menit lagi. Siapa yang tahu jika malaikat datang dengan permisi terlebih dahulu, bahkan memperkenalkan dirinya hingga tersisa waktu 2 detik baru kemudian mencabut nyawaku.
Tapi dugaan saya salah. Bukannya melihat sosok malaikat, melainkan saya menangkap siluet istri saya berdiri di ujung sana, dengan senyumnya yang terkembang. Entah berapa jarak kami saat itu. Apapun keadaannya, saya sudah siap merentangkan tangan saya untuk segera memeluknya.
*
Teringat akan semua itu.. Saya jadi berpikir bahwa kehidupan saya sekarang patut saya syukuri.. Jika kita bicara tentang mensyukuri hidup, saya pernah dengar ada yang berbicara seperti ini di televisi, "Orang yang tidak punya sepeda motor ingin punya mobil.. Sementara yang punya sepeda ingin punya sepeda motor.. Yang jalan kaki ingin punya sepeda.. dan di tempat lain, yang tidak punya kaki ingin berjalan..".. Jika kita turuti, kemauan manusia tidak ada batasnya.. Mulai dari ingin mengelilingi dunia, menyelam ke dasar laut, terbang di angkasa, sampai menginjakkan kaki di bulan.. Mungkin seterusnya manusia ingin menjelajahin alam semesta ini..
Saya percaya bahwa kemungkinan itu memang tak terbatas, namun ada hal yang perlu kita pertahankan daripada kita buang dan menggantinya dengan sesuatu yang baru.. Hal-hal yang membuat kita terinspirasi akan hal yang lebih baik.. dan kadang yang baru tidak selalu lebih baik.. Beberapa misteri sebaiknya tetap menjadi misteri untuk mempertahankan sesuatu dalam diri kita yang disebut dengan "keingintahuan".. Karena jika kita mengetahui semua hal, maka tidak ada lagi misteri.. Tidak ada lagi hal yang membuat kita ingin terus belajar..
Yang ingin saya katakan adalah, saya tahu ada jalan dan ada cara untuk membuat hidup saya lebih baik.. Mobil yang lebih baik, rumah yang lebih baik, pekerjaan yang lebih baik.. bahkan.. jodoh yang lebih baik.. Tapi.. biarlah semua itu menjadi misteri kehidupan dan mengalir apa adanya mengikuti arus waktu.. Saya tidak ingin tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan saya jika saya lebih memilih wanita lain untuk menjadi istri saya.. Saya lebih memilih berpegang erat pada suatu keyakinan, yaitu tumbuh tua bersamanya, sampai usia lanjut, dan mati bersama sembari bergenggaman tangan dengan erat.. Hal itulah yang saya impikan dan menjadi motivasi hidup saya sekarang..
**
Bekasi - Tangerang, 2 Agustus 2012, 2:49 AM


N.B.:
Cerpen  di atas merupakan kolaborasi gue dengan seorang teman, shadow_ken. Dikerjakan pada sebuah malam tanpa rencana sebelumnya. Ide cerita berawal dari  shadow_ken  (paragraf-paragraf berwarna hitam) dan dilanjutkan oleh gue (paragraf-paragraf berwarna cokelat tua). Oh, satu lagi. Ilustrasi di atas merupakan karya  shadow_ken, yang sejatinya merupakan seorang Mangaka. Bagi yang mau order gambar, boleh lho pesan ke dia.. Nih Rief, gue bantuin promosi :p Kalau di antara Anda ada yang mau order hatinya juga boleh, karena yang gue dengar-dengar sih dia sedang sibuk mencari jodoh. Langsung hubungi orangnya aja ya… *kabur

Kamis, 16 Agustus 2012

Liburan Seru: Klaten - Jogja

Hari ke-4 di Jogja, gue dan nyokap diajak pakde berjalan-jalan ke Klaten. Tujuan pertama adalah mengunjungi Yoga Art Design, yaitu sebuah toko yang menjual lurik. Bagi yang belum mengetahui apa itu lurik, lurik adalah kain tenun khas Jawa yang memiliki motif garis-garis. Di toko ini terhampar berbagai macam warna lurik. Selain menjual kain, toko ini juga menjual pakaian jadi dan juga bantal-bantal berbahan dasar lurik. Lurik yang biasa gue temui adalah lurik yang teksturnya kasar, namun tidak untuk kain lurik di Yoga Art Design, karena lurik yang mereka produksi adalah lurik bertekstur halus dan nyaman untuk dikenakan. Nyokap membelikan gue sebuah kain lurik berwarna hijau muda. Terima kasih, ibu…

Gue diantara lurik-lurik
Tujuan selanjutnya adalah mengunjungi Galeri Kebaya Jakajeky. Galeri ini merupakan produsen kebaya yang memproduksi kebaya berpayet secara massal dengan harga yang terjangkau. Kalau nggak percaya, coba deh, main ke Klaten dan mampir ke sana. Aduh, promosi gini gue jadinya, dibayar juga nggak, haha. Di Galeri Kebaya Jakajeky ini, terdapat larangan untuk mengambil foto. Sebenarnya sebelum membaca larangan itu, gue sudah sempat jeprat-jepret beberapa situasi di sana sebagai dokumentasi perjalanan, tetapi untuk menghormati larangan tersebut, gue tidak akan memasukkan foto mereka di blog ini atau media internet yang lain. Maaf ya buat yang punya Jakajeky, gue ngepromosiinnya jadi setengah-setengah gini kan :p

Setelah puas bermain-main dengan hal-hal yang berhubungan dengan fashion, kami melanjutkan perjalanan ke toko yang menjual berbagai macam keripik. Kata bude gue, di Klaten ini terdapat sentra keripik, tetapi karena bude gue lupa tempatnya, kami hanya mampir ke sebuah toko keripik kecil yang memiliki merek dagang Ibu Mangun (kalau nggak salah, gue agak lupa, haha). Yang menjadi ciri khas dari toko keripik Ibu Mangun ini adalah keripik paru. Di sana kami memborong berbagai macam keripik untuk dikonsumsi sendiri maupun oleh-oleh. Karena sudah siang dan lapar, gue, tante, dan sepupu gue mencicipi tester keripik yang memang disediakan untuk pengunjung secara ganas. Gue sampai ketawa-ketawa sendiri melihat kelakuan kami, tentu saja sambil terus mengunyah tester di sana..

Setelah puas berbelanja dan “menyicipi” tester, kami minta kepada penjaga toko untuk melihat proses pembuatan keripik paru yang kebetulan terletak di belakang toko. Gue langsung teringat ketika gue dulu kuliah S-1, gue pernah pergi ke sentra keripik tempe di Sanan, Malang. Pemandangan di pabrik kecil keripik paru ini juga hampir mirip seperti di Sanan, yaitu pabrik keripik dengan skala Usaha Kecil Menengah (UKM). Memori-memori gue jadi tersentak kembali ketika melihat pabrik di Klaten ini.. Betapa sesungguhnya berkuliah di jurusan Agribisnis sangat menyenangkan! :D
Mesin pemotong paru
Proses pembumbuan keripik paru
Proses penggorengan keripik paru
Berakhirlah jalan-jalan ke Klaten. Sepulang dari Klaten, gue dan nyokap mampir mengunjungi rumah pakde gue yang satu lagi yang terletak di samping Monumen Jogja Kembali (Monjali). Pakde gue ini pecinta kucing, dan ketika gue ke sana, terdapat seekor anak kucing yang nakal dan lincahnya nggak karuan! Akhirnya gue lebih banyak menghabiskan waktu di teras rumah pakde gue. Jadi kayak sombong kan gue jadinya. Gimana lagi dong, salah sendiri pakde-pakde gue pada memelihara kucing :( Untungnya sih keluarga besar gue rata-rata sudah memahami bahwa gue takut banget kalau ketemu sama kucing, jadi (semoga saja) mereka memaklumi perilaku gue. Maaf, ya Pakde..

Malamnya, gue berkesempatan untuk menyaksikan Jogja Fashion Week 2012 (JFW 2012) yang diselenggarakan di Jogja Expo Center. Saat itu adalah hari ke-4 diselenggarakannya JFW 2012. Berhubung pakde gue adalah desainer senior di Jogjakarta, maka gue dan keluarga mendapatkan tempat duduk untuk tamu undangan. Jarak tempat duduk yang gue duduki dengan panggung catwalk sangatlah dekat, hanya sekitar 90 cm saja. Jadi, gue bisa melihat lenggokan peragawati dengan mata kepala sendiri secara dekat, namun sayangnya, malam itu tidak ada satupun peragawan yang tampil, maka gue nggak bisa menyegarkan mata deh :D
Pakde Goet Poespo memberikan karangan bunga kepada para desainer 
Pakde Goet Poespo berfoto bersama desainer di JFW 2012
Salah satu karya desainer di panggung JFW 2012
Keesokan harinya merupakan hari kepulangan gue ke Bekasi. Merasa belum puas kalau ke Jogja belum ke Malioboro, maka pagi itu gue dan nyokap ditemani tante pergi ke sana. Sebelumnya, kami pergi terlebih dahulu ke Pasar Beringharjo untuk membelikan beberapa titipan bude gue. Setelah selesai membelikan titipan, nyokap mengajak ke salah satu gerai makanan yang berada di dalam pasar. Gue yang saat itu sebenarnya tidak begitu nafsu untuk jajan, merasa terheran-heran mengapa nyokap memaksa gue untuk ke gerai itu. Ternyata, di gerai makanan itu terdapat es campur yang menjadi langgan sejak nyokap tinggal di Jogja. Es campur ini terdiri atas cincau dan kelapa muda serta sirup merah yang rasanya gurih kemanisan (sirup inilah yang menjadi kekhasan dari es campur tersebut). Yang tambah bikin mengejutkan adalah ketika nyokap hendak membayar tiga gelas es campur, nyokap bertanya “Berapa pak?” dan penjual menjawab “Rp 6.000”. Jadi… satu gelas es campur harganya hanya Rp 2.000 saja SAUDARA-SAUDARA! Kalau di sekitar rumah gue Rp 2.000 cuma dapet es batunya aja kali…
Es Campur di Pasar Beringharjo
Ini dia gerainya
Oh ya, karena gue tipe manusia yang tenggorokannya sensitif sama es-es jalanan, setelah minum es tersebut, gue sukses flu berat selama dua minggu lamanya. Sebenarnya gue tidak hanya menyalahkan es itu, tetapi memang keadaan tubuh selama liburan yang semakin menurun ditambah lagi dengan lingkungan keluarga gue mulai dari bokap, sepupu, sampai keponakan yang juga terserang flu berat. Bahkan malam sebelum kepulangan gue ke Bekasi, Nadif yang saat itu sudah terlebih dahulu flu, sempat mengeluarkan nafasnya dari dalam mulut ketika duduk di sebelah gue, “Haaah.. Haaah.. Nih, aku sebarin virusnya.” Makasih lho Nadif, aku jadi beneran flu gara-gara disebarin virus sama kamu >.<

Oke, cukup intermezzo mengenai flunya.. Dari Beringharjo, kami melanjutkan perjalanan ke sepanjang Malioboro. Tujuan gue ke Malioboro tentu ada misi khusus yaitu mencari suatu barang-yang-tak-bisa-gue-ceritakan-di-sini (sok rahasia :p). Berhubung saat itu adalah hari libur sekolah, maka sepanjang pelataran Malioboro penuh sekali dengan orang. Perjuangan menerobos kerumunan orang-orang di Malioboro terbayarkan setelah mendapat beberapa barang yang dibutuhkan.

Di Malioboro, gue sempat membeli buah ciplukan. Pasti di antara Anda ada yang kurang familier dengan buah ini. Buah ini bentuknya bulat kecil berwarna hijau muda. Rasanya manis, kadang manis keasaman. Satu ikat harganya Rp 3.000. Buah ciplukan diakui nyokap gue sebagai jajanan nyokap di kala beliau SD, saat itu harga buah ciplukan masih satu sen per ikatnya.. Setiap ke Jogja, gue pasti menyempatkan diri untuk membeli buah ini, karena sangat sulit menemukan buah ini di Jabodetabek.
Buah Ciplukan
Perjalanan di Malioboro menutup rangkaian liburan gue kali ini. Malamnya, gue sekeluarga di jemput travel menuju ke Bekasi. Sempat terkena macet di jalan, hingga menghabiskan perjalanan Jogja-Bekasi 19 jam lamanya. Meski lelah, semua kisah dalam liburan kali ini membawa kepuasan tersendiri. Empat bulan perkuliahan terbayarkan oleh sepuluh hari liburan yang menyenangkan!

Maka, berakhirlah artikel-artikel liburan gue di pertengahan tahun ini. Bagi yang sudah bosan dengan cerita-cerita ini, selamat ya, sudah selesai nih kisah perjalanan gue :p

Sabtu, 11 Agustus 2012

Liburan Seru: Sangam House Jogjakarta

Jika Anda mudah tergoda oleh makanan India, terlebih di bulan puasa, gue sarankan untuk tidak melanjutkan membaca artikel ini :p


Malam hari ke-3 di Jogja, gue sekeluarga diajak Pakde gue makan malam di sebuah restoran India yang bernama Sangam House. Sebelumnya gue sudah pernah melihat restoran ini ketika diliput dalam sebuah acara televisi. Ketika sampai di sana, kami di sambut oleh pelayan yang wajahnya seperti orang India (mungkin saja dia memang keturunan India) dan dari halaman depan kita sudah dapat melihat suasana India bahkan dari pintu masuknya sekalipun.

Masuk ke dalam, ternyata oh ternyata, bagian depan Sangam House ini merupakan butik yang menjual kain-kain, aksesoris, sampai peralatan rumah tangga bertema India. Sedangkan untuk restorannya sendiri, terletak di bagian belakang.

Pakde gue sebelumnya sudah memesan tempat dan makanan, sehingga kami langsung dibawa ke sebuah ruangan yang sudah mereka tata mejanya menjadi meja besar. Setelah mengambil tempat duduk masing-masing, pelayan langsung menyuguhkan Papadum. Papadum ini merupakan snack pembuka yang menurut gue bentuk dan rasanya mirip-mirip kerupuk Opak (ingat Keluarga Cemara? :p), namun yang berbeda adalah cara makannya yang dicelupkan ke dalam kuah berwarna hijau dengan rasa mint segar dan sedikit asam, yang belakangan gue tahu bernama kuah Pani. Untuk Papadum, bisa gue beri nilai 3 dari 5.
Papadum (Rp 10.500) - Kuah Pani
Seketika makanan berikutnya datang, yaitu Maharani Soup. Porsinya memang tidak banyak, justru menurut gue cukup, karena ini merupakan makanan pembuka. Sup ini terdiri atas wortel dan entah dedaunan apa. Rasanya pedas keasaman. Nilai untuk makanan ini 2,5 dari 5.
Maharani Soup (Rp 16.500)
Setelah sup habis, pelayan mengantarkan makanan-makanan utama. Makanan yang pertama sampai ke meja adalah Plain Naan, dimana jenis makanan ini cukup membuat mata gue terbelalak, karena mirip seperti Taco (roti Meksiko) yang nyokap gue sering buat di rumah. Karena sudah biasa makan, gue nggak akan memberikan nilai apapun untuk makanan ini *curang
Plain Naan (Rp 6.000)
Makanan selanjutnya adalah Butter Chicken yang turut disajikan bersama salad dan kuah Pani. Butter Chicken ini merupakan fillet ayam yang dimasak menggunakan rempah-rempah. Gue nggak terlalu suka. Nilainya 1,5 dari 5.
Butter Chicken (Rp 43.000)
Nah.. Karena gue adalah seorang pecinta keju, maka Palak Paneer menjadi salah satu makanan kesukaan gue di sini. Palak Paneer merupakan keju India yang dimasak dengan saus bayam. Tapi jangan berharap rasa kejunya asin, ya. Sebab menurut gue rasa keju ini hambar tapi sensasinya berbeda. Wajib dicoba! Nilainya 3,5 dari 5.
Palak Paneer (Rp 32.000)
Terdapat dua macam nasi yang kami pesan, yakni Java Rice dan Jeera Rice. Java Rice merupakan nasi biasa seperti yang orang Indonesia biasa makan, sedangkan Jeera Rice adalah nasi khas India yang dicampur dengan mentega dan jinten. Jika kita teliti, bentuk dari kedua nasi ini berbeda lho.. Jeera rice bentuknya lebih panjang dan berujung lancip dibandingkan dengan nasi Indonesia. Nilai untuk Jeera Rice adalah 3 dari 5, sedangkan Java Rice nggak usah dinilai, haha!
Java Rice (Rp 5.500)
Jeera Rice (Rp 21.000)
Berikutnya adalah Prawn Goa Vindaloo yang menurut gue salah satu juara di sini. Udang dengan rasa asam pedas yang konon katanya dimasak dengan tomat dan bumbu-bumbu. Nilai untuk makanan ini adalah 4 dari 5.
Prawn Goa Vindaloo (Rp 47.000)
Setelah udang, sajian yang tidak kalah juara adalah Madras Mutton Curry. Makanan ini merupakan kari kambing muda yang dimasak dengan kelapa dan wijen. Nilainya adalah 4 dari 5. Gue suka sekali dengan Madras Mutton Curry ini. Sangat gue rekomendasikan!
Madras Mutton Curry (Rp 32.000)
Makanan selanjutnya adalah Chicken Tandoori yang rupanya sama seperti Butter Chicken karena disajikan bersama salad dan kuah Pani. Chicken Tandoori ini adalah potongan paha atas beserta paha bawah ayam. Warnanya merah menyala, entah dimasak dengan bumbu apa. Nilainya 2  dari 5. Entah mengapa, menurut gue makanan berbahan dasar ayam di restoran ini kurang begitu enak.
Chicken Tandoori (Rp 32.000)
Chapati ini mirip dengan Plain Naan namun lebih tipis dan renyah. Berbeda dengan Plain Naan, Chapati ini ada sensasi rasa gosongnya. Nilai untuk makanan ini adalah 3,5 dari 5.
Chapati (Rp 6.000)
Puas dengan rupa-rupa makanan utama India, selanjutnya kami memesan makanan penutup. Makanan penutup adalah Kulfi, yaitu es krim berbahan dasar susu, almond, dan pistaccio. Yang menarik adalah es krim ini diwadahi oleh pot tembikar berukuran kecil dan es krimnya terasa keras ketika disendoki karena terlalu beku, padahal sebenarnya tekstur es krim tersebut lembut. Saat itu Nadif tidak menghabiskan Kulfi-nya karena sedang pilek, sehingga Kulfi miliknya dihibahkan kepada gue. Tidak tanggung-tanggung, gue mendapatkan satu pot kulfi lagi dari Pakde gue. Merasa berlebih, gue sumbangkan satu pot tersebut kepada Rangga, sepupu gue. Nilai untuk Kulfi adalah 5 dari 5. Hingga sekarang gue masih kangen dengan rasa Kulfi ini, semoga lain kali bisa merasakannya lagi :9
Kulfi (Rp 15.000)
Setelah belum kenyang dengan semua makanan yang dipesan, gue berjalan-jalan ke seluruh ruangan di Sangam House. Restoran ini memang tidak terlalu besar. Ruangan untuk makan terdiri atas empat ruangan yang berwarna kuning, biru, merah, dan warna yang terakhir ini gue lupa, kalau tidak salah sih, oranye.
Keluarga gue dan ruangan makan berwarna kuning
Main ke ruangan biru aah!
Salah satu lukisan yang tergantung di Sangam House 
Semacam lampion, penghias di langit-langit restoran
Terima kasih pakde Goet atas makan malam Indianya.. Semoga suatu saat nanti keponakanmu ini bisa makan makanan India di negara asalnya :)

Pulang dari Sangam House, di mobil, Shafa bercerita tentang pengalamannya ke rumah hantu. Posisi gue saat itu sedang duduk bersama Nadif di jok paling belakang. Gue melihat mata Nadif sudah mulai terpejam. Gue antusias mendengar cerita Shafa dan memancingnya dengan banyak pertanyaan seputar rumah hantu yang ia datangi tempo hari. Tiba-tiba Nadif terbangun dan merekatkan kedua tangan ke kupingnya, “Aaa.. Aku nggak mau dengar. Aku nggak mau dengar!” Gue melirik Nadif, senyum sebentar, namun tidak terlalu gue hiraukan karena ingin terus mendengarkan cerita Shafa. Sebenarnya ada perasaan ingin menggoda Nadif juga sih..<- bibi tak tahu diri

Cerita Shafa semakin lama (mungkin) menurut Nadif semakin seram (kalau gue sih ketawa-ketawa aja dengarnya), tak terasa air mata Nadif mulai turun, “Udaaaah! Udaaah!” ujarnya sambil terisak. Gue memeluk Nadif, “Iya udah udah. Nggak apa-apa kok.” Eh Shafa malah semakin melanjutkan ceritanya dan tangisan Nadif semakin menjadi-jadi. Huaaa.. gue yang jadi bingung. Untungnya mobil sudah sampai di depan rumah bude gue. Setelah orang-orang di jok tengah turun, Nadif segera turun dari mobil dan segera loncat ke dalam pelukan Shafa. Di sini gue melihat pemandangan yang menggelikan saat Shafa berinisiatif menggendong Nadif masuk ke dalam rumah! Gimana gue nggak mau geli, Shafa kan masih kelas 2 SMA dan Nadif sudah kelas 5 SD, kenapa pakai acara gendong-gendongan. Hahaha. Hubungan persepupuan yang cute sekali :D
Nadif (masih terisak), digendong oleh Shafa
Nantikan sambungan cerita liburan gue berikutnya ya :)

(Bersambung ke artikel berikutnya)…