Senin, 20 Mei 2013

Lo Citta, Kan?



Hari Minggu kemarin gue pergi ke resepsi pernikahan sahabat. Kedua mempelai adalah sahabat gue, yakni Harris dan Mpeb. Kami tidak pernah sekelas, namun semasa SMA kami tergabung dalam beberapa organisasi ekstrakurikuler di sekolah sehingga hubungan kami sudah selayaknya teman dekat. Di luar kegiatan sekolah, dulu kami sering bepergian ke luar kota menggunakan motor bersama sahabat-sahabat lainnya. Saat itu jumlah perempuannya hanya tiga sampai empat orang, sedangkan jumlah laki-lakinya bisa mencapai enam sampai delapan orang. Ya, jumlah perempuannya hanya setengah dari jumlah laki-laki. Persahabatan kami saat itu sangat erat dan diwarnai oleh canda tawa, kerja sama, konflik, dan cinta. Tak jarang di antara kami yang terlibat dalam rasa suka, termasuk Harris dan Mpeb. Gue pun menjadi saksi bagaimana awal mereka saling jatuh cinta hingga berakhir di pelaminan kemarin itu.

Selamat berbahagia untuk Harris dan Mpeb, semoga menjadi keluarga yang penuh rahmat.

Pernikahan sahabat adalah salah satu agenda yang tidak ingin gue lewatkan. Sebisa mungkin gue akan menghadirinya. Alhamdulillah kemarin gue berkesempatan untuk menghadiri pernikahan mereka. Gue pergi bersama Tia, teman SD sekaligus teman SMA yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah gue. Bisa dibilang perjalanan kami ke lokasi resepsi pernikahan adalah sebuah perjuangan karena letaknya yang cukup jauh dari rumah kami. Atas antisipasi waktu, beruntung kami datang cukup tepat waktu ke acara. Saat hendak menuliskan nama di buku tamu, gue melihat segerombolan siluet-siluet (karena gue tidak memakai kacamata) yang gue kenal. Benar saja, ketika salah seorang dari mereka membalikkan badan, Tia menyapa mereka, “Desti!” dari jarak kira-kira lima meter, Desti pun berseru, “Tisya (Tia dipanggil Tisya ketika semasa SMA), Citta!” Gue pun tersenyum ke arah Desti dan bergumam dalam hati, Alhamdulillah Desti masih ingat gue.
Ya, gue terkadang suka agak sangsi ketika akan bertemu dengan kawan-kawan lama. Apakah mereka masih ingat gue dan apabila mereka lupa sama gue, apa yang harus gue lakukan. Seperti itulah prasangka yang muncul di dalam benak gue. Tapi ternyata anggapan gue salah, karena hampir semua yang gue temui saat resepsi pernikahan Harris dan Mpeb kemarin, mereka masih ingat sama gue, kecuali yang memang gue sama sekali nggak kenal ketika bersekolah dulu. Ketika berjabat tangan, gue usahakan menyebut nama mereka untuk menunjukkan bahwa gue tidak asal salaman dan masih ingat dengan mereka. Ternyata sama halnya dengan mereka, ketika mereka menyebut nama gue “Citta..” gue langsung nyess, alhamdulillah, dia masih ingat sama gue.

Dapat dikatakan teman-teman SMA yang mereka undang sebagian besar tidak pernah satu kelas dengan gue. Kalaupun ada, mereka bukan teman-teman dekat gue. Sedangkan anggota geng touring tetap yang gue sebutkan di atas tadi, hanya gue seorang yang datang (gue katakan anggota tetap karena terkadang ada teman-teman yang tidak setiap perjalanan ikut). Salah seorang teman yang pernah mengikuti perjalanan, Oos, datang agak belakangan. Ia menjabat tangan kami yang saat itu sedang berkumpul dalam satu lingkaran. Saat menjabat tangan gue, secara sengaja gue melontarkan pertanyaan, “Emang lo masih ingat sama gue?” sontak ia tertawa, “Masih ingat dong, Citta! Ini kan teman gue..”  Gue pun lega, padahal pertemanan kami tidak terlalu akrab tetapi ia masih mengingat gue.

Selepas acara foto bersama, gue turun dari pelaminan. Tak lama salah seorang teman menyapa, “Citta!”. Gue langsung menyalaminya dan ia berkata, “Citta pasti lupa deh sama gue..” Gue menjawab, “Nggak mungkin lupa, Novieta kan?” Ia pun terheran, ternyata hal tersebut di luar ekspektasinya yang mengira gue lupa dengannya. Ia tertawa dan senang mengetahui gue masih mengingat namanya. Sebenarnya gue juga agak heran, kenapa memori gue bisa sehebat itu untuk spontan dan tepat menyebut namanya, karena kami buka teman yang sangat dekat, meski kami pernah satu kelas ketika kelas XI. Ternyata Allah masih menganugerahi otak gue untuk mengingat teman-teman lama meskipun bukan teman dekat.

Dari pengalaman yang gue ceritakan tersebut, gue tersadar bahwa betapa pentingnya mengingat nama dan diri seseorang. Dengan begitu, kita akan lebih merasa dihargai dan menghargai. Bukan berarti ketika tidak mengingat seseorang lantas kita tidak menghargai mereka, karena gue yakin usia terus bertambah dan memori bisa lambat laun berkurang. Paling tidak, tunjukkan sikap terbuka dan keramahan ketika bertemu mereka. Jika memang terpaksa lupa, jujur saja jika kita lupa kepadanya dengan cara yang gue yakin lo-bisa-mengatasinya.

Ternyata, sekali lagi, untuk menggapai kebahagiaan itu memang sederhana.  Sesederhana diri dan nama kita yang masih diingat teman.


3 comments:

wah seneng ya kalo kita masih diinget teman lama kita.

acara kondangannya jdi reunian ya..

Mbak Fanny: Banget!

Capung2: Biasanya gitu...